Definisi Hotel, Hotel adalah suatu bentuk bangunan, lambang, perusahaan atau badan usaha akomodasi yang menyediakan pelayanan jasa penginapan, penyedia makanan dan minuman serta fasilitas jasa lainnya dimana semua pelayanan itu diperuntukkan bagi masyarakat umum, baik mereka yang bermalam di hotel tersebut ataupun mereka yang hanya menggunakan fasilitas tertentu yang dimiliki hotel itu. Pengertian hotel ini dapat disimpulkan dari beberapa definisi hotel seperti tersebut di bawah ini :
a. Salah satu jenis akomodasi yang mempergunakan sebagian atau keseluruhan bagian untuk jasa pelayanan penginapan, penyedia makanan dan minuman serta jasa lainnya bagi masyarakat umum yang dikelola secara komersil (Keputusan Menteri Parpostel no Km 94/HK103/MPPT 1987)
b. Bangunan yang dikelola secara komersil dengan memberikan fasilitas penginapan untuk masyarakat umum dengan fasilitas sebagai berikut :
1) Jasa penginapan
2) Pelayanan makanan dan minuman
3) Pelayanan barang bawaan
4) Pencucian pakaian
5) Penggunaan fasilitas perabot dan hiasan-hiasan yang ada di dalamnya.
(Endar Sri,1996:8)
c. Sarana tempat tinggal umum untuk wisatawan dengan memberikan pelayanan jasa kamar, penyedia makanan dan minuman serta akomodasi dengan syarat pembayaran (Lawson, 1976:27)
Karakteristik Hotel
Perbedaan antara hotel dengan industri lainnya adalah :
a. Industri hotel tergolong industri yang padat modal serta padat karya yang artinya dalam pengelolaannya memerlukan modal usaha yang besar dengan tenaga pekerja yang banyak pula.
b. Dipengaruhi oleh keadaan dan perubahan yang terjadi pada sektor ekonomi, politik, sosial, budaya, dan keamanan dimana hotel tersebut berada.
c. Menghasilkan dan memasarkan produknya bersamaan dengan tempat dimana jasa pelayanannya dihasilkan.
d. Beroperasi selama 24 jam sehari, tanpa adanya hari libur dalam pelayanan jasa terhadap pelanggan hotel dan masyarakat pada umumnya.
e. Memperlakukan pelanggan seperti raja selain juga memperlakukan pelanggan sebagai patner dalam usaha karena jasa pelayanan hotel sangat tergantung pada banyaknya pelanggan yang menggunakan fasilitas hotel tersebut.
Jenis Hotel
Penentuan jenis hotel tidak terlepas dari kebutuhan pelanggan dan ciri atau sifat khas yang dimiliki wisatawan (Tarmoezi, 2000) :
5) Berdasarkan hal tersebut, dapat dilihat dari lokasi dimana hotel tersebut dibangun, sehingga dikelompokkan menjadi:
a. City Hotel
Hotel yang berlokasi di perkotaan, biasanya diperuntukkan bagi masyarakat yang bermaksud untuk tinggal sementara (dalam jangka waktu pendek). City Hotel disebut juga sebagai transit hotel karena biasanya dihuni oleh para pelaku bisnis yang memanfaatkan fasilitas dan pelayanan bisnis yang disediakan oleh hotel tersebut.
b. Residential Hotel
Hotel yang berlokasi di daerah pinngiran kota besar yang jauh dari keramaian kota, tetapi mudah mencapai tempat-tempat kegiatan usaha. Hotel ini berlokasi di daerah-daerah tenang, terutama karena diperuntukkan bagi masyarakat yang ingin tinggal dalam jangka waktu lama. Dengan sendirinya hotel ini diperlengkapi dengan fasilitas tempat tinggal yang lengkap untuk seluruh anggota keluarga.
c. Resort Hotel
Hotel yang berlokasi di daerah pengunungan (mountain hotel) atau di tepi pantai (beach hotel), di tepi danau atau di tepi aliran sungai. Hotel seperti ini terutama diperuntukkan bagi keluarga yang ingin beristirahat pada hari-hari libur atau bagi mereka yang ingin berekreasi.
d. Motel (Motor Hotel)
Hotel yang berlokasi di pinggiran atau di sepanjang jalan raya yang menghubungan satu kota dengan kota besar lainnya, atau di pinggiran jalan raya dekat dengan pintu gerbang atau batas kota besar. Hotel ini diperuntukkan sebagai tempat istirahat sementara bagi mereka yang melakukan perjalanan dengan menggunakan kendaraan umum atau mobil sendiri. Oleh karena itu hotel ini menyediakan fasilitas garasi untuk mobil.
Segi Jumlah Kamar Hotel
Menurut Tarmoezi (Tarmoezi,2000:3), dari banyaknya kamar yang disediakan, hotel dapat dibedakan menjadi :
a. Small Hotel
Jumlah kamar yang tersedia maksimal sebanyak 28 kamar.
b. Medium Hotel
Jumlah kamar yang disediakan antara 28- 299 kamar.
c. Large Hotel
Jumlah kamar yang disediakan sebanyak lebih dari 300 kamar.
Klasifikasi Hotel
Menurut keputusan direktorat Jendral Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi no 22/U/VI/1978 tanggal 12 Juni 1978 (Endar Sri, 1996 : 9), klasifikasi hotel dibedakan dengan menggunakan simbol bintang antara 1-5. Semakin banyak bintang yang dimiliki suatu hotel, semakin berkualitas hotel tersebut. Penilaian dilakukan selama 3 tahun sekali dengan tatacara serta penetapannya dilakukan oleh Direktorat Jendral Pariwisata.
Wednesday, July 22, 2009
Motivator and Hygiene Factors Explaining Overall Job Satisfaction among Pharmaceutical Sales Representatives
Abstract:
This study intends (1) to determine the amount of variance in pharmaceutical sales representatives’ overall job satisfaction explained by motivator and hygiene factors and (2) to explore whether demographic subgroups are statistically different regarding overall job satisfaction. Descriptive statistics, independent samples t-test and stepwise multiple regression are used for the purpose of statistical analyses. “Work itself” is reported to be the most motivating dimension of the job whilst “operating procedures” is reported to be the least motivating dimension of the job for frontline salesforce in pharmaceutical companies.
Study results show that motivator and hygiene factors have moderate to substantial
relationship with overall job satisfaction. Five distinct job factors such as “growth”,
“coworkers”, “promotion opportunities”, “rewards and recognition” and “job security” are
found to be the significant predictors contributing 71 per cent variability in sales representatives’ overall job satisfaction. Study concludes that demographic variables do not contribute significant variations in sales representatives’ overall level of job satisfaction.
Key Words
Motivator factors, Hygiene factors, Overall job satisfaction.
Introduction
Thousands of the published research articles and dissertations report that job satisfaction is related to performance, productivity, organizational commitment, retention and turnover of the employees. Job satisfaction is regarded as a vital factor in almost all the industries and its need is gaining value in pharmaceutical industry of Pakistan as well due to intensified competition, changes in organizational objectives and socio-economic conditions.
The quittal of the salespersons due to job dissatisfaction not only incurs huge cost in hiring and retraining them but creates difficulties for the management also to rebuilding sales team, regaining market share snatched by the competitors and reestablishing relationship with the customers. So, the improvement in job satisfaction of the frontline soldiers is a matter of great concern for the management of pharmaceutical companies for sustainable competitive advantage, increased market share and building long lasting relationships with the key customers.
Job satisfaction is an attitude which in formed when an employee takes into account
his feelings, behaviours and beliefs of the job. Locke (1976) has defined job satisfaction as a pleasurable emotional state which results from the appraisal of one’s job experiences. Porter, Lawler and Hackman (1975) have noted that the feeling of job satisfaction is realized by the difference between the amount of valued outcome that an employee obtains and the amount of outcome he feels he should receive. The biggest prelude to the study regarding job satisfaction was Hawthorne studies. In these sudies (1924-1933) the researchers attempted to expore the impact of illumination on the productivity of the workers. The studies concluded that the novel changes in work conditions temporarily improves the productivity (called Hawthorne Effect). The findings of the study were later challenged on the ground that the enhancement of the productivity was not resulted from the new conditions but from the knowledge of being observed. This finding paved the way for researchers to investigate the factors, other than pay, for determining job satisfaction. Scientific management by Frederick Winslow Taylor also had a great impact on the study of job satisfaction. This significantly contributed to substantial change in philosophies of industrial production. Initially, the principles of scientific management warranted increased productivity but later on workers felt dissatisfaction leaving the researchers to address the new questions regarding job satisfaction.
The elusive nature of the job satisfaction advanced the development of number of different theories. Few theories of job satisfaction include Affect theory (Locke, 1976), equity theory (Mowday, 1992), and two-factor theory (Herzberg, Mausner, & Snyderman, 1959). According to affect theory, job satisfaction is determined by a discrepancy between what an employee desires from the job and what he gets in the job. Further, the theory states that how much an employee values a given factor of job moderates how satisfied/dissatisfied he becomes when expectations are/aren’t met. Equity theory states that employees compare their inputs-outcomes ratios with the inputs-outcomes ratios of the other employees. If an employee perceives the ratio to be equal to those of relevant others then he perceives that justice prevails and a state of equity exists. However when the ratio is perceived unequal then inequity exists leading to the feelings of under-rewarded or over-rewarded. Perceptions of the equity are linked to job satisfaction, whereby the perceptions of inequity are related to
job dissatisfaction. The two-factor theory of job satisfaction is credited with propelling and advancing research on job satisfaction (Steers & Porter, 1992). The premise of two-factor theory (Herzberg et al., 1959) is that job satisfaction and dissatisfaction are related to distinct job factors. The researchers theorized that the determinants of the job satisfaction are the factors which are related to the content of the job such as work itself, advancement, responsibility, achievement and recognition. The sources of job dissatisfaction are the factors which are linked to context of the job such as supervision, compensation, interpersonal relations, working conditions, and policy and administration.
