Monday, March 9, 2009

STRES DAN KEPUASAN KERJA

PENDAHULUAN
Bagi masyarakat pada era industrialisasi sekarang ini, pekerjaan merupakan suatu aspek kehidupan yang sangat penting. Bagi masyarakat modern bekerja merupakan suatu tuntutan yang mendasar, baik dalam rangka memperoleh imbalan berupa uang atau jasa, ataupun dalam rangka mengembangkan dirinya. Pada kenyataannya, sebagian besar pekerjaan cenderung memiliki konotasi paksaan, baik yang ditimbulkan dari dalam diri sendiri ataupun yang ditimbulkan dari luar. Pekerjaan juga seringkali meliputi penggunaan waktu dan usaha di luar keinginan individu pekerja. Banyak pekerja yang melakukan pekerjaan rutin, yang tidak atau hanya sedikit menuntut inisiatif dan tanggungjawab, dengan sedikit harapan untuk maju atau berpindah kejenis pekerjaan lain. Banyak juga pekerja yang melakukan tugas yang berada jauh dibawah kemampuan intelektual mereka atau yang mereka anggap berada dibawah tingkat pendidikan yang telah mereka peroleh. Di banyak sektor industri, pekerjaan telah sangat ‘dirasionalisasikan’, dipecah-pecah kedalam tugas-tugas yang sederhana, menoton, dan menjemukan, yang hanya sesuai bagi robot yang tidak dapat berpikir.
Pada level organisasi yang lebih tinggi, tingkat manajer atau supervisor, perkembangan teknologi dan industrialisasi yang pesat menuntut adanya kemampuan managerial dan intelektual yang lebih baik, yang terkadang melampaui kemampuan yang dimiliki sebahagian besar individu. Dengan adanya teknologi yang lebih baik maka arus komunikasi dan proses produksi akan berjalan lebih cepat sehingga seorang manager dapat menjadi demikian sibuknya dan dibebani pekerjaan yang memerlukan penyelesaian dengan segera. Pada penyelesaian (supervisor) terjadi benturan antara dua tuntutan yang berbeda, disatu pihak ia harus memperhatikan penyelesaian tugas yang berbatas waktu dan dilain pihak ia harus juga memperhatikan pembinaan hubungan baik dengan bawahan-bawahannya.
Keadaan-keadaan diatas, baik bagi pekerjaan maupun bagi pihak manajer dan penyelia, menimbulkan perasaan tegang dalam diri mereka akibat faktor-faktor samar yang mengancam, baik yang bersifat sosial, managerial, ataupun yang berkaitan dengan lingkungan kerja yang tidak dapat diatasi. Keadaan tegang ini sesuai dengan konsep stres yang dikemukakan oleh Pearlin, Liebermen, Managhan, dan Mullan (Breznitz, & Golberger, 1982, hal 369) yang menyatakan :

Stress refer to a response of the organism to a noxious or theartening condition.
Teknologi dan industrialisasi yang pesat juga mencipta-kan suatu perubahan yang penting dalam sifat ancaman dan stres itu sendiri. Bagi manusia yang hidup dijaman yang masih primitif, ketegangan itu suatu keadaan yang masih mudah ditentukan sebab musababnya dan dapat dengan jelas dikenali, walaupun mengancam langsung kehidupan tetapi sekurang-kurangnya gamblang untuk dihadapi. Manusia jaman dulu dapat menanggapi ketegangan dengan tindakan yang konkrit berupa perilaku fisik yang relevan dengan ancaman fisik yang dihadapinya, sehingga dampak lanjutan dari ketegangan tersebut dapat dihindari. Manusia jaman sekarang masih terbuka terhadap stres atau ketegangan seperti yang telah dikemukakan diatas. Tetapi seringkali manusia modern kurang intensif dalam menghadapi ketegangan atau stres yang dihayatinya karena ketegangan tersebut sulit dihadapi secara pribadi berdasarkan sifatnya yang samar dan sulit ditentukan sebab-sebabnya secara gamblang. Sumber-sumber ketegangan (stres) bagi manusia modern tidak banyak lagi yang berupa ancaman fisik, melainkan lebih bersifat psikologis seperti perselisihan, persaingan, rasa malu, jenuh, rasa bersalah, perasaan dipelakukan tidak adil, ataupun cemas mengenai kenaikan pangkat atatu gaji. Akibatnya, orang tersebut tetap tegang dan senantiasa siap tempur tetapi tidak pernah menghadapi musuh yang sesung-guhnya.
Stres dan keadaan tegang yang berkepanjangan, tanpa adanya penyelesaian yang adekuat, akan mengganggu kesehatan fisik dan/atau mental pekerja yang muncul dalam bentuk keluhan-keluhan psikosomatik. Selanjutnya, gangguan kesehatan tersebut akan menjadi suatu stres baru, dan membentuk suatu lingkaran setan. Pada gilirannya, kesehatan yang terganggu tersebut juga akan menggangu tampilan kerja individu. Perhatian pekerja menjadi kurang dapat dipusatkan, motivasi kerja menurun, dan tingkat keterampilannya menurun. Selain itu, biaya pemeliharaan kesehatanpun menjadi meningkat. Hal ini tentu akan mengganggu proses produksi secara umum.
Faktor lain yang juga mempengaruhi tampilan kerja individu adalah kepuasaan kerjanya. Menurut penelitian Hawthorne (Milton, 1981, hal. 161) kepuasaan akan kerja akan mengarahkan pekerja kearah tampilan kerja yang lebih produktif. Pekerja yang puas dengan pekerjaannya akan memiliki loyalitas yang tinggi kepada perusahaan.
Dari penjelasan-penjelasan diatas, secara sekilas tampak terdapat hubungan antara stres dan kepuasan kerja, terutama dalam hal tampilan kerja individu. Makalah ini berusaha membahas peranan kepuasan kerja dalam menurunkan akibat buruk dari stres yang dihayati pekerja dalam lingkungan pekerjaannya.

BAB 2
TINJAUAN TEORITIS

2.4 PENGERTIAN STRES
Berbagai defenisi mengenai stres telah dikemukakan oleh para ahli dengan versinya masing-masing, walaupun pada dasarnya antara satu defenisi dengan defenisi lainnya terdapat inti persamaannya. Selye (1976) mendefinisikan stres sebagai ‘the nonspesific response of the body to any demand‘, sedangkan Lazarus (1976) mendefinisikan ‘stress occurs where there are demands on the person which tax or exceed his adjustive resources’ (Golberger & Breznitz, 1982, hal. 39). Dari kedua defenisi diatas tampak bahwa stres lebih dianggap sebagai respon individu terhadap tuntutan yang dihadapinya. Tuntutan-tuntutan tersebut dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu tuntutan internal yang timbul sebagai tuntutan fisiologis dan tuntutan eksternal yang muncul dalam bentuk fisik dan social. Hans Selye juga menambahkan bahwa tidak ada aspek tunggal dari stimulus lingkungan yang dapat mengakibatkan stres, tetapi semua itu tergabung dalam suatu susunan total yang mengancam keseimbangan (homeostatis) individu.
Hans Selye (1950) mengembangkan konsep yang dikenal dengan Sindrom Adaptasi Umum (General Adaptation Syndrome) yang menjelaskan bila seseorang pertama kali mengalami kondisi yang mengancamnya, maka mekanisme pertahanan diri (defence mechanism) pada tubuh diaktifkan. Kelenjar-kelenjar tubuh memproduksi sejumlah adrenalin cortisone dan hormon-hormon lainnya serta mengkoordinasikan perubahan-perubahan pada sistem saraf pusat. Jika tuntutan-tuntutan berlangsung terus, mekanisme pertahanan diri berangsur-angsur akan melemah, sehingga organ tubuh tidak dapat beroperasi secara adekuat. Jika reaksi-reaksi tubuh kurang dapat berfungsi dengan baik, maka hal itu merupakan awal munculnya penyakit “gangguan adaptasi”. Penyakit-penyakit tersebut muncul dalam bentuk maag, serangan jantung, tekanan darah tinggi, atau keluhan-keluhan psikosomatik lainnya.
Lazarus dan Launier (1978) mengemukakan tahapan-tahapan proses stres sebagai berikut :
1. Stage of Alarm
Individu mengidendentifikasi suatu stimulus yang memba-hayakan. Hal ini akan meningkatkan kesiapsiagaan dan orientasinyapun terarah kepada stimulus tersebut.
2. Stage of Appraisals
Individu mulai melakukan penilaian terhadap stimulus yang mengenainya. Penilaian ini dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman individu tersebut.
Tahapan penilaian ini dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Primary Cognitive Appraisal
Adalah proses mental yang berfungsi mengevaluasi suatu situasi atau stimulus dari sudut implikasinya terhadap individu, yaitu apakah menguntungkan, merugikan, atau membahayakan individu tersebut.
b. Secondary Cognitive Appraisal
Adalah evaluasi terhadap sumber daya yang dimiliki individu dan berbagai alternatif cara untuk mengatasi situasi tersebut. Proses ini dipengaruhi oleh pengalaman individu pada situasi serupa, persepsi individu terhadap kemampuan dirinya dan lingkungannya serta berbagai sumberdaya pribadi dan lingkungan.
3. Stage of Searching for a Coping Strategy
Konsep ‘coping’ diartikan sebagai usaha-usaha untuk mengelola tuntutan-tuntutan lingkungan dan tuntutan int internal serta mengelolah konflik antara berbagai tuntutan tersebut. Tingkat kekacauan yang dibangkitkan oleh satu stresor (sumber stres) akan menurun jika individu memiliki antisipasi tentang cara mengelola atau menghadapi stresor tersebut, yaitu dengan menerapkan strategi ‘coping’ yang tepat. Strategi yang akan digunakan ini dipengaruhi oleh pengalaman atau informasi yang dimiliki individu serta konteks situasi dimana stres tersebut berlangsung.
4. Stage of The Stress Response
Pada tahap ini individu mengalami kekacauan emosional yang akut, seperti sedih, cemas, marah, dan panik. Mekanisme pertahanan diri yang digunakan menjadi tidak adekuat, fungsi-fungsi kognisi menjadi kurang terorganisasikan dengan baik, dan pola-pola neuroendokrin serta sistem syaraf otonom bekerja terlalu aktif. Reaksi-reaksi seperti ini timbul akibat adanya pengaktifan yang tidak adekuat dan reaksi-reaksi untuk menghadapi stres yang berkepanjangan.
Dampak dari keadaan ini adalah bahwa individu mengalami disorganisasi dan kelelahan baik mental maupun fisik.
Disamping membagi stres kedalam tahap-tahap diatas, Lazarus juga membedakan istilah-istilah harm-loss, threat, dan challenge. Harm-loss dan threat memiliki konotasi negatif. Keduanya dibedakan berdasarkan perspektif waktunya. Harm-loss digunakan untuk menerangkan stres yang timbul akibat antisipasi terhadap suatu situasi. Baik stres akibat harm-loss maupun threat pada umumnya akan dapat berupa gangguan fisiologis maupun gangguan psikologis. Di lain pihak, challenge (tantangan) berkonotasi positif. Artinya, stres yang dipicu oleh situasi-situasi yang dipersepsikan sebagai tantangan oleh individu tidak diubah menjadi strain. Dampaknya tehadap tingkah laku individu, misalnya tampilan kerjanya, justru positif.
2.4 STRES DI LINGKUNGAN KERJA
Lingkungan kerja, sebagaimana lingkungan-lingkungan lainnya, juga menuntut adanya penyesuaian diri dari individu yang menempatinya. Dengan demikian, dalam lingkungan kerja ini individu memiliki kemungkinan untuk mengalami suatu keadaan stres. Stres kerja dapat dirumuskan sebagai suatu keadaan tegang yang dialami di dalam suatu organisasi. Stres ini dapat merupakan akibat dari lingkungan fisik, sistem dan teknik dalam organisasi, interaksi sosial interpersonal, isi atau struktur pekerjaan, tingkah laku individu sebagai anggota, dan aspek-aspek organisasi lainnya.
Secara umum terdapat tiga buah pendekatan untuk membahas masalah stres dalam ruang lingkup organisasi. Pendekatan pertama berorientasi pada karakteristik obyektif dari ber-bagai situasi kerja yang dapat menimbulkan stres. Pendekatan kedua mengacu pada karakteristik individu sebagai penyebab utama stres. Dan pendekatan ketiga meninjaunya melalui acuan interaksi antara situasi obyektif dan karakteristik individu.
1.Karakteristik Obyektif Situasi Kerja
Pendekatan ini bertolak dari konsep stres sebagai suatu kondisi/situasi yang mampu menimbulkan pergolakan, kekacauan, atau perubahan yang bersifat reaktif dalam diri individu. Dengan perkataan lain, pendekatan ini mengacu kepada konsep stres sebagai stimulus. Ada atau tidaknya stres dan bobot stres dapat diduga dari karakteristik stimulus yang dihadapi individu. Stimulus yang mampu menimbulkan stres ini biasa disebut stresor.
Secara umum, konsep stres sebagai suatu stimulus diguna-kan untuk menerangkan situasi-situasi yang memiliki karak-teristik baru, intense (kuat), berubah-ubah dengan cepat, dan terjadi tanpa diduga sebelumnya. Situasi lain yang dapat menjadi stresor memiliki karakteristik sebagai berikut :
3 stimulus deficit (kurangnya stimulasi lingkungan)
4 absence of expected stimuli (ketidakhadiran stimulus yang diharapkan)
5 highly persistent stimulations (stimulasi monoton)
6 kelelahan
7 kejenuhan
Dalam lingkungan kerja, konsep stres sebagai suatu stimulus sering digunakan untuk membahas situasi-situasi kerja yang dapat menimbulkan stres pada para pekerja.
Situasi-situasi tersebut adalah sebagai berikut :
a. Karakteristik Fisik Lingkungan Kerja
8 situasi kerja yang berpolusi
9 noise (kebisingan)
10 terlalu panas atau terlalu dingin
11 rancangan sistem manusia-mesin yang buruk
12 situasi kerja yang mengancam keselamatan fisik
b. Karakteristik Waktu Kerja
13 pekerjaan-pekerjaan yang waktunya tidak menentu
14 terlalu sering lembur
15 deadlines (batas waktu)
16 time pressures
c. Karakteristik Lingkungan Sosial dan Organisasi
17 iklim politis yang kurang sehat
18 kualitas supervisi yang buruk
19 relasi atasan-bawahan yang buruk
20 tugas-tugas monoton
21 machine pacing (kecepatan mesin)
22 beban kerja yang berlebihan
23 tanggung jawab yang terlalu besar
24 kurang penghargaan terhadap hasil kerja
d. Karakteristik Perubahan Dalam Pekerjaan
25 pemutusan hubungan kerja
26 pensiun
27 demosi
28 adanya perubahan kualitatif dalam jabatan
29 promosi yang terlalu dini
30 perubahan pada pola shift
31 situasi dimana tidak ada perubahan sama sekali