Download Jurnal
This study intends (1) to determine the amount of variance in pharmaceutical sales representatives’ overall job satisfaction explained by motivator and hygiene factors and (2) to explore whether demographic subgroups are statistically different regarding overall job satisfaction. Descriptive statistics, independent samples t-test and stepwise multiple regression are used for the purpose of statistical analyses. “Work itself” is reported to be the most motivating dimension of the job whilst “operating procedures” is reported to be the least motivating dimension of the job for frontline salesforce in pharmaceutical companies.
Study results show that motivator and hygiene factors have moderate to substantial
relationship with overall job satisfaction. Five distinct job factors such as “growth”,
“coworkers”, “promotion opportunities”, “rewards and recognition” and “job security” are
found to be the significant predictors contributing 71 per cent variability in sales representatives’ overall job satisfaction. Study concludes that demographic variables do not contribute significant variations in sales representatives’ overall level of job satisfaction.
Key Words
Motivator factors, Hygiene factors, Overall job satisfaction.
Introduction
Thousands of the published research articles and dissertations report that job satisfaction is related to performance, productivity, organizational commitment, retention and turnover of the employees. Job satisfaction is regarded as a vital factor in almost all the industries and its need is gaining value in pharmaceutical industry of Pakistan as well due to intensified competition, changes in organizational objectives and socio-economic conditions.
The quittal of the salespersons due to job dissatisfaction not only incurs huge cost in hiring and retraining them but creates difficulties for the management also to rebuilding sales team, regaining market share snatched by the competitors and reestablishing relationship with the customers. So, the improvement in job satisfaction of the frontline soldiers is a matter of great concern for the management of pharmaceutical companies for sustainable competitive advantage, increased market share and building long lasting relationships with the key customers.
Job satisfaction is an attitude which in formed when an employee takes into account
his feelings, behaviours and beliefs of the job. Locke (1976) has defined job satisfaction as a pleasurable emotional state which results from the appraisal of one’s job experiences. Porter, Lawler and Hackman (1975) have noted that the feeling of job satisfaction is realized by the difference between the amount of valued outcome that an employee obtains and the amount of outcome he feels he should receive. The biggest prelude to the study regarding job satisfaction was Hawthorne studies. In these sudies (1924-1933) the researchers attempted to expore the impact of illumination on the productivity of the workers. The studies concluded that the novel changes in work conditions temporarily improves the productivity (called Hawthorne Effect). The findings of the study were later challenged on the ground that the enhancement of the productivity was not resulted from the new conditions but from the knowledge of being observed. This finding paved the way for researchers to investigate the factors, other than pay, for determining job satisfaction. Scientific management by Frederick Winslow Taylor also had a great impact on the study of job satisfaction. This significantly contributed to substantial change in philosophies of industrial production. Initially, the principles of scientific management warranted increased productivity but later on workers felt dissatisfaction leaving the researchers to address the new questions regarding job satisfaction.
The elusive nature of the job satisfaction advanced the development of number of different theories. Few theories of job satisfaction include Affect theory (Locke, 1976), equity theory (Mowday, 1992), and two-factor theory (Herzberg, Mausner, & Snyderman, 1959). According to affect theory, job satisfaction is determined by a discrepancy between what an employee desires from the job and what he gets in the job. Further, the theory states that how much an employee values a given factor of job moderates how satisfied/dissatisfied he becomes when expectations are/aren’t met. Equity theory states that employees compare their inputs-outcomes ratios with the inputs-outcomes ratios of the other employees. If an employee perceives the ratio to be equal to those of relevant others then he perceives that justice prevails and a state of equity exists. However when the ratio is perceived unequal then inequity exists leading to the feelings of under-rewarded or over-rewarded. Perceptions of the equity are linked to job satisfaction, whereby the perceptions of inequity are related to
job dissatisfaction. The two-factor theory of job satisfaction is credited with propelling and advancing research on job satisfaction (Steers & Porter, 1992). The premise of two-factor theory (Herzberg et al., 1959) is that job satisfaction and dissatisfaction are related to distinct job factors. The researchers theorized that the determinants of the job satisfaction are the factors which are related to the content of the job such as work itself, advancement, responsibility, achievement and recognition. The sources of job dissatisfaction are the factors which are linked to context of the job such as supervision, compensation, interpersonal relations, working conditions, and policy and administration.
Download Jurnal
Labels:
Manajemen Sumber Daya Manusia
Teori Pemasaran Perhotelan (Hotel Marketing)
Pemasaran jasa hotel itu selalu terdiri dari beberapa aktivitas yang bertujuan untuk menarik calon pelanggan dengan memberi motivasi agar tertarik untuk membeli produk dan jasa pelayanan hotel. Pada dasarnya produk dan jasa pelayanan hotel mulai dinikmati tamu pada saat melakukan check-in dan registrasi. Selanjutnya ketika tamu tinggal dan menginap di kamar, makan dan minum, menikmati hiburan di pub sampai check-out merupakan bagian dari produk hotel. Denney G. Ritherford dari Washington dari Washington State
University dalam bukunya “Hotel Management and Operation” mengatakan pemasaran hotel adalah aktivitas yang menggunakan strategi dan taktik, yang direncanakan sedemikian rupa untuk menyampaikan ‘cerita’ tentang pelayanan yang dapat diberikan suatu hotel dengan, memberikan rangsangan yang bergairah pada tamu untuk mau memilih pesan yang disampaikan hotel untuk dibandingkan dengan pilihan yang lain dari hotel pesaing. Philip Kotler (1999) yang dikutip oleh Drs. H. Oeka. Yoeti (1997:10) pemasaran hotel adalah “ilmu yang bertujuan menyenangkan tamu dan dari kegiatan itu hotel mempeoleh keuntungan”. Philip Kotler (1999) menyebutnya sebagai serving and satisfiying human need. Pendapat ini didukung oleh Ronald A. Nykel (1989:7) pemasaran hotel “mempunyai banyak maksud dan tujuan dan berhubungan dengan konsumen yang berbeda – beda”.
Sementara Neil Warner dan Alan Morison dalam bukunya “Hospitality Marketing” menyatakan pemasaran perhotelan adalah “dari sudut pandang orang yang mengelola industri jasa sebagai usaha mengelola makanan, minuman dan akomodasi hotel menjadi produk yang diminati orang dengan memberikan nilai tambah melalui pelayanan dan penyajian”. Dalam hal ini tugas utama pemasaran .
W. Lazar dan E.J.Kelly (1996) menyebutkan tiga faktor yang diperlukan untuk menerapkan pemasaran jasa, yaitu :
Instrumen Produk
Untuk memberikan kemudahan kepada wisatawan sebagai pemakai jasa, produk dijual dalam bentuk paket dengan memberikan pelayanan terpadu (integrated services).
Instrumen Distribusi
Untuk memenuhi kebutuhan wisatawan, mereka tidak perlu berhubungan langsung dengan perusahaan yang menjual jasa-jasa tersebut, tetapi cukup membeli melalui perantara seperti Tour Operator, Biro Perjalanan Wisata, Hotel Reservation Agent, Wholesaler atau Representative Office.
Instrumen Promosi
Agar Calon wisatawan dapat informasi yang lengkap dan akurat tentang produk atau jasa yang hendak dijual, perlu ada promotion materials seperti brochures, leaflets, booklet, poster atau tourist map, sehingga dengan memiliki sumber informasi tersebut mereka dapat mempersiapkan perjalanan wisata dengan baik dan memuaskan.
Banyak batasan mengenai Hotel Marketing, salah satunya dari Ritherford (1989) memberi definisi tentang Hotel Marketing sebagai berikut: “Marketing is thus an umbrella term that cover a number of strategic and tactical activities design to tell the clientele the “story” of hotel’s, service and encourage that the clientele to make choice based on hotel’s marketing message compare to those of alternatives” (p. 199).
University dalam bukunya “Hotel Management and Operation” mengatakan pemasaran hotel adalah aktivitas yang menggunakan strategi dan taktik, yang direncanakan sedemikian rupa untuk menyampaikan ‘cerita’ tentang pelayanan yang dapat diberikan suatu hotel dengan, memberikan rangsangan yang bergairah pada tamu untuk mau memilih pesan yang disampaikan hotel untuk dibandingkan dengan pilihan yang lain dari hotel pesaing. Philip Kotler (1999) yang dikutip oleh Drs. H. Oeka. Yoeti (1997:10) pemasaran hotel adalah “ilmu yang bertujuan menyenangkan tamu dan dari kegiatan itu hotel mempeoleh keuntungan”. Philip Kotler (1999) menyebutnya sebagai serving and satisfiying human need. Pendapat ini didukung oleh Ronald A. Nykel (1989:7) pemasaran hotel “mempunyai banyak maksud dan tujuan dan berhubungan dengan konsumen yang berbeda – beda”.
Sementara Neil Warner dan Alan Morison dalam bukunya “Hospitality Marketing” menyatakan pemasaran perhotelan adalah “dari sudut pandang orang yang mengelola industri jasa sebagai usaha mengelola makanan, minuman dan akomodasi hotel menjadi produk yang diminati orang dengan memberikan nilai tambah melalui pelayanan dan penyajian”. Dalam hal ini tugas utama pemasaran .
W. Lazar dan E.J.Kelly (1996) menyebutkan tiga faktor yang diperlukan untuk menerapkan pemasaran jasa, yaitu :
Instrumen Produk
Untuk memberikan kemudahan kepada wisatawan sebagai pemakai jasa, produk dijual dalam bentuk paket dengan memberikan pelayanan terpadu (integrated services).