Untuk menjelaskan bagaimana karakteristik-karakteristik di atas menimbulkan stres pada pekerja, berikut ini dikemu-kakan sebuah ilustrasi. Dengan adanya perkembangan teknologi, proses industri sekarang ini banyak menggunakan mesin-mesin dengan teknologi yang canggih. Mesin-mesin tersebut memiliki cara kerja yang otomatis dengan kecepatan kerjanya sendiri. Adanya keadaan ini menimbulkan perasaan tidak mengenakkan pada diri pekerja. Pertama, otomatisasi membuat pekerja hanya memiliki peranan yang relatif kecil dalam proses produksi karena sebagian besar pekerjaan telah diambil alih oleh mesin, dan ini membuat pekerja merasa kurang dihargai. Kedua, pekerja harus menyesuaikan diri dengan kecepatan kerja mesin yang seringkali membuatnya harus memusatkan perhatian secara terus-menerus, yang dapat menimbulkan keletihan baik fisik maupun mental kepada pekerja tersebut. Ketiga, keadaan inipun membuat hubungan sosial pekerja dengan pekerja lainnya menjadi berkurang karena pekerja harus memusatkan perhati-annya kepada mesin. Kesemuanya merupakan sumber stres bagi pekerja tersebut.
Contoh nyata adanya stres akibat kecepatan kerja mesin terdapat pada pekerja lini rakit (assembly line) yang menggu-nakan peralatan mekanis modern. Penelitian Hinkle pada Bell Telephone Company mendukung pernyataan di atas (Fraser, hal. 94).
Dalam kaitannya dengan karakteristik-karakteristik di atas, Kagan dan Levi (1971) menyatakan bahwa setiap individu mempunyai kemampuan genetis untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, dan mempunyai perilaku tertentu untuk mengata-si lingkungannya tersebut (Fraser, hal.83). Jika stimulus yang dihadapi individu tidak melebihi batas-batas ambang penyesuainnya maka individu tersebut tidak akan tergangggu baik fisik maupun mentalnya. Kondisi fisik/mental individu terganggu jika stimulus yang dihadapinya menuntut penyesuaian diri yang melebihi batas ambangnya sehingga ia tidak mampu lagi mengatasi lingkungannya. Jika hal ini berlangsung terus menerus akan muncul simptom-simptom stres seperti gangguan percernaan migraine, atau keluhan-keluhan psikosomatik lainnya.
2.Karakteristik Pekerja
Pendekatan ini bertolak dari pendapat bahwa individu memiliki ambang stres yang berbeda. Dengan demikian, karakteristik individu akan mempengaruhi kadar stres yang dihayatinya. Berdasarkan beberapa penelitian, faktor-faktor berikut ini dapat mempengaruhi ambang stres seseorang (Braznitz & Golberger, hal.434) :
32 Usia
33 jenis kelamin
34 kebangsaan dan suku bangsa
35 taraf hidup
36 banyaknya perubahan yang dialami semasa hidup
37 kecenderungan work addict
38 kecenderungan neurotik dan depresi
39 fleksibilitas kepribadian
40 mekanisme pertahanan diri yang dipergunakan
41 self esteem
42 makna pekerjaan bagi individu
Salah satu teori yang berlandaskan pada teori ini adalah yang diajukan oleh Rosenman dan Friedman (1974) yang menggo-longkan individu kedalam dua pola perilaku yaitu individu tipe A dan individu tipe B, yang dikaitkan dengan kerentanan individu terhadap penyakit jantung (Breznizt & Golberger, hal.547).
Individu dengan pola perilaku tipe A lebih mudah terserang penyakit jantung (CHD) terlepas dari faktor-faktor fisik dan jenis pekerjaan mereka. Dua karakteristik utama individu dengan pola perilaku tipe A adalah adanya suatu dorongan yasng besar untuk bersaing dan perasaan menetap tentang pentingnya waktu. Individu dengan pola perilaku tipe A sangat ambisius dan agresif, selalu bekerja untuk mencapai sesuatu, berlomba dengan waktu, beralih dengan cepat dari suatu pekerjaan kelain pekerjaan, dan terlibat penuh pada tugas-tugas pekerjaannya. Akibatnya, individu dengan pola perilaku tipe A selalu berada dalam keadaan tegang dan stres. Walaupun pekerjaan relatif bebas dari sumbner-sumber stres, mereka membawa stres mereka sendiri dalam bentuk pola perilakunya. Stres selalu timbul pada saat bekerja maupun pada waktu senggang mereka.
Individu dengan pola perilaku tipe B mungkin sama ambisiusnya dengan individu tipe A, tetapi mereka lebih santai dan menerima situasi seadanya. Individu tipe B beker-ja dengan nyaman tanpa usaha untuk memerangi situasi ynag mereka hadapi secara kompetitif. Dalam menghadapi tekanan waktu, sikap mereka lebih santai sehingga jarak mengalami masalah-masalah yang berhubungan dengan stres dan tegang. Dengan demikian individu tipe B dapat bekerja sebaik yang dilakukan oleh tipe A tetapi lebih sedikit mengalami akibat-akibat yang menyakitkan dari stres.
Sebenarnya, pembagian pola perilaku ini tidak menun-jukkan ciri kepribadian yang statis, akan tetapi lebih meng-gambarkan gaya perilaku yang disertai dengan beberapa reaksi kebiasaan seseorang dalam menghadapi situasi disekitarnya. House (1973) menambahkan bahwa ciri psikis utama individu tipe A adalah keinginan untuk mencapai prestasi sosial (social achievement) yang dapat dianalogikan dengan mencari status (status seeking). Glass (1977) menduga bahwa faktor utama yang menyebabkan timbulnya pola perilaku tipe A adalah keinginan atau obsesi untuk mengendalikan lingkungan. Dengan demikian, permasalahan yang dihadapi oleh individu tipe A pada tidak bisa tidak melakukan sesuatu sama sekali (inactivity). Individu tipe A akan menghayati stres yang relatif lebih besar jika mereka dibiarkan tanpa diberikan pekerjaan atau aktivitas.
3. Pendekatan Interaksi
Teori-teori yang didasari oleh pendekatan ini berpenda-pat bahwa stres tidak semata-mata disebabkan oleh situasi lingkungan kerja atau semata-mata oleh karakteristik pekerja yang bersangkutan melainkan oleh interaksi antara kedua faktor tersebut. Berdasarkan pendekatan interaksi ini, Cox dan Mackay (1979) mengatakan bahwa stres merupakan hasil penafsiran seseorang mengenai keterlibatannya dalam lingkung-annya, baik secara fisik maupun secara psikososial. Stres atatu ketegangan timbul sebagai suatu hasil ketidakseim-bangan antara persepsi orang tersebut mengenai tuntutan yang dihadapinya dan persepsinya mengenai kemampuannya untuk menanggulangi tuntutan tersebut (Fraser, hal. 80). Ini berar-ti bahwa tidak ada stresor yang berifat universal. Stimulus yang sama dapat menyebabkan intensitas stres yang berbeda atau bahkan tidak menyebabkan stres sama sekali pada individu yang mempersepsi dirinya mampu menghadapi stres tersebut. Dengan demikian, yang menjadi pokok bahasan adalah persepsi individu terhadap situasi dan partisipasi aktif individu dalam interaksi yang berlangsung. Dengan perkataan lain, cara individu menghadapi stres lebih penting daripada frekwensi dan kadar stres itu sediri.
Salah satu model teori interaksi yang cukup populer berasal dari French (1982), yang disebutnya “the Person Enviromental fit Model”. Menurut French, stress terdapat pada kotak G dalam model P-E nya, yaitu sebagai “Subjective Person-Environment Fir”. Dalam hal ini, konsep stress dari Mc.Grath, yang menekankan masalah persepsi.
Seperti yang digambarkan dalam model P-E stress tidak timbul akibat stressor lingkungan semata melainkan merupakan hasil persepsi individu terhadap kemampuan dan motivasinya untuk menghadapi stressor tersebut. Faktor persepsi dalam model tersebut merupakan faktor yang paling menentukan bobot stres dari suatu situasi.
Dalam model P-E tersebut, persepsi individu dipengaruhi oleh karakteristik lingkungan (Objective Social Environment) dan karakteristik individu (Objective Person). Dengan demi-kian jika salah satu dari kedua hal ini berubah, persepsi individu pun akan berubah, sehingga pada akhirnya bobot stres yang dihayati akan berubah pula.
French juga mengemukakan bahwa stress yang dipersepsi dapat dikurangi melalui dua mekanisme, yaitu “Social Support” dan “Ego Defence”. Artinya, jika individu memperoleh dukungan sosial yang memadai dari lingkungan dan/atau menggunakan ego defence yang tepat, stress dapat menurun intensitasnya.

Dengan demikian, berdasarkan model P-E dari French di atas, usaha-usaha yang diarahkan untuk menurunkan intensitas stres dapat dilakukan melalui perubahan persepsi dan pembeian dukungan sosial. Cobb (1976) telah memberikan bukti yang mengesankan bahwa di dalam suatu krisis, yang nyata-nyta merupakan suatu situasi penuh stres, dukungan sosial dapat melindungi manusia dari aneka ragam kondisi patologis (Fraser, hal. 87). Menurut Lieberman dkk, secara teoritis peran dukungan sosial adalah sebagai berikut (Goldberger & Breznitz, hal. 778) :
1. Social resources dapat mengurangi peluang terjadinya situasi yang mampu membangkitkan stres
2. Bila situasi tersebut terjadi juga, interaksi dengan ‘significant orthers’ dapat memodifikasikan persepsi indi-vidu terhadap situasi tersebut. Dengan demikian, intensitas stres yang timbul dapat dikurangi
3. Tingkat stres yang dialami oleh individu erat hubungannya dengan tingkat perubahan yang ditimbulkan oleh situasi tersebut, dalam hal ini adalah perubahan peran. Social resources dapat mengubah persepsi individu tentang relasi antara perannya yang terancam dengan situasi yang menimbulkan stres.
4. Social resources dapat mengubah persepsi individu tentang strategi ‘coping’ yang tepat, misalnya dengan cara mempe-ngaruhi individu untuk menggunakan strategi tertentu.
5. Social resources dapat memodifikasikan dampak stresor yang mengikis harga diri dan keyakinan individu.
6. Social resources berpengaruh langsung terhadap tingkat adaptasi yang dimiliki individu
Dengan demikian, dukungan sosial tidak saja dapat meredam dampak stres melainkan juga dapat mengurangi peluang terjadinya stres.