Instrumen Distribusi
Untuk memenuhi kebutuhan wisatawan, mereka tidak perlu berhubungan langsung dengan perusahaan yang menjual jasa-jasa tersebut, tetapi cukup membeli melalui perantara seperti Tour Operator, Biro Perjalanan Wisata, Hotel Reservation Agent, Wholesaler atau Representative Office.
Instrumen Promosi
Agar Calon wisatawan dapat informasi yang lengkap dan akurat tentang produk atau jasa yang hendak dijual, perlu ada promotion materials seperti brochures, leaflets, booklet, poster atau tourist map, sehingga dengan memiliki sumber informasi tersebut mereka dapat mempersiapkan perjalanan wisata dengan baik dan memuaskan.
Banyak batasan mengenai Hotel Marketing, salah satunya dari Ritherford (1989) memberi definisi tentang Hotel Marketing sebagai berikut: “Marketing is thus an umbrella term that cover a number of strategic and tactical activities design to tell the clientele the “story” of hotel’s, service and encourage that the clientele to make choice based on hotel’s marketing message compare to those of alternatives” (p. 199).
Labels:
Manajemen Pemasaran,
Manajemen Perhotelan
Tuesday, July 21, 2009
Teacher Motivation and Job Satisfaction
Levels of job satisfaction and motivation were measured by survey in a sample of 50 teachers. A sample of 12 teachers was then studied using the Experience Sampling Method (ESM). Teachers were randomly beeped by special pagers 5 times a day for 5 days and completed surveys on mood and activity for each beep, resulting in 190 reports of teachers’ daily experiences.
Conventional survey data corresponded with ESM data. Job satisfaction and motivation correlated significantly with responsibility levels, gender, subject, age, years of teaching experience, and activity. For this group of teachers who work in a school with a selective student body, overall motivation and job satisfaction levels were high. Based upon the findings, it appears that gratification of higher-order needs is most important for job satisfaction.
Introduction
Teachers are arguably the most important group of professionals for our nation’s future. Therefore, it is disturbing to find that many of today’s teachers are dissatisfied with their jobs. “The mean CES-D (depression scale) score of a sample of 75 Los Angeles teachers was 15.6, a value about twice the mean score obtained in community surveys” (Beer & Beer, 1992). A CES-D score of 16 or greater is considered significant because it is associated with increased risk of depression (Schonfeld, 1989). It is crucial that we determine what increases teacher motivation. Many factors have been examined in an attempt to find which ones promote teacher motivation. Pay incentives have been found to be unsuccessful in increasing motivation. In their study of 167 teachers, Sylvia & Hutchinson (1985) concluded: “Teacher motivation is based in the freedom to try new ideas, achievement of appropriate responsibility levels, and intrinsic work elements…. Based upon our findings, schemes such as merit pay were predicted to be counterproductive.” They explain that true job satisfaction is derived from the gratification of higher-order needs, “social relations, esteem, and actualization” rather than lower-order needs. Indeed, Rothman (1981) contrasts the security and financial motives for entering teaching during the depression years with present-day idealistic and intellectual convictions, especially because other professions pay equally well or better. The conclusion of Greenwood & Soars (1973) that less lecturing by teachers and more classroom discussions relates positively to teacher morale further supports the importance of higher-order needs. Studies show that improvement in teacher motivation has benefits for students as well as teachers; however, there is no consensus about the precise benefits. For example, researchers have had varying results when examining whether teacher motivation leads to increased levels of academic achievement. Stevens & White (1987) studied the records of students in 15 school districts, with 191 teachers as subjects. The standardized test scores from the California Achievement Test were used as the best estimate of the learned behavior in each teacher’s classroom. There was no direct relationship between teacher morale and student achievement. However, Stevens & White surmised that further research on this topic requires an examination of the achievement levels of students prior to their involvement with the teachers participating in the study. “If pretest-posttest scores could be obtained for the time students spent in a teacher’s classroom, the achievement of those students while in that teacher’s classroom might be more adequately measured.” The results of another study involving teachers in small independent school districts demonstrated that high levels of interaction within the faculty group, as determined by responses to questions on the Halpin & Croft Observation Climate Description Questionnaire, correlated significantly with higher pupil reading scores on the California Achievement Test (Jordan, 1986). It is likely that high levels of teacher social interaction on the job are linked to high motivation levels; thus, the possibility that enhanced levels of teacher motivation will lead to superior student achievement cannot be dismissed. While the relationship between teacher motivation and student achievement has not yet been established, the correlation between teacher motivation and student self-esteem has been shown by Peck, Fox, and Morston (1977). “Teachers with strong positive attitudes about teaching had students whose self-esteem was high. Students seem to recognize the effectiveness of teachers who are satisfied with their teaching performance.” Rothman (1981) suggests that this association exists because teachers serve as more than just educators; they are role models. The benefits of teacher satisfaction for both teachers and pupils points to the importance of studying how teachers feel about work. This study undertakes an examination of how teachers feel while doing their daily tasks. The Experience Sampling Method is used to determine which daily work related activities lead to the highest levels of motivation and job satisfaction. The Experience Sampling Method (ESM) makes use of an electronic device to page the subject several times a day. When beeped, the subject completes a short survey about what they are doing, who they are with, and how they are feeling.
ESM thus provides a more richly detailed picture of the day-to-day lives and emotions of participants than conventional surveys. ESM has been used to study how people feel doing different activities and to determine which daily activities are most psychologically rewarding (Kubey & Csikszentmihalyi, 1981). Csikszentmihalyi (1990) has proposed that individuals reach a state of happiness and satisfaction when they are involved in an activity and are functioning at the peak of their abilities. In this situation the individual experiences “high levels of concentration, immersion, strength, and control.” He terms this experience “flow.” In the present study, the concept of flow will be used to help determine which activities are the most “psychologically.
download jurnal
Labels:
Jurnal Pendidikan
Monday, July 20, 2009
Teori Struktur Modal : Pengertian dan Komponen Struktur Modal
Pengertian Struktur Modal
Pada dasarnya tugas manajer keuangan perusahaan adalah berusaha mencari keseimbangan finansial neraca yang dibutuhkan serta mencari susunan kualitatif neraca tersebut dengan sebaik-baiknya. “Pemilihan susunan kualitatif pada sisi assets akan menentukan struktur kekayaan perusahaan, sedangkan pemilihan susunan kualitatif dari sisi liabilities dan equities akan menentukan struktur keuangan dan struktur modal perusahaan” (Riyanto, 1984, p.4). Wasis (1981) menyatakan bahwa struktur modal harus dapat dibedakan dengan struktur keuangan. Struktur keuangan menyatakan dengan cara bagaimana harta perusahaan dibiayai. Oleh karena itu struktur keuangan adalah keseluruhan yang terdapat di dalam Neraca sebelah kredit. Pada neraca sebelah kredit terdapat hutang jangka panjang maupun jangka pendek, dan modal sendiri baik jangka
panjang maupun jangka pendek. Jadi struktur keuangan mencakup semua pembelanjaan baik jangka panjang maupun jangka pendek. Sebaliknya struktur modal hanya menyangkut pembelanjaan jangka panjang saja. Tidak termasuk pembelanjaan jangka pendek.
Weston dan Copeland (1992) memberikan definisi struktur modal sebagai pembiayaan permanen yang terdiri dari hutang jangka panjang, saham preferen, dan modal pemegang saham. Nilai buku dari modal pemegang saham terdiri dari saham biasa, modal disetor atau surplus modal dan akumulasi laba ditahan. Bila perusahaan memiliki saham preferen, maka saham tersebut akan ditambahkan pada modal pemegang saham.
Menurut Lawrence, Gitman (2000, p.488), definisi struktur modal adalah sebagai berikut: ”Capital Structure is the mix of long term debt and equity maintained by the firm”. Struktur modal perusahaan menggambarkan perbandingan antara hutang jangka panjang dan modal sendiri yang digunakan oleh perusahaan. Ada dua macam tipe modal menurut Lawrence, Gitman (2000) yaitu modal hutang (debt capital) dan modal sendiri (equity capital). Tetapi dalam kaitannya dengan struktur modal, jenis modal hutang yang diperhitungkan hanya hutang jangka panjang.
Komponen Struktur Modal
1. Hutang Jangka Panjang
Jumlah hutang di dalam neraca akan menunjukkan besarnya modal pinjaman yang digunakan dalam operasi perusahaan. Modal pinjaman ini dapat berupa hutang jangka pendek maupun hutang jangka panjang, tetapi pada umumnya pinjaman jangka panjang jauh lebih besar dibandingkan dengan hutang jangka pendek.
Menurut Sundjaja dan Barlian (2003, p.324), “hutang jangka panjang merupakan salah satu dari bentuk pembiayaan jangka panjang yang memiliki jatuh tempo lebih dari satu tahun, biasanya 5 – 20 tahun”. Pinjaman hutang jangka panjang dapat berupa pinjaman berjangka (pinjaman yang digunakan untuk membiayai kebutuhan modal kerja permanen, untuk melunasi hutang lain, atau membeli mesin dan peralatan) dan penerbitan obligasi (hutang yang diperoleh melalui penjualan surat-surat obligasi, dalam surat obligasi ditentukan nilai nominal, bunga per tahun, dan jangka waktu pelunasan obligasi tersebut).
Mengukur besarnya aktiva perusahaan yang dibiayai oleh kreditur (debt ratio) dilakukan dengan cara membagi total hutang jangka panjang dengan total asset. Semakin tinggi debt ratio, semakin besar jumlah modal pinjaman yang digunakan di dalam menghasilkan keuntungan bagi perusahaan.
Beberapa hal yang menjadi pertimbangan manajemen sehingga memilih untuk menggunakan hutang menurut Sundjaja at. al (2003) adalah sebagai berikut:
1. Biaya hutang terbatas, walaupun perusahaan memperoleh laba besar, jumlah bunga yang dibayarkan besarnya tetap.
2. Hasil yang diharapkan lebih rendah daripada saham biasa
3. Tidak ada perubahan pengendalian atas perusahaan bila pembiayaan memakai hutang.
4. Pembayaran bunga merupakan beban biaya yang dapat mengurangi pajak
5. Fleksibilitas dalam struktur keuangan dapat dicapai dengan memasukkan peraturan penebusan dalam perjanjian obligasi.
Kreditur (investor) lebih memilih menanamkan investasi dalam bentuk hutang jangka panjang karena beberapa pertimbangan. Menurut Sundjaja at. al (2003), pemilihan investasi dalam bentuk hutang jangka panjang dari sisi investor didasarkan pada beberapa hal berikut:
1. Hutang dapat memberikan prioritas baik dalam hal pendapatan maupun likuidasi kepada pemegangnya.
2. Mempunyai saat jatuh tempo yang pasti.
3. Dilindungi oleh isi perjanjian hutang jangka panjang (dari segi resiko).
4. Pemegang memperoleh pengembalian yang tetap (kecuali pendapatan obligasi).
2. Modal Sendiri
Menurut Wasis (1981), dalam struktur modal konservatif, susunan modal menitikberatkan pada modal sendiri karena pertimbangan bahwa penggunaan hutang dalam pembiayaan perusahaan mengandung resiko yang lebih besar dibandingkan dengan penggunaan modal sendiri. Menurut Sundjaja at al. (2003, p.324), “modal sendiri/equity capital adalah
dana jangka panjang perusahaan yang disediakan oleh pemilik perusahaan (pemegang saham), yang terdiri dari berbagai jenis saham (saham preferen dan saham biasa) serta laba ditahan”.
Pendanaan dengan modal sendiri akan menimbulkan opportunity cost. Keuntungan dari memiliki saham perusahaan bagi owner adalah control terhadap perusahaan. Namun, return yang dihasilkan dari saham tidak pasti dan pemegang saham adalah pihak pertama yang menanggung resiko perusahaan. Modal sendiri atau ekuitas merupakan modal jangka panjang yang diperoleh dari pemilik perusahaan atau pemegang saham. Modal sendiri diharapkan tetap berada dalam perusahaan untuk jangka waktu yang tidak terbatas sedangkan modal pinjaman memiliki jatuh tempo. Ada 2 (dua) sumber utama dari modal sendiri yaitu:
a) Modal saham preferen
Saham preferen memberikan para pemegang sahamnya beberapa hak istimewa yang menjadikannya lebih senior atau lebih diprioritaskan daripada pemegang saham biasa. Oleh karena itu, perusahaan tidak memberikan saham preferen dalam jumlah yang banyak.
Beberapa keuntungan penggunaan saham preferen bagi manajemen menurut Sundjaja at. al (2003) adalah sebagai berikut:
1. Mempunyai kemampuan untuk meningkatkan pengaruh keuangan.
2. Fleksibel karena saham preferen memperbolehkan penerbit untuk tetap pada posisi menunda tanpa mengambil resiko untuk memaksakan jika usaha sedang lesu yaitu dengan tidak membagikan bunga atau membayar pokoknya.
3. Dapat digunakan dalam restrukturisasi perusahaan, merger, pembelian saham oleh perusahaan dengan pembayaran melalui hutang baru dan divestasi.
b) Modal saham biasa
Pemilik perusahaan adalah pemegang saham biasa yang menginvestasikan uangnya dengan harapan mendapat pengembalian dimasa yang akan datang. Pemegang saham biasa kadang-kadang disebut pemilik residual sebab mereka hanya menerima sisa setelah seluruh tuntutan atas pendapatan dan asset telah dipenuhi.
Ada beberapa keunggulan pembiayaan dengan saham biasa bagi kepentingan manajemen (perusahaan), menurut Sundjaja at. al (2003), yaitu :
1. Saham biasa tidak memberi dividen tetap. Jika perusahaan dapat memperoleh laba, pemegang saham biasa akan memperoleh dividen. Tetapi berlawanan dengan bunga obligasi yang sifatnya tetap (merupakan biaya tetap bagi perusahaan), perusahaan tidak
diharuskan oleh hukum untuk selalu membayar dividen kepada para pemegang saham biasa.
2. Saham biasa tidak memiliki tanggal jatuh tempo.
3. Karena saham biasa menyediakan landasan penyangga atas rugi yang diderita para kreditornya, maka penjualan saham biasa akan meningkatkan kredibilitas perusahaan.
4. Saham biasa dapat, pada saat-saat tertentu, dijual lebih mudah dibandingkan bentuk hutang lainnya. Saham biasa mempunyai daya tarik tersendiri bagi kelompok-kelompok investor tertentu karena (a) dapat memberi pengembalian yang lebih tinggi dibanding bentuk hutang lain atau saham preferen; dan (b) mewakili kepemilikan perusahaan, saham biasa menyediakan para investor benteng proteksi terhadap inflasi secara lebih baik dibanding saham preferen atau obligasi. Umumnya, saham biasa meningkat nilainya jika nilai aktiva riil juga meningkat selama periode inflasi.
5. Pengembalian yang diperoleh dalam saham biasa dalam bentuk keuntungan modal merupakan obyek tarif pajak penghasilan yang rendah. (Weston & Copeland) Menurut Wasis (1981, p.81), “pemilik yang menyetorkan modal akan menjadi penanggung resiko yang pertama. Artinya bahwa pihak non pemilik tidak akan menderita kerugian sebelum kewajiban dari pemilik ditunaikan seluruhnya.
Kerugian perusahaan pertama-tama harus dibebankan kepada pemilik. Dari segi investor (Sundjaja, 2003), keuntungan menggunakan saham (modal sendiri) adalah sebagai berikut:
1. Memiliki hak suara (hak kendali) dalam perusahaan.
2. Tidak ada jatuh tempo.
3. Karena menanggung resiko yang lebih besar, maka kompensasi bagi pemegang modal sendiri lebih tinggi dibanding dengan pemegang modal pinjaman.
Pada dasarnya tugas manajer keuangan perusahaan adalah berusaha mencari keseimbangan finansial neraca yang dibutuhkan serta mencari susunan kualitatif neraca tersebut dengan sebaik-baiknya. “Pemilihan susunan kualitatif pada sisi assets akan menentukan struktur kekayaan perusahaan, sedangkan pemilihan susunan kualitatif dari sisi liabilities dan equities akan menentukan struktur keuangan dan struktur modal perusahaan” (Riyanto, 1984, p.4). Wasis (1981) menyatakan bahwa struktur modal harus dapat dibedakan dengan struktur keuangan. Struktur keuangan menyatakan dengan cara bagaimana harta perusahaan dibiayai. Oleh karena itu struktur keuangan adalah keseluruhan yang terdapat di dalam Neraca sebelah kredit. Pada neraca sebelah kredit terdapat hutang jangka panjang maupun jangka pendek, dan modal sendiri baik jangka
panjang maupun jangka pendek. Jadi struktur keuangan mencakup semua pembelanjaan baik jangka panjang maupun jangka pendek. Sebaliknya struktur modal hanya menyangkut pembelanjaan jangka panjang saja. Tidak termasuk pembelanjaan jangka pendek.
Weston dan Copeland (1992) memberikan definisi struktur modal sebagai pembiayaan permanen yang terdiri dari hutang jangka panjang, saham preferen, dan modal pemegang saham. Nilai buku dari modal pemegang saham terdiri dari saham biasa, modal disetor atau surplus modal dan akumulasi laba ditahan. Bila perusahaan memiliki saham preferen, maka saham tersebut akan ditambahkan pada modal pemegang saham.
Menurut Lawrence, Gitman (2000, p.488), definisi struktur modal adalah sebagai berikut: ”Capital Structure is the mix of long term debt and equity maintained by the firm”. Struktur modal perusahaan menggambarkan perbandingan antara hutang jangka panjang dan modal sendiri yang digunakan oleh perusahaan. Ada dua macam tipe modal menurut Lawrence, Gitman (2000) yaitu modal hutang (debt capital) dan modal sendiri (equity capital). Tetapi dalam kaitannya dengan struktur modal, jenis modal hutang yang diperhitungkan hanya hutang jangka panjang.
Komponen Struktur Modal
1. Hutang Jangka Panjang
Jumlah hutang di dalam neraca akan menunjukkan besarnya modal pinjaman yang digunakan dalam operasi perusahaan. Modal pinjaman ini dapat berupa hutang jangka pendek maupun hutang jangka panjang, tetapi pada umumnya pinjaman jangka panjang jauh lebih besar dibandingkan dengan hutang jangka pendek.
Menurut Sundjaja dan Barlian (2003, p.324), “hutang jangka panjang merupakan salah satu dari bentuk pembiayaan jangka panjang yang memiliki jatuh tempo lebih dari satu tahun, biasanya 5 – 20 tahun”. Pinjaman hutang jangka panjang dapat berupa pinjaman berjangka (pinjaman yang digunakan untuk membiayai kebutuhan modal kerja permanen, untuk melunasi hutang lain, atau membeli mesin dan peralatan) dan penerbitan obligasi (hutang yang diperoleh melalui penjualan surat-surat obligasi, dalam surat obligasi ditentukan nilai nominal, bunga per tahun, dan jangka waktu pelunasan obligasi tersebut).
Mengukur besarnya aktiva perusahaan yang dibiayai oleh kreditur (debt ratio) dilakukan dengan cara membagi total hutang jangka panjang dengan total asset. Semakin tinggi debt ratio, semakin besar jumlah modal pinjaman yang digunakan di dalam menghasilkan keuntungan bagi perusahaan.