42.4 KEPUASAN KERJA
Kepuasan kerja akhir-akhir ini semakin terasa penting artinya dalam lingkup organisasi. Kepuasan kerja mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap produktivitas organisasi baik secara langsung ataupun tidak langsung. Ketidakpuasan merupakan titik awal dari masalah-masalah yang muncul dalam organisasi, seperti kemangkiran, konflik manager-pekerja, ‘turn-over’, serta banyak masalah lainnya yang menyebabkan terganggunya proses pencapaian tujuan organisasi. Dari sisi pekerja, ketidakpuasan dapat menyebabkan menurunnya motivasi, menurunnya moril kerja, menurunnya tampilan kerja baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.
Secara umum dapat dikemukan bahwa pemecahan masalah-masalah organisasi dari segi manusianya dapat dilakukan melalui prinsip-prinsip kepuasan kerja. Dengan adanya kepuasan kerja yang tinggi akan muncul ikatan yang positif antara pekerja dengan pekerjaannya, sehingga dari pekerja ini dapat diharapkan suatu hasil yang optimal. Dari hampir semua perusahaan yang mengalami kemajuan yang pesat ditandai dengan gejala kepuasan kerja yang tinggi di antara para pekerjanya.
Pada dasarnya, prinsip-prinsip kepuasan kerja diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pekerja. Milton menyata-kan bahwa kepuasan kerja merupakan kondisi emosional positif atau menyenangkan yang dihasilkan dari penilaian pekerja berdasarkan pengalamannya (Milton, hal.151). Lebih jauh lagi, Milton mangatakan reaksi efektif pekerja terhadap pekerja-annya tergantung kepada taraf pememnuhan kebutuhan-kebutuhan fisik dan psikologis pekerja tersebut oleh pekerjaannya. Kesenjangan antara yang diterima pekerja dari pekerjaannya dengan yang diharapkannya menjadi dasar bagi munculnya kepu-asan atatu ketidakpuasan. Beberapa ahli telah mencoba mengemukakan faktor-faktor yang terlibat dalam kepuasan kerja. Herzberg, seperti yang dikutif oleh Gilmer (1961), mengemukakan faktor-faktor kemapanan atau keamanan pekerjaan, kesempatan untuk maju, pandangan pekerja mengenai perusahaan dan manajemennya, gaji, aspek-aspek intrinsik pekerjaan, kualitas penyeliaan, aspek-aspek sosial dari pekerjaan, komunikasi, serta kondisi kerja fisik dan jam kerja sebagai faktor-faktor yang menentukan kepuasan kerja. Perlu dicatat bahwa hasil penelitian diatas diperoleh dari laporan pekerja yang sebagian besar pekerja dalam kondisi yang cukup baik, dengan gaji yang mencukupi dan hubungan dengan atasan-bawahan yang baik.
Ruth Johnston (1975) menekankan bahwa kebutuhan akan uang dan kondisi fisik relatif tidak penting bila dua hal tersebut, paling tidak sampai pada taraf tertentu, telah terpenuhi. Lebih lanjut lagi, penelitian yang dilakukan Johnston menunjukkan urutan preferensi di antara pekerja pria untuk pekerjaan yang menarik adalah rekan sekerja yang ramah, manajemen yang efisien, gaji yang tinggi, dan penyelia yang penuh perhatian. Sedangkan bagi pekerja wanita, urutan prefensinya bergerak dari rekan sekerja yang ramah, penyelia yang penuh perhatian, manajemen yang efisien, dan gaji yang tinggi. Dalam penelitian berikutnya (Johnston, 1973) menun-jukan bahwa pekerja menilai keramahan dan perhatian pada pekerjaan sebagi suatu sifat yang istimewa (Fraser, hal. 55).
Dari kenyataan-kenyataan di atas tampak bahwa faktor-faktor relasi sosial yang baik dan penghargaan terhadap prestasi kerja merupakan faktor-faktor yang sangat menetukan kepuasan kerja. Faktor gaji dan imbalan lainnya walaupun masih dianggap penting, tidak memperoleh penekanan yang khusus. Dengan demikian, untuk meningkatkan kepuasan kerja kedua hal itu harus terpenuhi terlebih dahulu.

2.4 STRES DAN KEPUASAN KERJA
Pekerjaan mengatur lalu-lintas udara dianggap sebagi salah satu pekerjaan yang paling menimbulkan stres. Jam demi jam mereka harus selalu waspada, mengawasi sejumlah pesawat terbang yang datang dan pergi dengan kecepatan dan ketinggian masing-masing. Walaupun demikian, dua buah penelitian (Singer & Ruterfranz, 1971; R.C Smith, 1973) menunjukan bahwa aspek-aspek pekerjaan yang tidak disukai oleh pengawas lalu-lintas udara adalah administrasi, kualitas manajemen, upah/gaji, kerja malam (saat lalu-lintas udara tidak padat), dan yang disebut ‘stres’ (beban mental atau tanggung jawab yang besar) tidak termasuk kedalam aspek pekerjaan yang tidak disukai dan bahkan terkadang termasuk ke dalam aspek pekerjaan yang disukai (Cooper & Payne, hal. 9).
Dari penelitian yang dilakukan Caplan dan kawan-kawan terhadap 2000 pekerja dari 23 jabatan di Amerika Serikat, Fraser menarik kesimpulan bahwa lingkungan stres yang dirasakan secara subyektif lebih berperan sebagai penentu ketegangan daripada lingkungan itu sendiri, dan bahwa reaksi subyektif seperti kecemasan, kemarahan, tekanan mental, dan gangguan-gangguan psikosomatis berkaitan erat satu sama lainnya dan tampaknya lebih dipengaruhi oleh ketidakpuasan terhadap pekerjaan daripada oleh sifat-sifat pekerjaan itu sendiri (Fraser, hal.92). Lebih jauh lagi, Fraser juga menga-takan bahwa unsur-unsur yang sama, yang identik dengan pembangkit stres, juga ditetapkan sebagai penyebab ketidak-puasan.
Salah satu kondisi kerja yang dapat menimbulkan stres pada diri pekerja adalah kerja paruh waktu (shift work). Keluhan-keluhan yang muncul pada kondisi kerja ini antara lain gangguan sulit tidur, gangguan pencernaan, dan gangguan-gangguan sosial Goldberger & Breznizt, hal.432). Tetapi keadaan dapat diperbaiki oleh motivasi pekerja itu sendiri. Bila kerja lembur atatu kerja malam memang dikehendaki oleh pekerja itu sendiri, stres akan diperkecil dan demikian pula ketegangan yang diakibatkannya. Taylor (1974) melaporkan bahwa masalah-masalah pembuluh darah jantung (kardiovaskuler) lebih umum dialami oleh para pekerja siang hari daripada para pekerja malam hari (Fraser, hal. 96).
Dari penjelasan-penjelasan diatas tampak bahwa kepuasan kerja dapat mempengaruhi kadar stres dan dapat mengurangi dampak menyakitkan dari stres tersebut. Robert R. Holt menyatakan bahwa :
Job satisfaction is eudently highly relevant to occupational stress and its pathogenics effects.
(Goldberger & Breznizt, hal.436).

BAB 3
TINJAUAN KRITIS

Telah dikemukakan sebelumnya bahwa kepuasan kerja dapat menurunkan kadar stres dan mengurangi dampak stres tersebut terhadap diri pekerja. Berdasarkan model P-E dari French, stres muncul jika terdapat kesenjangan antara persepsi individu mengenai kebutuhan-kebutuhannya dan persepsi individu pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut dari lingkungannya, serta adanya kesenjangan antara persepsi individu mengenai tuntutan lingkungan. Kepuasan kerja, yang berarti terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pekerja, menunjukkan kesesuaian antara persepsi individu mengenai kebutuhannya dan persepsi mengenai pemenuhan kebutuhan tersebut dari lingkungan. Tampak jelas bahwa stres bahwa kepuasan kerja sendiri berarti tidak adanya stres individu.
Kepuasan kerja merupakan kondisi emosional yang positif atau menyenangkan terhadap pekerjaan, yang berarti bahwa makna pekerjaan bagi pekerja yang puas menjadi positif. Dengan adanya makna pekerjaan yang positif ini pekerja menjadi lebih siap menghadapi tuntutan-tuntutan pekerjaannya tersebut. Dengan demikian, walaupun individu dihadapkan pada pekerjaan yang mempunyai kemungkinan memberikan stres yang besar, kadar stres dan dampak stres yang dihayatinya tidaklah terlalu besar. Makna pekerjaan bagi individu merupakan sumber stres yang potensial.
Model P-E menekankan kepada kesesuaian antara karak-teristik individu dan karakteristik lingkungan. Berdasarkan pendekatan ini, usaha untuk mengurangi kadar stres dan dampak stres di lingkungan pekerjaan tidak dapat dilakukan hanya dengan memperhatikan faktor pekerjaan semata, melaikan juga turut memperhatikan faktor pekerjanya. Pekerjaan-pekerjaan tertentu dapat kembali dirancang agar tercapai kesesuaian dengan kemampuan dan kebutuhan pekerja. Misalnya dengan melakukan pemerkayaan pekerjaan pada pekerjaan lini rakit. Pada perkerjaan-pekerjaan tertentu, misalnya penjinak bom atau pelatih singa untuk sirkus, perubahan pada pekerjaan tersebut tidak dapat dilakukan. Dalam hal ini, usaha mengu-rangi stres dan dampak stres lebih ditujukan pada pemilihan pekerja yang sesuai dengan pekerjaan-pekerjaan Cara lain yang dapat dipergunakan untuk mengurangi stres dan dampaknya adalah dengan mengubah persepsi pekerja mengenai pekerjaan dan kemampuannya. Menurut pendekatan interaksional, persepsi memegang peranan yang besar dalam menentukan kadar stres dan dampak stres tersebut. Di lingkungan pekerjaan perubahan persepsi pekerja dapat dilaku-kan oleh atasan pekerjaan tersebut yang memberikan keyakinan diri dan perasaan aman kepada pekerjanya.
Faktor lain yang mempengaruhi daya tahan terhadap stres dalam pekerjaan adalah dukungan sosial (social supports), yaitu jalinan ikatan sosial dan keluarga dari pekerja. Dukungan sosial dan keluarga ini dapat menurunkan akibat-akibat ketidakpuasan dalam pekerjaan, dengan memberi kepuasan-kepuasan dan pencapaian-pencapaian yang lain diluar pekerjaan. Dukungan sosial dan keluarga dapat menyalurkan perasaan-perasaan negatif pekerja terhadap pekerjaannya dan menimbulkan harga diri, penerimaan, serta kepercayaan terha-dap diri sendiri. Dari penelitian-penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya, tampak bahwa kebutuhan pekerja yang utama adalah hubungan sosial yang baik antara pekerja dan penyelia. Dengan demikian, tampak jelas bahwa dukungan sosial memiliki arti yang penting bagi pemuasan kebutuhan pekerja dan penurunan kadar stres maupun dampaknya.
Adanya hubungan yang baik dengan penyelia atau atasan memungkinkan pekerja untuk mengkomunikasikan masalah-masalah yang dihadapinya, yang berkaitan dengan pekerjaannya. Hal ini tentu memiliki dampak yang baik bagi penurunan ketegangan pekerja tersebut karena melalui cara demikian pekerja sedikit banyak dapat menyalurkan ketegangannya (kartasis). Selain itu, dengan adanya hubungan yang baik ini, pekerja memperoleh keyakinan bahwa pihak manajemen memberikan penghargaan terhadap dirinya sebagai manusia, pihak manajemen dapat memahaminya, dan bukan merupakan ancaman bagi dirinya. Di lain pihak, komunikasi dari pekerja merupakan suatu informasi yang berharga bagi pihak manajemen yang dapat dipergunakan untuk memperbaiki kondisi kerja di perusahaan tersebut.

BAB 4
KESIMPULAN

Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan hal-hal berikut :
  1. Stres dan kepuasan kerja mempunyai hubungan timbal-balik. Kepuasan kerja dapat meningkatkan daya tahan individu terhadap stres dan dampak-dampak stres dan sebaliknya, stres yang dihayati oleh individu dapat menjadi sumber ketidakpuasan.
  2. Kebutuhan utama pekerja pada era teknologi canggih ini adalah adanya hubungan sosial yang baik dengan pekerja lainnya dan dengan penyelia/atasan serta penghargaan terhadap prestasi kerjanya. Sehingga dengan demikian, agar kepuasan kerja dapat tercapai maka perusahaan hendaknya memperhatikan kebutuhan-kebutuhan tersebut. Pada sisi lain, adanya hubungan sosial yang baik ini dapat dipersepsi pekerja sebagi dukungan sosial yang dapat menurunkan ketegangan yang dihayatinya.
  3. Usaha menurunnya stres dan dampaknya dari lingkungan pekerjaan dapat dilakukan melalui perancangan kembali pekerjaan dan memilih pekerja sesuai dengan pekerjaan yang akan dilaksanakannya. Tujuannya adalah agar pekerjaan tidak dipersepsi sebagai suatu tekanan atau sumber ketegangan oleh pekerja.
  4. Dalam usaha mengurangi kadar stres dan dampaknya tersebut penyelia atau atasan dapat berperan sebagai konselor yang berusaha membantu pekerja mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya.