Beberapa hal yang menjadi pertimbangan manajemen sehingga memilih untuk menggunakan hutang menurut Sundjaja at. al (2003) adalah sebagai berikut:
1. Biaya hutang terbatas, walaupun perusahaan memperoleh laba besar, jumlah bunga yang dibayarkan besarnya tetap.
2. Hasil yang diharapkan lebih rendah daripada saham biasa
3. Tidak ada perubahan pengendalian atas perusahaan bila pembiayaan memakai hutang.
4. Pembayaran bunga merupakan beban biaya yang dapat mengurangi pajak
5. Fleksibilitas dalam struktur keuangan dapat dicapai dengan memasukkan peraturan penebusan dalam perjanjian obligasi.
Kreditur (investor) lebih memilih menanamkan investasi dalam bentuk hutang jangka panjang karena beberapa pertimbangan. Menurut Sundjaja at. al (2003), pemilihan investasi dalam bentuk hutang jangka panjang dari sisi investor didasarkan pada beberapa hal berikut:
1. Hutang dapat memberikan prioritas baik dalam hal pendapatan maupun likuidasi kepada pemegangnya.
2. Mempunyai saat jatuh tempo yang pasti.
3. Dilindungi oleh isi perjanjian hutang jangka panjang (dari segi resiko).
4. Pemegang memperoleh pengembalian yang tetap (kecuali pendapatan obligasi).
2. Modal Sendiri
Menurut Wasis (1981), dalam struktur modal konservatif, susunan modal menitikberatkan pada modal sendiri karena pertimbangan bahwa penggunaan hutang dalam pembiayaan perusahaan mengandung resiko yang lebih besar dibandingkan dengan penggunaan modal sendiri. Menurut Sundjaja at al. (2003, p.324), “modal sendiri/equity capital adalah
dana jangka panjang perusahaan yang disediakan oleh pemilik perusahaan (pemegang saham), yang terdiri dari berbagai jenis saham (saham preferen dan saham biasa) serta laba ditahan”.
Pendanaan dengan modal sendiri akan menimbulkan opportunity cost. Keuntungan dari memiliki saham perusahaan bagi owner adalah control terhadap perusahaan. Namun, return yang dihasilkan dari saham tidak pasti dan pemegang saham adalah pihak pertama yang menanggung resiko perusahaan. Modal sendiri atau ekuitas merupakan modal jangka panjang yang diperoleh dari pemilik perusahaan atau pemegang saham. Modal sendiri diharapkan tetap berada dalam perusahaan untuk jangka waktu yang tidak terbatas sedangkan modal pinjaman memiliki jatuh tempo. Ada 2 (dua) sumber utama dari modal sendiri yaitu:
a) Modal saham preferen
Saham preferen memberikan para pemegang sahamnya beberapa hak istimewa yang menjadikannya lebih senior atau lebih diprioritaskan daripada pemegang saham biasa. Oleh karena itu, perusahaan tidak memberikan saham preferen dalam jumlah yang banyak.
Beberapa keuntungan penggunaan saham preferen bagi manajemen menurut Sundjaja at. al (2003) adalah sebagai berikut:
1. Mempunyai kemampuan untuk meningkatkan pengaruh keuangan.
2. Fleksibel karena saham preferen memperbolehkan penerbit untuk tetap pada posisi menunda tanpa mengambil resiko untuk memaksakan jika usaha sedang lesu yaitu dengan tidak membagikan bunga atau membayar pokoknya.
3. Dapat digunakan dalam restrukturisasi perusahaan, merger, pembelian saham oleh perusahaan dengan pembayaran melalui hutang baru dan divestasi.
b) Modal saham biasa
Pemilik perusahaan adalah pemegang saham biasa yang menginvestasikan uangnya dengan harapan mendapat pengembalian dimasa yang akan datang. Pemegang saham biasa kadang-kadang disebut pemilik residual sebab mereka hanya menerima sisa setelah seluruh tuntutan atas pendapatan dan asset telah dipenuhi.
Ada beberapa keunggulan pembiayaan dengan saham biasa bagi kepentingan manajemen (perusahaan), menurut Sundjaja at. al (2003), yaitu :
1. Saham biasa tidak memberi dividen tetap. Jika perusahaan dapat memperoleh laba, pemegang saham biasa akan memperoleh dividen. Tetapi berlawanan dengan bunga obligasi yang sifatnya tetap (merupakan biaya tetap bagi perusahaan), perusahaan tidak
diharuskan oleh hukum untuk selalu membayar dividen kepada para pemegang saham biasa.
2. Saham biasa tidak memiliki tanggal jatuh tempo.
3. Karena saham biasa menyediakan landasan penyangga atas rugi yang diderita para kreditornya, maka penjualan saham biasa akan meningkatkan kredibilitas perusahaan.
4. Saham biasa dapat, pada saat-saat tertentu, dijual lebih mudah dibandingkan bentuk hutang lainnya. Saham biasa mempunyai daya tarik tersendiri bagi kelompok-kelompok investor tertentu karena (a) dapat memberi pengembalian yang lebih tinggi dibanding bentuk hutang lain atau saham preferen; dan (b) mewakili kepemilikan perusahaan, saham biasa menyediakan para investor benteng proteksi terhadap inflasi secara lebih baik dibanding saham preferen atau obligasi. Umumnya, saham biasa meningkat nilainya jika nilai aktiva riil juga meningkat selama periode inflasi.
5. Pengembalian yang diperoleh dalam saham biasa dalam bentuk keuntungan modal merupakan obyek tarif pajak penghasilan yang rendah. (Weston & Copeland) Menurut Wasis (1981, p.81), “pemilik yang menyetorkan modal akan menjadi penanggung resiko yang pertama. Artinya bahwa pihak non pemilik tidak akan menderita kerugian sebelum kewajiban dari pemilik ditunaikan seluruhnya.
Kerugian perusahaan pertama-tama harus dibebankan kepada pemilik. Dari segi investor (Sundjaja, 2003), keuntungan menggunakan saham (modal sendiri) adalah sebagai berikut:
1. Memiliki hak suara (hak kendali) dalam perusahaan.
2. Tidak ada jatuh tempo.
3. Karena menanggung resiko yang lebih besar, maka kompensasi bagi pemegang modal sendiri lebih tinggi dibanding dengan pemegang modal pinjaman.
Labels:
Manajemen Keuangan
Laporan Keuangan : Pengertian dan Dasar- Dasar Penyusunan Laporan Keuangan
Pengertian Laporan Keuangan
Dapat disimpulkan laporan keuangan adalah laporan akuntansi utama yang mengkomunikasikan informasi keuangan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan ekonomi.
Dasar Laporan Keuangan
Laporan keuangan perusahaan didasarkan pada aturan-aturan akuntansi dan harus memberikan informasi historis, kuantitatif dasar yang merupakan sekumpulan input yang penting yang digunakan dalam menghitung nilai-nilai ekonomis.
Laporan keuangan terdiri dari :
1. Laporan laba rugi yaitu laporan mengenai penghasilan, biaya, laba-rugi yang diperoleh suatu perusahaan selama periode tertentu.
2. Neraca yaitu laporan mengenai aktiva, hutang dan modal dari perusahaan pada suatu saat tertentu.
a. Aktiva, dibagi menjadi dua yaitu :
- Jangka panjang, yaitu jangka waktu lebih dari 1 tahun
- Jangka pendek, yaitu jangka waktu 1 tahun atau kurang dari 1 tahun.
b. Hutang dapat diklasifikasikan menjadi :
- Dijamin penuh, kreditor yang diberi jaminan sama atau lebih dari besarnya hutang.
- Dijamin sebagian, kreditor yang diberi jaminan kurang dari besarnya hutang
- Kreditur tidak dijamin, kreditor yang tidak diberi jaminan dalam bentuk barang-barang tertentu.
3. Laporan laba ditahan yaitu daftar kumulatif laba yang berasal dari tahun-tahun sebelumnya dan tahun berjalan yang tidak dibagikan sebagai deviden.
4. Laporan arus kas yang menunjukkan operasi perusahaan, investasi, dan aliran kas pembiayaan.
Bagi pihak-pihak yang berkepentingan terhadap posisi dan kondisi keuangan, sangat membutuhkan informasi keuangan yang dapat diperoleh dari laporan keuangan. Informasi tersebut disusun dan disajikan perusahaan dalam bentuk neraca, laporan laba-rugi, laporan perubahan modal dan laporan arus kas. Informasi tersebut sangat diperlukan oleh pihak-pihak yang go public dalam persiapannya untuk melakukan penawaran umum karena salah satu syarat perusahaan yang go public adalah harus menyerahkan laporan keuangannya selama dua tahun terakhir yang sudah diperiksa oleh akuntan publik.
Setiap perusahaan mempunyai laporan keuangan yang bertujuan menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja serta perubahan posisi keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai laporan keuangan dalam pengambilan keputusan secara ekonomi. Laporan keuangan harus disiapkan secara periodik untuk pihak-pihak yang berkepentingan. Pengertian laporan keuangan menurut Baridwan (1992 : 17) laporan keuangan merupakan ringkasan dari suatu proses pencatatan transaksi-transaksi keuangan yang terjadi selama dua tahun buku yang bersangkutan. Menurut Sundjaja dan Barlian (2001 : 47) laporan keuangan adalah suatu laporan yang menggambarkan hasil dari proses akuntansi yang digunakan sebagai alat komunikasi untuk pihak-pihak yang berkepentingan dengan data keuangan atau aktivitas perusahaan.
Sedangkan definisi laporan keuangan menurut Munawir (1991 : 2) laporan keuangan pada dasarnya adalah hasil dari proses akuntansi yang dapat digunakan sebagai alat untuk mengkomunikasikan data keuangan atau aktivitas suatu perusahaan.Dapat disimpulkan laporan keuangan adalah laporan akuntansi utama yang mengkomunikasikan informasi keuangan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan ekonomi.
Dasar Laporan Keuangan
Laporan keuangan perusahaan didasarkan pada aturan-aturan akuntansi dan harus memberikan informasi historis, kuantitatif dasar yang merupakan sekumpulan input yang penting yang digunakan dalam menghitung nilai-nilai ekonomis.
Laporan keuangan terdiri dari :
1. Laporan laba rugi yaitu laporan mengenai penghasilan, biaya, laba-rugi yang diperoleh suatu perusahaan selama periode tertentu.
2. Neraca yaitu laporan mengenai aktiva, hutang dan modal dari perusahaan pada suatu saat tertentu.
a. Aktiva, dibagi menjadi dua yaitu :
- Jangka panjang, yaitu jangka waktu lebih dari 1 tahun
- Jangka pendek, yaitu jangka waktu 1 tahun atau kurang dari 1 tahun.
b. Hutang dapat diklasifikasikan menjadi :
- Dijamin penuh, kreditor yang diberi jaminan sama atau lebih dari besarnya hutang.
- Dijamin sebagian, kreditor yang diberi jaminan kurang dari besarnya hutang
- Kreditur tidak dijamin, kreditor yang tidak diberi jaminan dalam bentuk barang-barang tertentu.
3. Laporan laba ditahan yaitu daftar kumulatif laba yang berasal dari tahun-tahun sebelumnya dan tahun berjalan yang tidak dibagikan sebagai deviden.
4. Laporan arus kas yang menunjukkan operasi perusahaan, investasi, dan aliran kas pembiayaan.
Labels:
Akuntansi,
Manajemen Keuangan
Wednesday, July 15, 2009
Iklim Komunikasi Dalam Organisasi
Definisi Iklim Komunikasi Organisasi
Iklim komunikasi organisasi telah melahirkan beberapa definisi, di antaranya: Menurut Tagiuri, Iklim Komunikasi Organisasi adalah kualitas yang relatif abadi dari lingkungan internal organisasi yang dialami oleh anggota-anggotanya, mempengaruhi tingkah laku mereka serta dapat diuraikan dalam istilah nilai-nilai suatu set karakteristik tertentu dari lingkungan. (Soemirat,Ardianto, Suminar, 1999: p. 69).
Payne dan Pugh mendefinisikan organisasi sebagai suatu konsep yang merefleksikan isi dan kekuatan dari nilai-nilai umum, norma, sikap, tingkah laku dan perasaan anggota terhadap suatu sistem sosial. (Soemirat, Ardianto, Suminar,1999: p. 69).
Hillreiger dan Slocum mengatakan Iklim Komunikasi Organisasi adalah suatu set atribut organisasi, yang menyebabkan bagaimana berjalannya subsistem organisasi terhadap anggota dan lingkungannya. (Soemirat, Ardianto, Suminar,1999: p. 69).
Redding mengatakan iklim komunikasi organisasi merupakan fungsi kegiatan yang terdapat dalam organisasi untuk menunjukkan kepada anggota organisasi bahwa organisasi tersebut mempercayai mereka dan memberi mereka kebebasan dalam mengambil resiko; mendorong mereka dan memberi mereka tanggung jawab dalam mengerjakan tugas-tugas mereka dan menyediakan informasi yang terbuka dan cukup tentang organisasi; mendengarkan dengan penuh perhatian serta memperoleh informasi yang dapat dipercayai dan terus terang dari anggota organisasi; secara aktif memberi penyuluhan kepada pra anggota organisasi sehingga mereka dapat melihat bahwa keterlibatan mereka penting bagi keputusan-keputusan dalam organisasi; dan menaruh perhatian pada pekerjaan yang bermutu tinggi dan memberi tantangan. (Pace dan Faules, 2002: p.148)
Pace and Faules mengatakan iklim komunikasi organisasi terdiri dari persepsi-persepsi atas unsur-unsur organisasi dan pengaruh unsur-unsur tersebut terhadap komunikasi. (Pace dan Faules, 2002:p. 149). Dennis mendefinisikan iklim komunikasi organisasi sebagai kualitas pengalaman yang bersifat objektif mengenai lingkungan internal organisasi, yang mencakup persepsi anggota organisasi terhadap pesan dan hubungan pesan dengan kejadian yang terjadi di dalam organisasi. (Soemirat, Ardianto, Suminar,1999:p.69)
Untuk menunjukkan kepada anggota organisasi bahwa organisasi tersebut mempercayai mereka dan memberi mereka kebebasan dalam mengambil resiko; mendorong mereka dan memberi mereka tanggung jawab dalam mengerjakan tugas-tugas mereka dan menyediakan informasi yang terbuka dan cukup tentang organisasi; mendengarkan dengan penuh perhatian serta memperoleh informasi yang dapat dipercayai dan terus terang dari anggota organisasi; secara aktif memberi penyuluhan kepada pra anggota organisasi sehingga mereka dapat melihat bahwa keterlibatan mereka penting bagi keputusan-keputusan dalam organisasi; dan menaruh perhatian pada pekerjaan yang bermutu tinggi dan memberi tantangan. Iklim komunikasi di dalam sebuah organisasi itu penting karena secara tidak langsung iklim komunikasi organisasi dapat mempengaruhi cara hidup orang-orang di dalam sebuah organisasi: kepada siapa orang-orang berbicara, siapa saja yang disukai, bagaimana perasaan masing-masing orang, bagaimana kegiatan kerja berlangsung dan bagaimana perkembangan orang-orang di dalam organisasi (Pace dan Faules, 2002: p. 148). Menurut Redding, yang dikutip oleh Pace dan Faules menyatakan bahwa ”iklim komunikasi organisasi jauh lebih penting daripada keterampilan atau teknik-teknik komunikasi semata-mata dalam menciptakan suatu organisasi yang efektif“. (Pace dan Faules, 2002:p.149)
Dari sini dapat dilihat bahwa iklim komunikasi di dalam sebuah organisasi itu perlu untuk diperhatikan agar dapat menciptakan sebuah organisasi yang efektif. Di dalam buku komunikasi organisasi yang ditulis oleh Pace dan Faules menegaskan hal ini dengan mengemukakan bahwa iklim komunikasi tertentu
memberi pedoman bagi keputusan dan perilaku individu. Keputusan-keputusan yang diambil oleh anggota organisasi untuk melaksanakan pekerjaan mereka secara efektif, untuk mengikatkan diri mereka dengan organisasi, untuk bersikap jujur dalam bekerja, untuk meraih kesempatan dalam organisasi secara bersemangat, untuk mendukung para rekan dan anggota organisasi lainnya, untuk melaksanakan tugas secara kreatif, dan untuk menawarkan gagasan-gagasan inovatif bagi penyempurnaan organisasi dan operasinya, semua ini dipengaruhi oleh iklim komunikasi. Iklim yang negatif dapat benar-benar merusak yang dibuat anggota organisasi mengenai bagaimana mereka akan bekerja dan berpartisipasi untuk organisasi. (Pace dan Faules, 2002: p. 155)
Iklim komunikasi yang penuh rasa persaudaraan mendorong para anggota organisasi untuk berkomunikasi sercara terbuka, rileks, ramah dengan anggota yang lain. Sedangkan iklim komunikasi yang negatif menjadikan anggota tidak berani berkomunikasi secara terbuka dan penuh rasa persaudaraan. (Arni, 2004: p.84)
Jadi, iklim komunikasi memainkan peranan sentral dalam mendorong anggota organisasi untuk mencurahkan usaha kepada pekerjaan mereka dalam organisasi. (Pace dan Faules, 2002: p. 155)
Dari sini dapat dikatakan bahwa iklim komunikasi organisasi memiliki pengaruh yang cukup penting bagi motivasi kerja dan masa kerja pegawai dalam organisasi. Iklim komunikasi yang positif cenderung meningkatkan dan mendukung komitmen pada organisasi dan iklim komunikasi yang kuat seringkali menghasilkan praktik-praktik pengelolaan dan pedoman organisasi yang lebih mendukung (Pace dan Faules, 2002: p. 156). Hal ini didukung pula Soemirat, Ardianto dan Suminar bahwa iklim komunikasi organisasi yang positif tidak hanya menguntungkan organisasi namun juga penting bagi kehidupan manusia-manusia di dalam organisasi tersebut. (Ardianto dan Suminar, 1999:p. 68)
Dari uraian di atas mengenai iklim komunikasi organisasi, kita dapat melihat pentingnya peran iklim komunikasi organisasi bagi kehidupan sebuah organisasi. Oleh karena itu iklim komunikasi organisasi merupakan hal penting yang tidak boleh diabaikan, tetapi harus diperhatikan oleh organisasi.
2. Perkembangan Iklim Komunikasi di dalam Organisasi
Menurut Pace dan Faules, unsur-unsur dasar organisasi (anggota, pekerjaan, praktik-praktik yang berhubungan dengan pengelolaan, struktur dan pedomanan) dipahami secara selektif untuk menciptakan evaluasi dan reaksi yang menunjukkan apakah yang dimaksud oleh setiap unsur dasar tersebut dan seberapa baik unsur-unsur ini beroperasi bagi kebaikan anggota organisasi.
Misalnya, informasi yang cukup merupakan sebuah indikasi untuk para anggota organisasi mengenai seberapa baik unsur-unsur dasar organisasi itu berfungsi bersama-sama untuk menyediakan informasi bagi mereka. (Pace dan Faules, 2002: p. 153)
Menurut Pace dan Faules, pemahaman mengenai kecukupan informasi memberikan petunjuk kepada para anggota organisasi mengenai aspek-aspek organisasi yang merupakan salah satu bagian dari iklim komunikasi organisasi.