DAFTAR PUSTAKA
Cooper, Cary L. & Roy Payne, Stress at Work, John Wiley and Sons Ltd., New York, 1978
Fraser, T.M., Stress & Kepuasan Kerja, PT. Pustaka Binaman Pressindo, LPPM, Jakarta, 1985
Goldberger, Leo & Shlomo Breznizt, Handbook of Stress, The Free Press, New York, 1982
Landy, Frank J., Psychology of Work Behavior, 3rd edition, The Dorsey Press, USA, 1985
Milton, Charles R., Human Behavior in Organization, Prentice-Hall Inc., Englewood Cliffs, N.J., 1981
Wexley, Kenneth N. & Gary A. Yukl, Organizational Behavior and Personnel Psychology, Richard D. Irwin Inc., 1977

Thursday, March 5, 2009

Menarik dan Memelihara Pelanggan

Pelanggan merupakan aset terbesar bagi suatu perusahaan, tanpa pelanggan maka suatu perusahaan tidak akan pernah ada. Pelayanan yang berkualitas terhadap pelanggan merupakan kunci utama untuk meraih sukses dalam jangka panjang. bila sebuah perusahaan ingin berhasil dalam jangka panjang maka usaha-usaha untuk memelihara pelanggan melalui pelayanan yang memuaskan harus memperoleh perhatian yang utama.
Ada kalanya muncul pertanyaan kenapa lebih difokuskan pada memelihara atau mempertahankan, bukan menarik pelanggan?? bukankah pelanggan berarti pangsa pasar yang besar? jawabanya akan menjadi jelas jika dipahami bahwa usaha memperoleh pelanggan baru (offensive marketing) jauh lebih mahal dibandingkan dengan usaha mempertahankan pelanggan (deffensive marketing). hal ini terjadi karena diperlukan suatu usaha keras dan biaya yang banyak untuk membujuk pelanggan yang selama ini setia pada merek pesaing agar bersedia mencoba atau pindah pada merek yang ditawarkan perusahaan. tidak sedikit dana yang diperlukan untuk menarik mereka menjadi pelanggan tetap. alangkah efektifnya promosi yang dilaksanakan bila seandainya pelanggan yang diraih akan menjadi pelanggan tetap atau pelanggan loyal. Lalu apakah perusahaan tidak berarti menambah jumlah pelanggan?

Jawabannya terletak pada seberapa besar tambahan profit yang diperoleh dengan pertambahan jumlah pelanggan baru. jangan sampai pelanggan yang baru merupakan pelanggan yang sifatnya coba-coba atau pelanggan yang peka harga, yang hanya pindah ke produk kita saat dilakukan promosi. bila hal ini terjadi perolehan tambahan pangsa pasar sifatnya hanya sesaat yaitu pada periode promosi saja.
Terlebih lagi pada masa krisis seperti sekarang relatif sulit untuk menambah jumlah pelanggan baru. Untuk sebagian besar produk, menurunnya daya beli menyebabkan konsumen semakin bersikap rasional. Artinya, membeli produk karena benar-benar didasari oleh manfaat inti (core benefit) yang diberikan oleh produk tersebut.
Kesetiaan pelanggan dapat diciptakan melalui customer relantionship marketing, yang berarti menjaga hubungan dengan pelanggan dengan memberikan pelayanan yang berkualitas merupakan kunci keberhasilan jangka panjang. Dalam kaitannya ini ada lima tingkatan jalinan hubungan yang bisa dibina antara produsen dengan pelanggan, yaitu sebagai berikut :

1. Basic, para penjual hanya menjual produk dan sama sekali tidak melakukan kontak setelah pembelian terjadi.
2. Reactive, penjual menjual produk dan menyarankan agar mengontak mereka bila ada yang perlu ditanyakan pelanggan . Disini pihak penjual memiliki program pelayanan purnajual, hanya pelaksanaannya menunggu inisiatif pembeli/pelanggan. Perlu disadari bahwa karena sesuatu hal, banyak di antara pelanggan yang enggan menyampaikan keluhan-keluhannya. bagi golongan konsumen ini lebih baik berganti penjual atau berganti merek dari pada harus berurusan dengan complaint yang akan banyak menghabiskan energi. Perlu disadari pula bahwa sebagian besar konsumen indonesia termasuk golongan ini.
3. Accountable, penjual mengontak pelanggan beberapa saat setelah penjualan terjadi untuk memastikan apakah produk ini sudah sesuai dengan harapan mereka. Penjual juga mengumpulkan segala informasi dan keluhan pelanggan sebagai bahan masukan untuk memperbaiki produk dan pelayanan di masa yang akan datang.
4. Proactive, tenaga penjual melakukan kontak dengan pelanggan setiap saat untuk memaastikan bahwa tidak terjadi gangguan dalam penggunaan produknya serta menginformasikan adanya produk baru. sesuai dengan namanya, pihak penjual tidak saja memperhatikan kinerja produk yang telah dibeli pelanggan, tetapi secar aproaktif menawarkan produk-produk terbaru yang dimiliki perusahaan yang kemungkinan besar dibutuhkan mereka. misalnya dengan menginformasikan bagaimana menggunakan produk secaralebih aman, lebih baik, dan lebih efisien. atau bagaimana merawat sehingga menjadi lebih awet dan sebagainya. Melalui langkah ini pihak penjual telah membantu pelanggan untuk membantu proses konsumsi secara lebih baik untuk menghasilakn out-put lebih baik pula.
5. Partnership, pihak penjual bekerja sama secara kantinyu dengan pelanggan untuk menemukan suatu cara agar pelanggan bisa menjadi lebih baik. pada tingkatanterkahir ini antara pihak penjual dengan pelanggan telah terjalin komunikasi yang baik sehingga sampai pada suatu kesepahaman, yaitu bagaimana caranya memuaskan pelanggan akhir dengan baik. mereka tidak saja memusatkan perhatian pada kinerja produk yang digunakan saat ini tetapi pada produk lain yang langsung maupun tidak langsung terkait dengan penggunaan produk tersebut. mau tidak mau mereka akan membentuk suatu jaringan (mungkin tidak bekerja sama dengan pemasok) yang bisa membentuk suatu mata rantai untuk memberi pelayanan lebih baik, lebih cepat, dan lebih memuaskan pelanggan akhir. dalam kondisi demikian kedua belah pihak sangat menydari bahwa persaingan telah bergeser dari persaingan produk ke persaingan jaringan. hal ini terjadi karena pelanggan mulai mengukur kualitas penawaran denan membandingkan nilai yang mereka terima dari suatu produk (total customer value) dengan jumlah biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh produk tersebut (total customer cost). produk mana yang memberikan selisih terbesar dari kedua komponen itu (customer delivered value) itulah yang akan dibeli.

Jangan pernah merasa bahwa pelanggan akan bergantung kepada kita (terlebih pada kondisi persaingan yang ketat), tetapi sebenarnya kitalah yang tergantung pada mereka. bila hal ini dikaitkan dengan konsep pemasaran yang menyatakan bahwa laba hanya dicapai melalui kepuasan pelanggan, tidaklah mengherankan bahwa sebenarnya eksistensi sebuah perusahaan sangat ditentukan oleh pelanggan.
Banyak pesaing yang berlaga dalam arena persaingan dengan berbagai merek produk yang ditawarkan memberikan banyak alternatif kepada konsumen. konsumen bebas menentukan pilihan atas produk yang dirasakan memberikan kepuasan lebih tinggi. bagi perusahaan yang selalu berorientasi kepada kepuasan pelanggan denganmenitikberatkan pada customer value, kondisi tersebut (sampai saat tertentu) mungkin belum begitu mengkhawatirkan. tidak ada yang bisa menjamin bahwa pelanggan akan selalu tetap setia kepada produk ataupun merek yang ditawarkan.
Dalam kenyataan tidaklah banyak banyak perusahaan yang sadar akan pentingnya memberi pelayanan yang memuaskan pelanggan. kalaupun kesadaran itu ada dan memiliki komitmen untuk mewujudkan keinginan tersebut, sering terjadi bahwa pelayanan yang baik dan memuaskan sangat jarang diperoleh pelanggan. keadaan ini disebabkan oleh tiga hal (Le Boeuf, 1992), yaitu sebagai berikut :

1. Para Karyawan tidak Memahami Dasar-Dasar Pelayanan. Acap kali karyawan ditugasi melaksanakan pekerjaannya tanpa terlebih dahulu memahami jelas hal-hal yang diperlukan untuk meraih mempertahankan pelanggan.
2. Saat Kontrak, yang merupakan saat rawan yang bisa merusak bisnis tidak ditangani dengan baik. Setiap kali seorang pelanggan melakukan kontak dengan suatu perusahaan, ia akan diliputi oleh perasaan senang atau tidak senang terhadap kontrak tersebut. Bagaimana sebaiknya menangani karyawaan saat kontrak tersebut setiap hari. itulah yang menentukan keberhasilan perusahaan pada masa mendatang.
3. Sistim Imbalan. Sistem imbalan yang baik akan memenangkan tiga pihak yang terlibat yaitu pelanggan, karyawan dan perusahaan. Hal inilah sebenarnya merupakan hakikat bisnis yang baik.

Dalam upaya memberikan pelayanan yang baik dan memuaskan, terlebih dahulu harus dipahami apakah sebetulnya yang dibeli oleh pelanggan kita mereka melakukan bisnis dengan kita? jawabannya bahwa pelanggan tidak membeli apa yang dijual oleh perusahaan. Sebenarnya mereka membeli apa yang bisa diperbuat oleh barang dan jasa itu terhadap mereka. Jangan menjual barang terhadap mereka tetapi jualah harapan, perasaan, rasa bangga dan kebahagiaan. Pelanggan hanya mau menukar uang yang telah dcarinya dengan susah payah hanya untuk dua hal : 1. rasa senang dan puas, 2. serta pemecahan atas masalah.
Rasa senang dan puas karena masalah yang dihadapi dapat terpecahkan akan dinikmati pelanggan melalui pelayanan yang berkualitas. Kualitas pelayanan seperti apakah yang mampu membuat pelanggan merasa puas? Tidak jarang terjadi beberapa perusahaan merasa telah memberikan pelayanan yang berkualitas, namun pelanggan mereka tetap merasakan ketidakpuasan dan berpaling kepada pesaing. Pelanggan akan datang untuk membeli dan kembali untuk membeli lagi bukanlah karena kualitas pelayanan yang diberikan oleh perusahaan melainkan karena kualitas pelayanan yang dipersepsika oleh mereka. Persepsi pelanggan terhadap kualitas pelayanan adalah perbedaan antara apa yang mereka peroleh dengan apa yang mereka harapkan.
Bagi setiap orang apa yang dipersepsikannya, itulah kenyataan. karena tak ada dua orang memiliki pengalaman masa lalu serta harapan yang sama, tak akan ada pula dua orang yang memiliki persepsi yang sama. seseorang yang sedang menunggu untuk memperoleh layanan tertentu akan merasakan bahwa waktu tunggu 15 menit cukup singkat, sementara yang lain merasakan terlalu lama. jadi, periode waktu yang sama dirasakan berbeda oleh orang yang berbeda karena mereka memiliki persepsi yang berbeda dalam memandang atau merasakan lama tidaknya sebuah layanan. Dalam upaya untuk memelihara pelanggan maka keberhasilan bisnis sebuah perusahaan ditentukan oleh persepsi pelanggan terhadap kualitas layanan.

Sumber : Buletin Studi Ekonomi V.6 No. 10 '01


Monday, March 2, 2009

PENGARUH PROGRAM PENGEMBANGAN KARIR DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP KINERJA KARYAWAN

Jurnal SDM
ABSTRAK :

Kinerja karyawan banyak dipengaruhi oleh perhatian manajemen terhadap kebutuhan karyawan, salah satu diantaranya adalah dengan diperolehnya posisi pekerjaan yang sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya (John L. Holland, Gary D.Gottfredson, 1991). Masih sedikit perusahaan yang merencanakandan mengem-bangkan karir karyawan dengan dasar dan pertimbangan yang jelas dan terukur. Apabila kondisi tersebut tidak segera diperbaiki akan sangat berdampak pada hilangnya motivasi karyawan untuk menunjukkan kinerja terbaiknya.
Hasil yang peneliti temukan menunjukkan bahwa pengembangan karir belum dilaksanakan dengan pola yang terarah tetapi lebih banyak dilakukan dengan cara trial and error. Selain itu pengembangan karir dan motivasi secara bersamasama memberikan pengaruh positif signifikan terhadap variabel kinerja.
Terlihat pula bahwa masih ada variabel lain yang turut berpengaruh terhadap variabel kinerja, yang tidak diteliti.

A. PENDAHULUAN
Kompetisi global yang semakin intensif, deregulasi, dan kemajuan teknik mencetus-kan suatu ide-ide perubahan, yang telah membuat banyak perusahaan tidak bisa bertahan hidup. Fenomena tersebut mengimplikasikan bahwa praktek dan kebijakan manajemen sumber daya manusia dapat memainkan suatu peranan penting dalam mendorong kesetiaan karyawan tersebut dan membuat perusahaan mampu menanggapi perubahanperubahan secara lebih baik. Dessler (2000) menyatakan bahwa dalam organisasi modern, sumber daya manusia mempunyai peran baru, diantaranya (1) Pendorong produktivitas; (2) Membuat perusahaan menjadi lebih tanggap terhadap inovasi produk dan perubahan teknologi; (3) Menghasilkan jasa pelanggan yang unggul; (4) Membangun komitmen karyawan; dan (5) Semakin pentingnya SDM dalam mengembangkan dan mengimplementasikan strategi.
Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa sumber daya manusia yang berkualitas merupakan competitive advantage dari perusahaan. Oleh karena itu, pengelolaan SDM oleh manajemen harus mendapatkan prioritas utama. Melalui perencanaan SDM, yang merupakan fungsi awal dan kegiatan departemen SDM, diketahui kebutuhan SDM dan analisis pekerjaan, yang merinci orang dengan kualifikasi tertentu, yang selanjutnya dilakukan proses rekrut, seleksi dan orientasi, terkumpul biodata dan preferensi karir karyawan yang selanjutnya proses penilaian karyawan dapat dipergunakan sebagai media umpan balik untuk perencanaan dan konseling bagi karyawan. Pada saat ini ada kecenderungan bahwa perencanaan karir lebih banyak dipergunakan untuk karyawan profesional, karyawan teknis dan manajerial, serta bagi karyawan yang berminat saja, sedangkan perencanaan karir akan lebih efektif bila karyawan yang bersangkutan mempunyai minat terhadaap karirnya dan supervisornya merasa berkepentingan dan mampu memberi bimbingan. Seringkali seseorang mmemiliki lebih dari satu macam pekerjaan selama masa kerja-nya. Sebuah riset di Amerika menyatakan bahwa rata-rata respondennya memiliki delapan macam pekerjaan yang berbeda yang berkaitan satu sama lain selama masa kerjanya. Inilah yang kemudian sering mereka sebut sebagai karir. Beberapa ahli mendefinisikan karir sebagai tahaptahap perkem-bangan pengalaman kerja seseorang selama masa kerjanya. Karir seseorang dalam suatu organisasi banyak ditentukan oleh bagaimana kebijakan dan komitmen organisasi tersebut terhadap karyawannya dalam hal-hal :
(1) Sejauh mana rekrutmen dibatasi hanya pada lini jabatan tingkat bawah; (2) Sejauh mana kesempatan promosi ke jabatan yang lebih tinggi berasal dari dalam; (3) Sejauh mana terbuka kesempatan pelatihan dan pengembangan padasetiap lini; dan (4) Sejauh mana komitmen perusahaan terhadap jaminan kelangsungan kerja (job security) karyawan. Perusahaan yang berorientasi pada karir semacam ini akan mem-perlakukan karyawan sebagai sumber daya yang berharga, yang harus dilatih, kembangkan dan dipertahankan. Kunci penerapan karir semacam ini adalah adanya mobilitas dan kesempatan karir internal bagi para karyawan. Substansi karir bersifat adaptif sepanjang strukturnya sesuai dengan lingkungan. Namun dengan berubahnya lingkungan, pola karir dapat menjadi kaku dan menghambat operasi organisasi yang efektif. Sehingga, organisasi harus merancang desain karir yang logis, linear, rasional, terencana serta oportunistik dan incremental. Secara logika, idealnya karir organisasional harus merefleksikan tiga aspek yaitu: tujuan dan strategi organisasi, pola pengembangan MSDM dan posisi penilaian bagi karyawan. Dalam kenyataannya, pengelolaan SDM merupakan hal sangat sulit dan komplek serta menimbulkan masalah, seperti tingginya turn over karyawan, rendahnya motivasi berprestasi dalam bekerja, rendahnya kinerja dan banyak karyawan berfikir bahwa gaji yang mereka terima lebih rendah dibandingkan dengan gaji di perusahaan lain, serta banyak lagi permasalahan lainnya. Sebagai konsekuensi dalam
menjalankan roda bisnisnya pihak manajemen hendaknya memberikan porsi yang lebih banyak terhadap bidang pengembangan sumber daya manusia. Salah satu strategi yang harus di-implementasikan oleh pihak manajemen adalah membuat perencanaan dan pengembangan karir bagi seluruh karyawan selama mereka bekerja di perusahaan. Untuk sebagian besar karyawan, kepastian karir merupakan hal yang sangat penting karena mereka akan tahu posisi tertinggi yang akan mereka capai. Dengan demikian mereka akan termotivasi untuk menunjukkan kinerja terbaiknya dan berusaha terus meningkatkan kemampuannya serta loyal terhadap perusahaan.

B. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan meng-evaluasi program pengembangan karir serta mengkaji pengaruh antara program pengembangan karir yang telah dilakukan dan motivasi kerja terhadap kinerja karyawan di PTNP Bandung. Penelitian yang dilakukan dapat digolongkan sebagai explanatory survey, yang dilakukan dengan mengkaji populasi untuk menentukan interelasi relatif dari variabel yang diteliti. Eksplanasi dilakukan dengan menggunakan metode korelasi dan regresi yang bermaksud untuk meneliti hubungan antara variabel, sehingga penelitian ini digolongkan dalam jenis corelational research.

C. PENELITIAN
Penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data yang dilakukan untuk kepentingan analisis dan pembahasan hasil penelitian dibedakan ke dalam dua bagian yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari sumbernya langsung, diantaranya manajer personalia dan para manajer divisi lainnya, para supervisor, dan karyawan. Teknik pengumpulan data yang dilakukan untuk memperoleh data primer adalah dengan melakukan survai (penyebaran kuesioner kepada manajer dan karyawan) dan wawancara dengan para manajer berkenaan dengan pelaksanaan program pengembangan karir di PTBNP Bandung. Sedangkan data sekunder dilakukan dengan cara mengumpulkan semua dokumendokumen yang berkenaan dengan program pengembangan karir di PTBNP Bandung, yang dijadikan bahan pengkajian secara kuantitatif dan kualitatif berupa:

1. Populasi dan Sampel.
Penelitian ini merupakan penelitian sensus, yang melibatkan seluruh anggota populasi dalam hal ini adalah seluruh karyawan di PTBNP Bandung, mulai dari staf hingga pimpinan puncak yang secara keseluruhan berjumlah 64 orang.

2. Variabel dan Metode Pengukuran
Variabel yang diteliti dalam studi ini adalah pengembangan karir, motivasi kerja, dan kinerja. Sedangkan metode pengukuran dilakukan dengan menggunakan langkah-langkah : (1) menyusun instrumen penelitian disertai dengan pengujian validitas (konstruk dan empirik) dan realibilitas instrument; (2) mengumpulkan data yang dilakukan melalui wawancara, penyebaran kuesioner dan datadata perusahaan yang berkenaan dengan program perencanaan dan pengembangan karir. 3. Analisis Data Analisis data yang dilakukan adalah dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu analisis kuantitatif dan kualitatif. Analisis data kuantitatif dilakukan untuk mengkaji tentang keterkaitan antara program pengembangan karir yang dirasakan oleh karyawan dan pengaruhnya terhadap motivasi dan kinerja mereka. Sebelum dianalisis, data yang sudah ada diolah secara statistik dengan menggunakan program SPSS versi 11,0. Adapun fasilitas yang data tersebut adalah dengan menggunakan : (1) Analisis Frekuensi, (2) Analisis Deskriptif, (3) Analisis Regresi dan Korelasi Multivariat. Salah satu asumsi statistik yang harus dipenuhi untuk menggunakan fasilitas/teknis di atas mengharuskan minimal data harus berskala interval sedangkan sebagian data yang diperoleh berskala ordinal, maka terlebih dahulu data yang sudah diperoleh akan dirubah ke dalam skala dengan menggunakan method of sussesive interval (Harun Al Rasyid, 2000).

D. HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari beberapa kompo-nen pengembangan karir hampir sebagian besar sudah dimiliki, meskipun dalam pelaksanaan-nya dilakukan dengan derajat yang berbeda. Diantara sekian banyak komponen, ternyata program yang telah dilaksanakan secara konsisten adalah pusat penilaian karyawan. Komponen pengembangan karir yang lainnya seperti lokakarya perencanaan karir, buku catatan Karir, Sistem Penempatan kerja, inventori kemampuan / keterampilan, jenjang dan jalur karir, sumber karir, pengetesan psikologis, perkiraan promosi, rencana beasiswa, seminarseminar dan pelatihan eksternal, program karir untuk kelompok sasaran khusus (jalur cepat bagi karyawan berprestasi, penyelia dan manajer, eksekutif senior, karyawan profesional, karyawan teknis, wanita) sudah dilaksanakan meskipun belum konsisten. Sedangkan kompo-nen lainnya mengenai pusat penilaian, program rotasi kerja, program pelatihan internal, dan program monitoring formal kadang-kadang dilaksanakan. Bentuk komitmen dari pihak manajemen puncak terhadap pengembangan karir
karyawannya adalah dengan memberikan beberapa perlaku-an, misalnya berupa promosi, kenaikan gaji, dan juga dengan memberikan konseling non formal kepada setiap karyawan yang memerlukan. Adapun bentuk kerja sama dengan para manajer lini dalam pengem-bangan karir karyawan adalah dengan diselenggarakannya pelatihanpelatihan internal maupun eksternal, pengarahan, dan monitoring. Untuk menghindari adanya informalitas dan subyektivitas dalam pengem-bangan karir karyawan, biasanya penilaian dilakukan tidak hanya oleh manajer pada bagiannya, tetapi oleh beberapa manajer yang mempunyai keterkaitan tugas. Pada dasarnya yang bertanggung jawab dalam kegiatan pengembangan karir karyawan adalah atasannya langsung, middle management dan top management. Berdasarkan wawancara dan kajian terhadap dokumen-dokumen yang ada, peneliti dapat memastikan bahwa pola jalur karir yang diformalkan dan disosialisasikan kepada karyawan belum dimiliki oleh perusahaan ini. Selain itu dapat diketahui juga bahwa pola pengembangan karir belum
dirancang secara jelas dan baku. Artinya, manajemen dalam mengembangkan karyawannya masih terpaku pada struktur organisasi yang ada (pola jalur karir tradisional). Pengaturan dasar untuk itu telah direncanakan, misalnya promosi, perpindahan lateral, dan titik pindah (switcing point), namun belum dijadikan acuan yang baku. Pengujian yang dilakukan dengan menggunakan analisis varians melalui SPSS dapat dilihat sebagai berikut :
Dari tabel diatas terlihat bahwa pengujian untuk variabel Pengembangan Karir dan variabel Motivasi, hasilnya sangat signifikan atau terpisah. Variabel pengembangan karir dan variabel motivasi berpengaruh secara positif terhadap variabel kinerja.
Untuk melihat hubung-an antar variabel, dapat dilihat dari tabel 2 diatas. Apabila dilihat secara parsial, terlihat bahwa variabel Pengembangan Karir lebih besar dibandingkan dengan variabel Motivasi dalam hal memberikan pengaruh terhadap variabel Kinerja. Hal ini terjadi dikarenakan bahwa motivasi seseorang akan timbul apabila pengembangan karir yang ada di sebuah perusahaan sudah ada dan jelas untuk dapat dilaksanakan. Hasil penelitian ini juga memperlihatkan bahwa apa yang peneliti temukan sudah sesuai dengan teori yang dikemukakan, yang mengatakan bahwa ada hubungan secara korelasional antara variabel Pengembangan Karir dengan variabel Motivasi dan secara bersama-sama kedua variabel tersebut memberikan pengaruh secara positif dan signifikans terhadap variabel Kinerja. Dilain pihak, masih ada variabel lain yang turut mempengaruhi variabel Kinerja, tetapi dalam penelitian ini tidak disertakan. Hal inilah yang menjadi gangguan bagi peneliti, karena apabila dilihat variabel lain tersebut cukup memberikan
pengaruh yang besar terhadap variabel Kinerja. Ini juga menjadi bahan masukan bagi peneliti, maupun peneliti lain sebagai bahan dasar masukan untuk dapat melanjutkan penelitian ini.

E. KESIMPULAN
Pengembangan karir di PTBNP Bandung saat ini secara keseluruhan belum dilaksanakan secara konsisten dan belum berjalan sesuai harapan. Pengembangan karir belum dilaksanakan dengan pola yang terarah tetapi lebih banyak dilakukan dengan cara trial and error. Variabel pengembangan karir memberi-kan pengaruh positif secara signifikan terhadap variabel motivasi kerja dan kinerja karyawan PTBNP Bandung, dimana variabel pengembangan karir memberikan determinasi yang lebih besar dibandingkan variabel motivasi dalam mempengaruhi variabel kinerja. Masih ada variabel lain yang turut berpengaruh terhadap variabel kinerja.