Persepsi atas kondisi-kondisi kerja, penyeliaan, upah, kenaikan pangkat, hubungan dengan rekan-rekan, hukum-hukum dan peraturan organisasi, praktik-praktik pengambilan keputusan, sumber daya yang tersedia dan cara-cara memotivasi kerja anggota organisasi semuanya membentuk suatu badan informasi yang membangun iklim komunikasi organisasi.
Unsur-unsur dalam organisasi tidak secara langsung menciptakan iklim komunikasi organisasi, tetapi pengaruhnya terhadap iklim komunikasi organisasi tergantung pada persepsi anggota organisasi mengenai nilai dan hukum dan peraturan tersebut, yaitu apakah hukum dan peraturan harus diabaikan?. Jadi dengan kata lain, unsur-unsur yang terdapat di dalam organisasi tidak secara otomatis menciptakan iklim komunikasi organisasi tetapi tergantung kepada persepsi anggota-anggota organisasi mengenai unsur-unsur organisasi tersebut.
3. Dimensi Iklim Komunikasi Organisasi
Adapun dimensi-dimensi iklim komunikasi organisasi menurut Pace dan Faules dalam bukunya Komunikasi Organisasi, Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan. (2002: p. 159-160):
1. Kepercayaan
Personel di semua tingkat harus berusaha keras untuk mengembangkan dan mempertahankan hubungan yang di dalamnya terdapat kepercayaan, keyakinan dan kredibilitas yang didukung oleh pernyataan dan tindakan. Para pemimpin hendaklah berusaha membentuk kepercayaan di antara pengirim dan penerima pesan. Kepercayaan ini akan mengarahkan kepada komunikasi yang terbuka yang akan mempermudah adanya persetujuan yang diperlukan antara bawahan dan atasan. (Arni, 2004:p.112)
Haney(1973) menemukan bahwa makin tinggi kepercayaan cenderung motivasi kerja makin tinggi. (Arni, 2004:p.174)
2. Pembuatan keputusan bersama
Para karyawan di semua tingkatan dalam organisasi harus diajak berkomunikasi dan berkonsultasi mengenai semua masalah dalam semua wilayah kebijakan organisasi, yang relevan dengan kedudukan mereka. Para pegawai di semua tingkat harus diberi kesempatan
berkomunikasi dan berkonsultasi dengan manajemen di atas mereka agar berperan serta dalam proses pembuatan keputusan dan penentuan tujuan.
Tetapi umumnya pimpinan mau memberikan informasi ke bawah bila merasa bahwa pesan itu penting bagi penyelesaian tugas. Tetapi apabila suatu pesan tidak relevan dengan tugas, pesan itu tetap dipegangnya. (Arni,2004:p.111)
3. Kejujuran
Suasana umum yang diliputi kejujuran dan keterusterangan harus mewarnai hubungan-hubungan dalam organisasi, dan para pegawai mampu mengatakan ”apa yang ada dalam pikiran mereka“ tanpa mengindahkan apakah mereka berbicara kepada teman sejawat,
bawahan, atau atasan.
4. Keterbukaan terhadap komunikasi ke bawah
Komunikasi ke bawah menunjukan arus pesan yang mengalir dari para atasan atau para pemimpin kepada bawahannya. Menurut Lewis(1987) komunikasi ke bawah adalah untuk menyampaikan tujuan, untuk merubah sikap, membentuk pendapat, mengurangi ketakutan dan kecurigaan yang timbul karena salah informasi, mencegah kesalahpahaman karena kurang informasi dan mempersiapkan anggota organisasi untuk menyesuaikan diri dengan perubahan.(Arni,2004:p.108)
Kecuali untuk keperluan informasi rahasia, anggota organisasi harus relatif mudah memperoleh informasi yang berhubungan langsung dengan tugas mereka saat itu, yang mempengaruhi kemampuan mereka untuk mengkoordinasikan pekerjaan mereka dengan orang-orang atau bagian-bagian lainnya, dan yang berhubungan luas dengan perusahaan,
organisasinya, para pemimpin dan rencana-rencana.
5. Mendengarkan dalam komunikasi ke atas
Yang dimaksud dengan komunikasi ke atas adalah pesan yang mengalir dari bawahan kepada atasan atau dari tingkat yang lebih rendah kepeda tingkat yang lebih tinggi. Tujuan dari komunikasi ini adalah untuk memberikan balikan, memberikan saran dan mengajukan
pertanyaan. Komunikasi ini mempunyai efek pada penyempurnaan moral dan sikap karyawan(Arni,2004:p.117)
Hambatan dalam Komunikasi ke atas
° Kecenderungan karyawan untuk menyembunyikan perasaan dan pikirannya.
° Perasaan karyawan bahwa pimpinan dan supervisor tidak tertarik kepada masalah mereka.
° Kurangnya reward atau penghargaan terhadap karyawan yang berkomunikasi ke atas
° Perasaan karyawan bahwa supervisor dan pimpinan tidak dapat menerima dan berespon terhadap apa yang dikatakan oleh karyawan. (Arni,2004:p.119)
6. Perhatian pada tujuan-tujuan berkinerja tinggi Personel di semua tingkat dalam organisasi harus menunjukkan suatu komitmen terhadap tujuan-tujuan berkinerja tinggi-produktivitas tinggi, kualitas tinggi, biaya rendah-demikian pula menunjukkan perhatian
besar pada anggota organisasi lainnya. Jadi secara singkat, yang termasuk dalam dimensi iklim komunikasi organisasi itu adalah kepercayaan, pembuatan keputusan bersama, kejujuran, keterbukaan, mendengarkan dalam komunikasi ke atas dan perhatian pada tujuan-tujuan kinerja tinggi.
Iklim komunikasi organisasi telah melahirkan beberapa definisi, di antaranya: Menurut Tagiuri, Iklim Komunikasi Organisasi adalah kualitas yang relatif abadi dari lingkungan internal organisasi yang dialami oleh anggota-anggotanya, mempengaruhi tingkah laku mereka serta dapat diuraikan dalam istilah nilai-nilai suatu set karakteristik tertentu dari lingkungan. (Soemirat,Ardianto, Suminar, 1999: p. 69).
Payne dan Pugh mendefinisikan organisasi sebagai suatu konsep yang merefleksikan isi dan kekuatan dari nilai-nilai umum, norma, sikap, tingkah laku dan perasaan anggota terhadap suatu sistem sosial. (Soemirat, Ardianto, Suminar,1999: p. 69).
Hillreiger dan Slocum mengatakan Iklim Komunikasi Organisasi adalah suatu set atribut organisasi, yang menyebabkan bagaimana berjalannya subsistem organisasi terhadap anggota dan lingkungannya. (Soemirat, Ardianto, Suminar,1999: p. 69).