F. DAFTAR PUSTAKA
1. Al Rasyid, Harun, (2000), Statistika Sosial, Universitas Padjadjaran, Bandung.
2. Dessler Garry, (2000), Human Resource Management, 8th ed., Prentice Hall,Inc. Upper Saddle River New Jersey.
3. Gottfredson, Gary D., Holland,J.L, (1991) The Position Classification Inventory, Psychological Assessment Resources, Inc, Florida, USA.

oleh :
Drs. Herlan Suherlan, MM
dikutip dari : JURNAL PARIWISATA – STP BANDUNG

ANALISA HUBUNGAN LATAR BELAKANG KARYAWAN DAN PENGARUH KUALITAS LAYANAN INTERNAL TERHADAP KEPUASAN KARYAWAN DI HOTEL X, SURABAYA

Abstrak: Tujuan dari penelitian adalah untuk menginvestigasi hubungan antara latar belakang karyawan dan pengaruh kualitas layanan internal terhadap kepuasan karyawan di sebuah hotel bintang 4, Surabaya.
Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak ada hubungan dan perbedaan yang signifikan antara latar belakang karyawan (umur dan lamanya bekerja), kecuali tingkat pendidikan terhadap kepuasan karyawan.
Sebaliknya, ada pengaruh yang signifikan antara kualitas layanan internal dengan kepuasaan karyawan. Kerjasama, kesesuaian terhadap pekerjaaan dan kesesuaian terhadap teknologi merupakan faktor yang mempengaruhi kepuasaan karyawan secara signifikan.
Kata kunci: hotel, kualitas layanan internal, kepuasan karyawan, latar belakang karyawan.
Abstract: This study aims to examine the extent to which the relationship between employee background and the influence of the internal service quality (ISQ) on employee satisfaction in a four star hotel in Surabaya. The results show that there is no significant correlation between employee background (age, education qualification, and length of employment) and employee satisfaction. On the other hand, there is significant influence between internal service quality and employee satisfaction. Team work, employee job fit and technology job fit are the most important measurements of ISQ, which influence the employee satisfaction.
Keywords: hotel, internal service quality, employee satisfaction, employee background.

Industri jasa seringkali dikarakteristikkan sebagai transaksi dari suatu hal yang tidak berwujud antara penyedia jasa dan konsumen (Gronroos, 1990, p. 27),
kualitas dari penyedia jasa atau yang disebut juga layanan internal memiliki pengaruh langsung terhadap proses penyampaian jasa dan kepuasan konsumen. Seperti yang dikatakan oleh Pillai dan Bagavathi (2003) bahwa kesuksesan dan kegagalan
suatu organisasi tidaklah tergantung pada peralatan, mesin-mesin maupun materi lain, tetapi justru pada sumber daya manusianya. Demikian pula di industrijasa, sumber daya manusia yang berkualitas (baik dalam hal sifat maupun pengetahuan) sangat
dibutuhkan sebagai pelaksana dan penunjang operasional dan manajemen industri jasa tersebut (p. 146).
Selain sebagai pilar dalam organisasi, Azzohlini (1993) menyebutkan bahwa karyawan merupakan aset penting untuk membedakan satu organisasi dengan organisasi lain, dimana karyawan yang berkualitas akan menjadi keunggulan yang kompetitif bagi organisasi (Cheng, 2000). Sebagai tambahan, dalam artikelnya “A Study on the Factors of Internal Service Quality-Nurse for example”, Cheng menyatakan adanya korelasi yang positif antara kualitas layanan internal dengan kepuasan karyawan.
Beberapa faktor yang terkandung dalam kualitas layanan internal seperti tipe manajemen, komunikasi antar departemen yang ada, reward, training, job description yang jelas dan tanggung jawab yang tepat, sangat berpengaruh terhadap kepuasan karyawan dalam bekerja dimana pada akhirnya akan berdampak langsung pada kinerja perusahaan.
Sebagai contoh, Roth dan Jackson (1995) dalam penelitian secara empirik di industri keuangan menemukan bahwa kualitas layanan internal berhubungan secara langsung dengan kinerja perusahaan (Siehoyono, 2004).
Senada dengan pernyataan di atas, O’Connor (2001) dalam artikelnya Performance Management- Electrical Wholesaling, menyatakan bahwa “people behave as they are measured and drive action as they are rewarded” yang berarti orang berperilaku sebagaimana mereka diukur dan bertindak sebagaimana mereka di hargai. Seperti yang dikemukakan oleh Vroom (1964), bahwa setiap individu akan berusaha dengan harapan mendapat sesuatu, namun seberapa keras usahanya juga tergantung dengan seberapa besar sesuatu yang diberikan kepadanya.
Heskett dkk. (1997) mengemukakan model Service Profit Chain sebagai rangkaian sebab-akibat yang menghasilkan keuntungan dan pertumbuhan.
Model ini menyatakan bahwa kualitas layanan internal akan mempengaruhi kepuasan, loyalitas dan produktivitas karyawan. Fornell, C. (1992, p.12)mengemukakan bahwa kepuasan karyawan akan pelayanan internal yang berkualitas akan mendorong tumbuhnya loyalitas karyawan dalam organisasi, dan pada akhirnya akan mendorong penciptaan nilai pelayanan eksternal yang kemudian menentukan kepuasan pelanggan eksternal (Siehoyono, 2004).
Sebagai contoh penerapan model ini adalah pada Sears Roebuck Co. (Rucci, Kirn & Quinn, 1998)yang terbukti sukses dalam meningkatkan tujuan organisasi (Terry, n.d.). Berikutnya, berdasarkan Zeithaml dkk. (1991, dikutip dari Siehoyono, 2004)kualitas layanan internal dibagi lagi ke dalam tujuh bagian, meliputi (1) kerja sama (team work); (2)kesesuaian terhadap pekerjaan (employee job fit); (3)kesesuaian terhadap teknologi (technology job fit), (4)kemampuan kontrol diri (perceived control); (5)
sistem pengontrolan pengawasan (supervisory control system); (6) konflik peran (role conflict); dan (7) ambiguitas peran (role ambiguity).
Kepuasan kerja merupakan perasaan senang atau tidak senang karyawan atas segala sesuatu yang dihadapi ditempat kerja. Menurut Hasibuan (1995, p.222; Davis , 1987), kepuasan kerja karyawan harus diciptakan sebaik-baiknya supaya moral kerja, dedikasi, kecintaan, kedisplinan kerja dan prestasi kerja meningkat. Dari pendapat di atas, dapat diketahui bahwa jika karyawan merasa senang akan pekerjaannnya, maka karyawan tersebut akan mempunyai motivasi kerja, moral kerja dan dedikasi serta kedisiplinan kerja yang akan membawa dampak positif bagi perusahaan dan karyawan-karyawan itu sendiri. Begitu juga dengan kegiatan operasional di sebuah hotel sebagai salah satu usaha hospitality dan jasa. Ketika tamu merasa puas dengan pelayanan yang mereka terima dari suatu hotel maka secara tidak langsung telah terhubung dengan cara kerja
para karyawan yang telah bekerja dengan baik sehingga hasil kerja mereka dapat memuaskan para tamu. Salah satu faktor mengapa para karyawan dapat bekerja dengan sangat baik adalah dikarenakan kualitas layanan internal yang diberikan oleh perusahaan terhadap mereka memuaskan. Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti ingin mengetahui seberapa besar pengaruh kualitas layanan internal terhadap kepuasan karyawan di Hotel X, Surabaya. Selain itu, peneliti ingin menganalisa lebih jauh apakah terdapat hubungan antara latar belakang karyawan dan kepuasan karyawan dan apakah perbedaan antara latar belakang karyawan (umur, tingkat pendidikan dan lama bekerja) juga berpengaruh terhadap kepuasan karyawan.

TEORI PENUNJANG
Hubungan antara Latar Belakang Karyawan Dengan Kepuasan Karyawan Studi yang dilakukan oleh Kalleberg (1977), Lee dan Wibur (1985) dan Martin dan Hanson (1985, dikutip dari Dickie et al) menyatakan bahwa karakteristik karyawan sangat berpengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan. Dalam penelitian ini, karakteristik karyawan yang diteliti meliputi umur, level pendidikan dan lama bekerja. Blackburn dan Bruce (1989) menyatakan bahwa faktor karakteristik karyawan di atas memiliki pengaruh yang berbeda terhadap kepuasan kerja karyawan (Siehoyono, 2004). Beberapa studi yang meneliti mengenai hubungan antara latar belakang karyawan menghasilkan kesimpulan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, beberapa mengklaim adanya korelasi positif antara umur (Rhodes, 1993; Lee et al, 1985; Mottaz,
1987; Weaver, 1980 dikutip dari Dickie et al) dan level pendidikan karyawan (Oldham et al., 1986; Arnold, 1982 dikutip dari Dickie et al) terhadap kepuasan karyawan. Namun, beberapa studi menyatakan hal yang sebaliknya, seperti studi yang dilakukan oleh Reudavey (2001) yang menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara umur atau level pendidikan dengan kepuasan karyawan. Sebagai tambahan, lama bekerja juga dinyatakan tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan kepuasan karyawan (O’Reilly dan Roberts, 1975; Bedein et al., 1992 dikutip dari Dickie et al).
Dalam penelitian kali ini, diyakini bahwa faktor latar belakang karyawan (umur, level pendidikan dan lama bekerja) memiliki korelasi positif terhadap kepuasan karyawan. Sebagai contoh, karyawan yang sudah lama bekerja memiliki kecenderungan lebih puas dibandingkan dengan karyawan yang belum lama bekerja (Doering et al., 1983); setiap karyawan memiliki keinginan untuk mengimplementasikan pengetahuan, keahlian dan pendidikan yang didapatkan sebelumnya kepada perusahaan dimana mereka bekerja. Jika mereka tidak mampu mengaplikasikannya, mereka akan menjadi tidak puas dan pada akhirnya akan mempengaruhi lama bekerja (length of employment), hal ini bisa dikaitkan dengan loyalitas karyawan. Jika karyawan dihargai secara adil sesuai dengan prestasi kerjanya maka mereka akan merasa nyaman dalam bekerja dan tidak memiliki tendensi untuk berpindah pekerjaan di tempat lain (Siehoyono, 2004). Secara singkat, disimpulkan bahwa memang ada korelasi positif antara faktor latar belakang karyawan (umur, level pendidikan dan lama bekerja) terhadap kepuasan karyawan.
Pengaruh Antara Kualitas Layanan Internal Dengan Kepuasan Karyawan
Heskett dkk. (1994) mengartikan kualitas layanan internal sebagai kualitas dari lingkungan
kerja yang memberikan kontribusi terhadap kepuasan karyawan. Menurut Zeithmal dkk. (1991), kualitas layanan internal dibagi atas beberapa pengukuran yaitu kerjasama (teamwork), kesesuaian pekerjaan (employee job fit), kesesuaian fasilitas (technology job fit), kemampuan kontrol diri (perceived control), sistem pengontrolan pengawasan (supervisory control system), konflik peran (role conflict) dan kejelasan peran dalam bekerja (role ambiguity).
Menurut Miller (1991), kepuasan karyawan adalah suatu ukuran kepuasan dari tiap personel dengan peran yang berbeda dalam organisasi dan meliputi keterlibatan perusahaan (company involvement), keuangan dan status kerja (financial dan job status), dan kepuasan kerja intrinsik (intrinsic job satisfaction).
1. Pengaruh Antara Kerja Sama (teamwork) Dengan Kepuasan Karyawan Greenberd dan Baron (2003) menyatakan bahwa team adalah suatu kelompok yang anggotanya memiliki keahlian yang saling melengkapi dan masing-masing berkomitmen kepada tujuan yang sama (Siehoyono, 2004). Kerja sama yang saling menguntungkan dan mendukung dalam suatu organisasi, akan menimbulkan kepuasan tersendiri pada anggota kelompok itu sendiri. Dari studi yang dilakukan oleh Loveman (1998) terhadap bank retail disimpulkan bahwa kerja sama adalah salah satu faktor yang memberi kontribusi atas kepuasan karyawan selain kualitas perusahaan, penghargaan dan fokus konsumen. Kesimpulan ini juga didukung pernyataan dari Heinhuis et al.,
(1998) yaitu adanya hubungan antara kerja sama dengan kepuasan karyawan (Siehoyono, 2004).
2. Pengaruh Antara Kesesuaian Terhadap Pekerjaan (employee job fit) Dengan Kepuasan Karyawan Advantage Hiring, Inc mendefinisikan kesesuaian kerja sebagai karakteristik dari lingkungan kerja (Mozkowitz, Get “FIT” to reduce turnover, n.d.). Menurut O’Reilly, Chatman, & Caldwell (1991), tujuan perusahaan yang menyatu kepada tujuan karyawan secara perorangan akan menjadikan karyawan merasa sayang untuk pergi (Mozkowitz, Get “FIT” to reduce turnover, n.d.). Namun sebaliknya, karyawan yang merasa tidak cocok dengan tujuan perusahaan cenderung tidak puas dan meninggalkan perusahaan (Lovelace dan Rosen, 1996). Semakin tinggi kesesuaian terhadap pekerjaan, maka akan semakin kecil penyimpangan terhadap performa kerja.
3. Pengaruh Antara Kesesuaian Terhadap Teknologi (technology job fit) Dengan Kepuasan Karyawan Kesesuaian terhadap teknologi berkaitan dengan ketepatan terhadap alat atau teknologi yang digunakan dalam bekerja. Penelitian menunjukkan adanya hubungan sebab-akibat antara technology job fit dengan employee satisfaction (Corbet et al., 1989). Dengan kata lain, penggunaan teknologi yang sesuai akan menjadikan pekerjaan tersebut efisien dan menimbulkan rasa puas dalam diri karyawan. Semakin tinggi kesesuaian terhadap teknologi, maka akan semakin besar komitmen pada perusahaan.
4. Pengaruh Antara Kemampuan Kontrol Diri (perceived control) Dengan Kepuasan Karyawan
Kemampuan kontrol diri mewakili hubungan antara reaksi individu terhadap tekanan dan
kemampuan untuk mengendalikan situasi tersebut (Zeithaml et al., 1991). Menurut Averill (1973, dikutip dari Zeithaml et al., 1991) ada 3 bentuk kontrol yaitu: (1) kontrol perilaku yaitu kemampuan untuk memberi respon yang mempengaruhi situasi yang mengancam; (2) kontol kognitif yaitu kemampuan untuk mengurangi tekanan sesuai informasi yang diproses, dan (3) kontrol keputusan melibatkan seleksi atau pemilihan tujuan. Semakin tinggi kemampuan kontrol diri, maka akan semakin besar komitmen pada perusahaan.
5. Pengaruh Antara Sistem Pengontrolan Pengawasan (supervisory control system) Dengan Kepuasan Karyawan Definisi sistem pengontrolan pengawasan adalah
untuk menentukan aktivitas mengawasi karyawan, selain itu juga mencakup dukungan sosial (Zeithaml et al.,1991). Dalam kondisi yang sederhana, sistem pengontrolan pengawasan merujuk
pada tingkat dimana perilaku karyawan dievaluasi lebih dibandingkan kuantitas output.
Menurut Butler (1999), pengawasan mempunyai peran penting dalam mengkoordinasikan kerja
sama di antara karyawan: kesatuan grup dapat didukung dengan efisien oleh para manajer.
Semakin baik sistem pengontrolan pengawasan, maka akan semakin tinggi kerja sama dan
kepercayaan karyawan terhadap manajemen (Siehoyono, 2004).
6. Pengaruh Antara Konflik Peran (role conflict) Dengan Kepuasan Karyawan Ketika individu dihadapkan pada peran yang menyimpang dari harapan, hasilnya adalah konflik
peran (Robbins, 1996). Konflik peran adalah suatu situasi yang terjadi jika seseorang diharapkan untuk memerankan dua peran yang bertentangan. Perubahan yang sering terjadi terhadap
lokasi kerja, jumlah staf pendukung dan tanggung jawab pengawasan diidentifikasikan oleh Kahn et al., (1964) sebegai penyebab adanya konflik yang salah satunya adalah konflik peran (role conflict). Konflik yang tidak kunjung terselesaikan akan mempengaruhi performa kerja (Bernard & White, 1986), dan konsekuensinya adalah penurunan kepuasan kerja (Kahn et al., 1964).
7. Pengaruh Antara Ambiguitas Peran (role ambiguity) Dengan Kepuasan Karyawan
Ambiguitas peran dalam perspektif karyawan oleh Mills dan Margulies mengacu secara khusus
kepada situasi yang tidak jelas mengenai bagaimana menjalankan peran dalam organisasi.
Ambiguitas peran dihasilkan dari ketidakpastian seseorang tentang harapan mereka dari pekerjaan yang diberikan (Werther dan Davis, 1996). Penelitian yang dilakukan oleh Kahn et al.,
(1964), menyatakan bahwa peran dalam organsasi yang perkembangannya terus berubah akan
menimbulkan ketidakjelasan peran karena ekspektasi yang ada juga sering berubah.
Ketidakmampuan dalam menghadapi ambiguitas peran (ambiguity role) merupakan salah satu
penyebab tekanan dalam bekerja (Rizzo et al., 1970), dan juga berpengaruh pada penurunan
kepuasan kerja karyawan (Fisher & Gitelson, 1983; Jackson & Schuler, 1985; Lamble, 1980;
Igbaria & Guimaraes, 1993 dikutip dari Chambers, Moore & Bachtel, n.d.).
Gambar 1. Kerangka Berpikir

METODOLOGI PENELITIAN
Jenis Penelitian, Populasi dan Sampel Penelitian ini bersifat deskriptif yang bertujuan untuk menjelaskan hubungan dan pengaruh antara variabel bebas yaitu kualitas layanan internal (X1) dan latar belakang karyawan (X2) dengan variabel tergantung (Y) yaitu kepuasan karyawan. Dalam penelitian ini, populasi yang akan diteliti adalah seluruh karyawan Hotel X baik yang secara langsung berhadapan dengan konsumen (front line) maupun yang tidak langsung (back line) dengan jumlah populasi sebanyak 150 orang. Hotel X sebagai family resort hotel berbintang 4 di Surabaya berdiri pada tahun 1995 sangat cocok untuk keperluan bisnis maupun untuk liburan keluarga. Hotel X terdiri dari 114 kamar yang terdiri dari 54 kamar Superior Suite, 54 kamar Deluxe Suite dan 6 kamar X suite, dimana di tiap kamar disediakan fasilitas-fasilitas yang memberi kenyamanan tersendiri yang disesuaikan dengan tipe kamar.
Jumlah sampel yang akan disebar kepada responden diperkirakan sekitar 150 kuesioner. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah non probability sampling dengan cara quota sampling dimana patokan yang dipakai yaitu sampel diambil dari masing-masing departemen sebanyak 50% - 60% dari total karyawan tiap departemen.

Definisi Operasional Variabel
Dalam penelitian ini, terdapat beberapa variabel yang diteliti yaitu variabel kualitas layanan internal yang memuat sejumlah unsur, variabel latar belakang karyawan yang terdiri dari unsur umur, level pendidikan dan lama kerja, dan variabel kepuasan karyawan baik secara khusus maupun umum. Berikut adalah penjelasan dari setiap variabel yang ada beserta unsur-unsurnya.
• Kualitas layanan internal merupakan kualitas dari lingkungan kerja yang memberikan kontribusi terhadap kepuasan karyawan (Heskett dkk, 1994). Menurut Zeithaml (1991) terdapat beberapa unsur yang mendukung kualitas layanan internal, yang
juga diteliti dalam studi ini yaitu:
1. Kerjasama atau teamwork, adalah hubungan yang saling menguntungkan dan mendukung
dalam suatu organisasi yang dilakukan 2 orang atau lebih untuk mencapai suatu tujuan yang
telah disepakati.
2. Keseuaian terhadap pekerjaan atau employee job fit, adalah keadaan dimana karyawan merasa sesuai dengan pekerjaan yang sekarang ditekuni.
3. Kesesuaian terhadap teknologi atau technology job fit, adalah hal ketepatan terhadap alat atau teknologi yang digunakan dalam bekerja.
4. Kemampuan kontrol diri atau perceived control, adalah hubungan antara reaksi individu terhadap tekanan dan kemampuan untuk mengendalikan situasi tersebut.
5. Sistem pengawasan dan pengontrolan atau supervisory control system, merupakan halmenentukan aktivitas mengawasi karyawan, selain itu juga mencakup dukungan sosial (Zeithaml et al.,1991).
6. Konflik peran atau role conflict, adalah suatu situasi yang terjadi jika seseorang diharapkan
untuk memerankan dua peran yang bertenangan (Kahn et al, 1964).
7. Ambiguitas peran atau role ambiguity, mengacu secara khusus kepada situasi yang tidak jelas mengenai bagaimana menjalankan peran dalam organisasi (Miles & Marglies), yang dihasilkan dari ketidakpastian seseorang tentang harapan mereka dari pekerjaan yang diberikan (Werther dan Davis, 1996).
• Latar belakang karyawan
Mencakup hal-hal yang berkaitan dengan diri setiap karyawan khususnya mengenai jenis kelamin, usia, level pendidikan, tingkat pendapatan dan lama kerja. Dalam penelitian ini, akan
dilakukan pengujian apakah latar belakang karyawan (usia, level pendidikan dan lamanya
kerja) mempengaruhi kepuasan seorang karyawan.
• Kepuasan karyawan, menurut Miller (1991),
adalah suatu ukuran kepuasan dari tiap personel dengan peran yang berbeda dalam organisasi yang meliputi keterlibatan perusahaan (company involvement), keuangan dan status kerja (financial dan job status), dan kepuasan kerja intrinsik (intrinsic job satisfaction).

Metode Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data pada penelitian ini adalah kuesioner dengan skala likert (labeled), dimana isinya adalah serangkaian pertanyaan dan pernyataan yang dirumuskan sesuai dengan objek yang sedang diteliti yaitu kualitas layanan internal, latar belakang karyawan dan kepuasan karyawan. Cara pengisian kuesioner adalah responden diminta untuk memberi pendapat tentang serangkaian pernyataan yang berkaitan dengan obyek yang sedang diteliti dalam
bentuk nilai yang berada di antara rentang 2 sisi.
1 2 3 4 5
Angka-angka di atas adalah bobot atau skor pada masing-masing skala yang telah ditentukan dimana pada ujung-ujungnya ditutup dengan pernyataan yang bertentangan (sangat setuju=5 dan sangat tidak setuju=1). Untuk hasil akhir, responden juga diminta untuk memberi pendapat mengenai kepuasannya terhadap perusahaan secara keseluruhan dengan memberi nilai antara 1 hingga 10 dimana 1 adalah sangat tidak puas dan 10 adalah sangat puas.
Dalam kuesioner yang disebarkan, terdapat 6 pertanyaan dan 33 pernyataan yang mana telahdiklasifikasikan ke dalam topik-topik (khususnya tujuh unsur kualitas layanan internal menurut Zeithaml, 1991) yang ingin diteliti guna memudahkan data dianalisa. Berikut adalah klasifikasi pertanyaan dan pernyataan dalam kuesioner:
• Latar belakang karyawan
Pertanyaan mengenai jenis kelamin, usia, pendapatan per bulan, level pendidikan, departemen
tempat bekerja dan lama kerja.
• Kualitas layanan internal, terbagi dalam 7 bagian, yaitu:
1. Kerjasama
a. Saya merasa bagian dari tim di perusahaan.
b. Kami saling mendukung dalam melayani pelanggan (semua terlibat).
c. Salah satu tanggung jawab saya adalah membantu menyelesaikan pekerjaan kolega saya.
d. Saya dan kolega saya bekerjasama lebih dari kompetisi.
e. Saya yakin saya adalah salah satu yang terpenting dalam perusahaan.
2. Kesesuaian terhadap pekerjaan
a. Saya mampu mengerjakan pekerjaan saya dengan baik.
b. Perusahaan ini tepat dalam penempatan karyawannya.
c. Sistem perekrutan karyawan adil dan tidak bias.
3. Kesesuaian terhadap teknologi
a. Saya mendapat peralatan dan fasilitas yang cukup yang mendukung pekerjaan saya.
b. Fasilitas dan peralatan perusahaan bekerja dengan baik.
4. Kemampua kontrol diri
a. Dalam bekerja, saya bebas berinteraksi dengan kolega dan atasan saya.
b. Dalam bekerja, saya menggunakan waktu untuk pekerjaan di luar kemampuan saya.
c. Terkadang saya tidak mampu menyelesaikan tugas karena banyak kolega saya yang meminta bantuan.
5. Sistem pengontrolan pengawasan
a. Saat mengevaluasi kinerja, atasan saya mempertimbangkan perlakuan saya terhadap atasan dan kolega saya.
b. Perusahaan memberi gaji lebih atau penghargaan untuk hasil kerja yang lebih pada kolega saya.
c. Dalam perusahaan, yang memberikan pelayanan lebih kepada para kolega akan lebih dihargai.
d. Saya menerima masukan yang berguna untuk memperbaiki kinerja saya.
a. Saya tidak dapat membantu kolega saya tepat waktu karena banyak pekerjaan yang harus saya lakukan.
b. Apa yang diinginkan atasan dan kolega saya biasanya saling mendukung.
c. Perusahaan dan saya mempunyai visi yang sama mengenai cara kerja.
7. Ambiguitas peran
a. Saya mendapat info yang cukup tentang apa yang diharapkan oleh manajemen terhadap pekerjaan saya.
b. Saya merasa perusahaan tidak memberi pelatihan yang baik tentang bagaimana seharusnya karyawan beinteraksi dengan
• Kepuasan karyawan, meliputi 3 unsur menurut
1. Keterlibatan perusahaan
a. Saya senang sekali bekerja disini.
b. Saya dengan senang hati menyarankan teman atau kerabat untuk bekerja disini.
c. Perusaaan bersikap adil kepada setiap
2. Keuangan dan status kerja
a. Saya puas dengan gaji saya.
b. Saya puas akan kesempatan mendapat kenaikan gaji.
c. Saya puas dengan apa yang terjadi di
d. Perusahaan menawarkan jenjang karir yang saya inginkan.
3. Kepuasan kerja intrinsik
a. Saya menyenangi apa yang saya kerjakan.
b. Pekerjaan memberikan saya kesempatan untuk melakukan yang terbaik.
c. Pekerjaan sangatlah penting bagi saya.
• Kepuasan kerja secara keseluruhan, diwakili oleh pertanyaan seberapa besar tingkat kepuasan anda terhadap perusahaan dimana responden bekerja.
Pernyataan-pernyataan dalam kuesioner dirumuskan sesuai tujuan penelitian yaitu mengetahui
tingkat pengaruh kualitas layanan internal yang meliputi tujuh unsur menurut Zeithaml dkk. (1991) terhadap kepuasan karyawan.