Redding mengatakan iklim komunikasi organisasi merupakan fungsi kegiatan yang terdapat dalam organisasi untuk menunjukkan kepada anggota organisasi bahwa organisasi tersebut mempercayai mereka dan memberi mereka kebebasan dalam mengambil resiko; mendorong mereka dan memberi mereka tanggung jawab dalam mengerjakan tugas-tugas mereka dan menyediakan informasi yang terbuka dan cukup tentang organisasi; mendengarkan dengan penuh perhatian serta memperoleh informasi yang dapat dipercayai dan terus terang dari anggota organisasi; secara aktif memberi penyuluhan kepada pra anggota organisasi sehingga mereka dapat melihat bahwa keterlibatan mereka penting bagi keputusan-keputusan dalam organisasi; dan menaruh perhatian pada pekerjaan yang bermutu tinggi dan memberi tantangan. (Pace dan Faules, 2002: p.148)
Pace and Faules mengatakan iklim komunikasi organisasi terdiri dari persepsi-persepsi atas unsur-unsur organisasi dan pengaruh unsur-unsur tersebut terhadap komunikasi. (Pace dan Faules, 2002:p. 149). Dennis mendefinisikan iklim komunikasi organisasi sebagai kualitas pengalaman yang bersifat objektif mengenai lingkungan internal organisasi, yang mencakup persepsi anggota organisasi terhadap pesan dan hubungan pesan dengan kejadian yang terjadi di dalam organisasi. (Soemirat, Ardianto, Suminar,1999:p.69)
Untuk menunjukkan kepada anggota organisasi bahwa organisasi tersebut mempercayai mereka dan memberi mereka kebebasan dalam mengambil resiko; mendorong mereka dan memberi mereka tanggung jawab dalam mengerjakan tugas-tugas mereka dan menyediakan informasi yang terbuka dan cukup tentang organisasi; mendengarkan dengan penuh perhatian serta memperoleh informasi yang dapat dipercayai dan terus terang dari anggota organisasi; secara aktif memberi penyuluhan kepada pra anggota organisasi sehingga mereka dapat melihat bahwa keterlibatan mereka penting bagi keputusan-keputusan dalam organisasi; dan menaruh perhatian pada pekerjaan yang bermutu tinggi dan memberi tantangan. Iklim komunikasi di dalam sebuah organisasi itu penting karena secara tidak langsung iklim komunikasi organisasi dapat mempengaruhi cara hidup orang-orang di dalam sebuah organisasi: kepada siapa orang-orang berbicara, siapa saja yang disukai, bagaimana perasaan masing-masing orang, bagaimana kegiatan kerja berlangsung dan bagaimana perkembangan orang-orang di dalam organisasi (Pace dan Faules, 2002: p. 148). Menurut Redding, yang dikutip oleh Pace dan Faules menyatakan bahwa ”iklim komunikasi organisasi jauh lebih penting daripada keterampilan atau teknik-teknik komunikasi semata-mata dalam menciptakan suatu organisasi yang efektif“. (Pace dan Faules, 2002:p.149)
Dari sini dapat dilihat bahwa iklim komunikasi di dalam sebuah organisasi itu perlu untuk diperhatikan agar dapat menciptakan sebuah organisasi yang efektif. Di dalam buku komunikasi organisasi yang ditulis oleh Pace dan Faules menegaskan hal ini dengan mengemukakan bahwa iklim komunikasi tertentu
memberi pedoman bagi keputusan dan perilaku individu. Keputusan-keputusan yang diambil oleh anggota organisasi untuk melaksanakan pekerjaan mereka secara efektif, untuk mengikatkan diri mereka dengan organisasi, untuk bersikap jujur dalam bekerja, untuk meraih kesempatan dalam organisasi secara bersemangat, untuk mendukung para rekan dan anggota organisasi lainnya, untuk melaksanakan tugas secara kreatif, dan untuk menawarkan gagasan-gagasan inovatif bagi penyempurnaan organisasi dan operasinya, semua ini dipengaruhi oleh iklim komunikasi. Iklim yang negatif dapat benar-benar merusak yang dibuat anggota organisasi mengenai bagaimana mereka akan bekerja dan berpartisipasi untuk organisasi. (Pace dan Faules, 2002: p. 155)
Iklim komunikasi yang penuh rasa persaudaraan mendorong para anggota organisasi untuk berkomunikasi sercara terbuka, rileks, ramah dengan anggota yang lain. Sedangkan iklim komunikasi yang negatif menjadikan anggota tidak berani berkomunikasi secara terbuka dan penuh rasa persaudaraan. (Arni, 2004: p.84)
Jadi, iklim komunikasi memainkan peranan sentral dalam mendorong anggota organisasi untuk mencurahkan usaha kepada pekerjaan mereka dalam organisasi. (Pace dan Faules, 2002: p. 155)
Dari sini dapat dikatakan bahwa iklim komunikasi organisasi memiliki pengaruh yang cukup penting bagi motivasi kerja dan masa kerja pegawai dalam organisasi. Iklim komunikasi yang positif cenderung meningkatkan dan mendukung komitmen pada organisasi dan iklim komunikasi yang kuat seringkali menghasilkan praktik-praktik pengelolaan dan pedoman organisasi yang lebih mendukung (Pace dan Faules, 2002: p. 156). Hal ini didukung pula Soemirat, Ardianto dan Suminar bahwa iklim komunikasi organisasi yang positif tidak hanya menguntungkan organisasi namun juga penting bagi kehidupan manusia-manusia di dalam organisasi tersebut. (Ardianto dan Suminar, 1999:p. 68)
Dari uraian di atas mengenai iklim komunikasi organisasi, kita dapat melihat pentingnya peran iklim komunikasi organisasi bagi kehidupan sebuah organisasi. Oleh karena itu iklim komunikasi organisasi merupakan hal penting yang tidak boleh diabaikan, tetapi harus diperhatikan oleh organisasi.
2. Perkembangan Iklim Komunikasi di dalam Organisasi
Menurut Pace dan Faules, unsur-unsur dasar organisasi (anggota, pekerjaan, praktik-praktik yang berhubungan dengan pengelolaan, struktur dan pedomanan) dipahami secara selektif untuk menciptakan evaluasi dan reaksi yang menunjukkan apakah yang dimaksud oleh setiap unsur dasar tersebut dan seberapa baik unsur-unsur ini beroperasi bagi kebaikan anggota organisasi.
Misalnya, informasi yang cukup merupakan sebuah indikasi untuk para anggota organisasi mengenai seberapa baik unsur-unsur dasar organisasi itu berfungsi bersama-sama untuk menyediakan informasi bagi mereka. (Pace dan Faules, 2002: p. 153)
Menurut Pace dan Faules, pemahaman mengenai kecukupan informasi memberikan petunjuk kepada para anggota organisasi mengenai aspek-aspek organisasi yang merupakan salah satu bagian dari iklim komunikasi organisasi.
Persepsi atas kondisi-kondisi kerja, penyeliaan, upah, kenaikan pangkat, hubungan dengan rekan-rekan, hukum-hukum dan peraturan organisasi, praktik-praktik pengambilan keputusan, sumber daya yang tersedia dan cara-cara memotivasi kerja anggota organisasi semuanya membentuk suatu badan informasi yang membangun iklim komunikasi organisasi.
Unsur-unsur dalam organisasi tidak secara langsung menciptakan iklim komunikasi organisasi, tetapi pengaruhnya terhadap iklim komunikasi organisasi tergantung pada persepsi anggota organisasi mengenai nilai dan hukum dan peraturan tersebut, yaitu apakah hukum dan peraturan harus diabaikan?. Jadi dengan kata lain, unsur-unsur yang terdapat di dalam organisasi tidak secara otomatis menciptakan iklim komunikasi organisasi tetapi tergantung kepada persepsi anggota-anggota organisasi mengenai unsur-unsur organisasi tersebut.
3. Dimensi Iklim Komunikasi Organisasi
Adapun dimensi-dimensi iklim komunikasi organisasi menurut Pace dan Faules dalam bukunya Komunikasi Organisasi, Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan. (2002: p. 159-160):
1. Kepercayaan
Personel di semua tingkat harus berusaha keras untuk mengembangkan dan mempertahankan hubungan yang di dalamnya terdapat kepercayaan, keyakinan dan kredibilitas yang didukung oleh pernyataan dan tindakan. Para pemimpin hendaklah berusaha membentuk kepercayaan di antara pengirim dan penerima pesan. Kepercayaan ini akan mengarahkan kepada komunikasi yang terbuka yang akan mempermudah adanya persetujuan yang diperlukan antara bawahan dan atasan. (Arni, 2004:p.112)
Haney(1973) menemukan bahwa makin tinggi kepercayaan cenderung motivasi kerja makin tinggi. (Arni, 2004:p.174)
2. Pembuatan keputusan bersama
Para karyawan di semua tingkatan dalam organisasi harus diajak berkomunikasi dan berkonsultasi mengenai semua masalah dalam semua wilayah kebijakan organisasi, yang relevan dengan kedudukan mereka. Para pegawai di semua tingkat harus diberi kesempatan
berkomunikasi dan berkonsultasi dengan manajemen di atas mereka agar berperan serta dalam proses pembuatan keputusan dan penentuan tujuan.
Tetapi umumnya pimpinan mau memberikan informasi ke bawah bila merasa bahwa pesan itu penting bagi penyelesaian tugas. Tetapi apabila suatu pesan tidak relevan dengan tugas, pesan itu tetap dipegangnya. (Arni,2004:p.111)
3. Kejujuran
Suasana umum yang diliputi kejujuran dan keterusterangan harus mewarnai hubungan-hubungan dalam organisasi, dan para pegawai mampu mengatakan ”apa yang ada dalam pikiran mereka“ tanpa mengindahkan apakah mereka berbicara kepada teman sejawat,
bawahan, atau atasan.
4. Keterbukaan terhadap komunikasi ke bawah
Komunikasi ke bawah menunjukan arus pesan yang mengalir dari para atasan atau para pemimpin kepada bawahannya. Menurut Lewis(1987) komunikasi ke bawah adalah untuk menyampaikan tujuan, untuk merubah sikap, membentuk pendapat, mengurangi ketakutan dan kecurigaan yang timbul karena salah informasi, mencegah kesalahpahaman karena kurang informasi dan mempersiapkan anggota organisasi untuk menyesuaikan diri dengan perubahan.(Arni,2004:p.108)
Kecuali untuk keperluan informasi rahasia, anggota organisasi harus relatif mudah memperoleh informasi yang berhubungan langsung dengan tugas mereka saat itu, yang mempengaruhi kemampuan mereka untuk mengkoordinasikan pekerjaan mereka dengan orang-orang atau bagian-bagian lainnya, dan yang berhubungan luas dengan perusahaan,
organisasinya, para pemimpin dan rencana-rencana.
5. Mendengarkan dalam komunikasi ke atas
Yang dimaksud dengan komunikasi ke atas adalah pesan yang mengalir dari bawahan kepada atasan atau dari tingkat yang lebih rendah kepeda tingkat yang lebih tinggi. Tujuan dari komunikasi ini adalah untuk memberikan balikan, memberikan saran dan mengajukan
pertanyaan. Komunikasi ini mempunyai efek pada penyempurnaan moral dan sikap karyawan(Arni,2004:p.117)
Hambatan dalam Komunikasi ke atas
° Kecenderungan karyawan untuk menyembunyikan perasaan dan pikirannya.
° Perasaan karyawan bahwa pimpinan dan supervisor tidak tertarik kepada masalah mereka.
° Kurangnya reward atau penghargaan terhadap karyawan yang berkomunikasi ke atas
° Perasaan karyawan bahwa supervisor dan pimpinan tidak dapat menerima dan berespon terhadap apa yang dikatakan oleh karyawan. (Arni,2004:p.119)
6. Perhatian pada tujuan-tujuan berkinerja tinggi Personel di semua tingkat dalam organisasi harus menunjukkan suatu komitmen terhadap tujuan-tujuan berkinerja tinggi-produktivitas tinggi, kualitas tinggi, biaya rendah-demikian pula menunjukkan perhatian
besar pada anggota organisasi lainnya. Jadi secara singkat, yang termasuk dalam dimensi iklim komunikasi organisasi itu adalah kepercayaan, pembuatan keputusan bersama, kejujuran, keterbukaan, mendengarkan dalam komunikasi ke atas dan perhatian pada tujuan-tujuan kinerja tinggi.
Labels:
Komunikasi Bisnis
Subscribe to:
Posts (Atom)