ANALISA DAN PEMBAHASAN

Kuesioner yang disebar adalah sebanyak 150 kuesioner, sedangkan yang kembali sebanyak 128
kuesioner, sehingga didapati response rate sebesar 85,33%. Dari 128 kuesioner yang kembali, setelah diperiksa didapati 6 kuesioner tidak valid karena ada pertanyaan yang dijawab lebih dari 1 dan ada pernyataan yang tidak dijawab. Sehingga ada 122 kuesioner saja yang dapat dioleh dalam penelitian ini. 122 responden yang menjawab terdiri dari 82 pria dan 40 wanita. Dengan tingkat reliabilitas sebesar alpha ά = 0,83 dapat disimpulkan bahwa kuesioner sebagai alat pengumpul data dapat dipercaya memberikan hasil analisa data yang valid. Seperti yang dikatakan oleh Nunally (1978) bahwa reliabilitas dari alpha yang dibuat untuk menguji konsistensi dari butir-butir pernyataan dalam setiap variabel lebih besar atau sama dengan 0,70 menunjukan bahwa instrumen tersebut memberikan hasil analisa data yang dapat dipercaya.
Latar Belakang Karyawan Dengan menggunakan uji beda one way of analysis variance (ANOVA) dan uji korelasi pearson momen (r), hasil pengolahan data menunjukan tidak ada perbedaan ataupun hubungan yang signifikan antara latar belakang karyawan khususnya umur dan lamanya bekerja terhadap kepuasan karyawan. Hanya tingkat pendidikan yang berbeda menunjukan hubungan dan perbedaan yang signifikan dengan kepuasaan karyawan. Nilai dan tingkat signifikansi dapat dilihat pada tabel 1.
Pada tabel 1 dapat disimpulkan bahwa karyawan dengan tingkat pendidikan paling rendah (SLTP) cenderung lebih tinggi tingkat kepuasaannya dibandingkan dengan karyawan yang tingkat pendidikannya lebih tinggi. Ada kecenderungan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seorang karyawan semakin sulit untuk memuaskan karyawan tersebut.
Kualitas Layanan Internal dan Kepuasan Karyawan Kualitas layanan internal yang akan diteliti terbagi menurut 7 variabel yaitu kerjasama (teamwork), kesesuaian terhadap pekerjaan (employee job fit), kesesuaian terhadap teknologi (technology job fit), kemampuan kontrol diri (perceived control), sistem pengontrolan dan pengawasan (supervisory control system), konflik peran (role conflict), dan ambiguitas peran (role ambiguity).

Data regresi pada tabel 3 adalah regresi atas 7 variabel kualitas layanan internal terhadap kepuasan karyawan,. Pada tabel 3, hubungan antara variabel kualitas layanan terhadap kepuasan karyawan positif sebesar 0,72 sedangkan Adjusted R2 = 49,4% yang berarti bahwa variabel independen di atas mempengaruhi variabel dependen sebesar 49,4% sedangkan 50,6% dipengaruhi oleh faktor lain. Pada tabel ANOVA, pengaruh variabel-variabel kualitas layanan internal secara serempak sebesar F= 17,86 dengan p= 0,000 signifikan pada tingkat 0,001 terhadap kepuasan karyawan.

Dari hasil analisa regresi berganda, hanya ada 2 variabel yang mempengaruhi secara signifikan yaitu:
  • Variabel kesesuaian terhadap pekerjaan (employee job fit), dengan p= 0,006 signifikan pada level 0,01.
  • Variabel kesesuaian terhadap teknologi (technology job fit), dengan p= 0,000 signifikan pada level 0,01.
Dari masing-masing koefisien regresi tersebut, dapat dijelaskan sebagai berikut:
β 2= 0,21 → Koefisien regresi employee job fit (c2) sebesar 0,21 menunjukkan bahwa jika tanggapan responden terhadap variabel bebas employee job fit naik satu satuan sedangkan variabel lain dinyatakan konstan atau sama dengan nol, maka variabel terikat (Y) yaitu kepuasan karyawan akan naik sebesar 1,56 didapat dari Y = 1,35 +0,21(1) + 0,28 (0).
β 3= 0,28 → Koefisien regresi technology job fit (c3) sebesar 0,28 menunjukkan bahwa jika tanggapan responden terhadap variabel bebas technology job fit naik satu satuan sedangkan variabel lain dinyatakan konstan atau sama dengan nol maka variabel terikat (Y) yaitu kepuasan karyawan akan naik sebesar 1,63 didapat dari Y= 1,35+ 0,21 (0) + 0,28 (1).
Sedangkan variabel kerjasama (team work) , dengan p= 0,058 atau p= 0,06 melebihi sedikit batas tingkat signifikan yang telah ditetapkan oleh peneliti yaitu sebesar 0.05. Jika diasumsi variabel tersebut signifikan, maka dari ketujuh variabel kualitas layanan internal hanya ada 3 variabel yang mempengaruhi kepuasan karyawan Hotel X secara siginifikan yaitu kesesuaian terhadap pekerjaan, kesesuaian terhadap teknologi dan kerjasama. Tabel 6 hasil regresi menunjukkan pengaruh ketiga variabel ini terhadap kepuasan karyawan.

Dengan R = 0,72 dan Adjusted R2 sebesar 49,9% atau hampir 50%, maka disimpulkan bahwa ketiga variabel di atas mempengaruhi kepuasan karyawan sebesar 49,9% sedangkan 50,1% lainnya dipengaruhi oleh faktor lain. Jika dibandingkan dengan Tabel 2. Pengaruh 7 Variabel Kualitas Layanan Internal terhadap Kepuasan Karyawan dengan R = 0,72 dan Adjusted R2 = 49,4% yang berarti bahwa variabel independen di atas mempengaruhi variabel dependen sebesar 49,4% sedangkan 50,6% dipengaruhi oleh faktor lain, dapat disimpulkan bahwa dari ketujuh variabel kualitas layanan internal yang diteliti hanya 3 variabel saja yaitu kerjasama, kesesuaian terhadap pekerjaan dan kesesuaian terhadap teknologi yang mempengaruhi kepuasan karyawan di Hotel X dengan p= 0,000 signifikan pada tingkat 0.001.

Dari tabel 8 dapat dilihat 3 variabel yang secara signifikan mempengaruhi kepuasan karyawan yaitu :
  • Variabel kerjasama (teamwork), dengan p= 0,003 signifikan pada level 0,01.
  • Variabel kesesuaian terhadap pekerjaan (employee job fit), dengan p=0,001 signifikan pada level 0.01.
  • Variabel kesesuaian terhadap teknologi (technoogy job fit), dengan p=0,000 signifikan pada level 0.01
Dari masing-masing koefisien regresi tersebut, dapat dijelaskan sebagai berikut:
β 1= 0,19 → Koefisien regresi teamwork (c1) sebesar 0,19 menunjukkan bahwa jika tanggapan
responden terhadap variabel bebas teamwork naik satu satuan sedangkan variabel lain dinyatakan konstan maka variabel terikat (Y) yaitu kepuasan karyawan akan naik sebesar 1,28.
β 2= 0,23 → Koefisien regresi employee job fit (c2) sebesar 0,23 menunjukkan bahwa jika tanggapan responden terhadap variabel bebas employee job fit naik satu satuan sedangkan variabel lain dinyatakan konstan maka variabel terikat (Y) yaitu kepuasan karyawan akan naik sebesar 1,32.
β 3= 0,30 → Koefisien regresi technology job fit (c3) sebesar 0,30menunjukkan bahwa jika tanggapan responden terhadap variabel bebas technology job fit naik satu satuan sedangkan variabel lain dinyatakan konstan maka variabel terikat (Y) yaitu kepuasan karyawan akan naik sebesar 1,39.
Dapat disimpulkan bahwa variabel kesesuaian terhadap teknologi adalah faktor dominan yang mempengaruhi kepuasan kerja (β 3= 0,30), diikuti oleh variabel kesesuaian terhadap pekerjaan (β 2= 0,23) dan yang terakhir adalah variabel kerjasama (β 1= 0,19).

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Berdasarkan analisa dan pembahasan, dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak terdapat hubungan
dan perbedaan yang signifikan dari latar bela kang karyawan khususnya umur dan lamanya bekerja terhadap kepuasan karyawan di Hotel X (hanya faktor tingkat pendidikan yang menunjukan korelasi dan perbedaan yang signifikan). Selanjutnya dari 7 variabel kualitas layanan internal hanya ada 3 variabel yaitu kerjasama, kesesuaian terhadap pekerjaan dan kesesuaian terhadap teknologi berpengaruh secara positif terhadap kepuasan karyawan dengan faktor kesesuaian terhadap teknologi sebagai faktor yang dominan. Hasil analisa penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:




Saran
Dari kesimpulan di atas ada beberapa saran yang diharapkan dapat memberi masukan bagi Hotel X dan industri perhotelan lainnya yaitu sebagai berikut:
1. Hotel X atau industri perhotelan perlu memperhatikan bahwa tingkat pendidikan harus disesuaikan dengan pekerjaan dan teknologi yang mendukung di lingkungan kerja karena ketiga faktor ini mempengaruhi kepuasan karyawan di dalam organisasi. Selain itu usaha menciptakan budaya kerjasama antar individu didalam organisasi selalu diperhatikan.
2. Untuk meningkatkan kualitas layanan yang dapat mempengaruhi kepuasan karyawan, maka Hotel X atau industri perhotelan perlu memperhatikan kualitas layanannya terhadap karyawan, khususnya dengan mengevaluasi dan memperbaiki dimensi kualitas layanan yang dirasa karyawannya tidak memuaskan.
Penelitian ini merupakan penelitian awal untuk menginvestigasi bagaimana hubungan latar belakang karyawan dan pengaruh kualitas layanan yang diberikan oleh salah satu pihak industri perhotelan di Surabaya terhadap kepuasaan karyawannya, sehingga disarankan penelitian yang berkesinambungan serta melibatkan beberapa hotel di Surabaya akan memberikan hasil yang lebih akurat. Dari segi metodologi penelitian, disarankan untuk melibatkan pendekatan secara kualitatif berupa wawancara ataupun observasi untuk menggali lebih jauh faktor-faktor lain khususnya yang diciptakan oleh pihak industri untuk memuaskan karyawannya.

DAFTAR PUSTAKA
Academy of Criminal Justice Sciences. (1990 March). Police stress and organizational formalization: explaining individual responses by organizational traits, pp.13–17.
Chambers, B., Moore, A.B., & Bachtel, D. (n.d.). Role conflict, role ambiguity and job satisfaction
of county extension agents in the Georgia cooperative extension service.
Lamble, G. W. (1980). Role conflict and ambiguity of agricultural extension agents. Dissertation
Abstracts International, 41, 1346A. (University Microfilms No. 8023044).
Lovelace, K. & Rosen, B. (1996). Differences in achieving person-organization fit among
diverse groups of managers. Journal of Management, 22(5), 703-722.
Moskowitz, R. Get “FIT” to reduce turnover. Senir consultant – Advantage Hiring.
Nunally, J. C. (1978). Psychometeric theory, (2nd ed), New York: McGraw-Hill.
O’Connor, T. J (2001). Performance management - Electrical wholesaling.
Rizzo, J. R., House, R. J. & Lirtzman, S. L. (1970). Role conflict and ambiguity in complex organizations. Administrative Science Quarterly, 15, pp. 150-163.
Rucci, A. J., Kirn, S. P., & Quinn, R. T. (1998). The employee-customer-profit chain at sears. Harvard Business Review, January-February.
Siehoyono, L. (2004). Am I satisfied?: Analysing the influence of employee backgrounds and internal service quality on employee satisfaction in economics faculty of Petra christian university, Surabaya. Proposal penelitian internal. Surabaya: Program Management Perhotelan.
Sugiyono. (1997). Statistika untuk penelitian, (Edisi 2), Bandung: Alfabeta.
Terry, B. D. Agent performance and customer satisfaction (online). http://www.joe.org/joe/2004 december/a4.shtml (diakses 8 November 2005)

oleh:
Lintje Siehoyono
Dosen Program Manajemen Perhotelan, Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Petra Surabaya
 

Jurnal Sdm Olif Sponsored by liza Caem