Tuesday, October 27, 2009

Paul Samuelson’s Contributions to International Economics

By Kenneth Rogoff1, Harvard University

Introduction
Paul Samuelson’s contributions to trade theory and international economics are
simply breath-taking. Virtually every undergraduate or graduate student, anywhere in the world, will be asked to understand his Stolper-Samuelson and factor-price equalization theorems. These theorems tell us, of course, why trade liberalization tends to benefit the relatively abundant factor of production (skilled labor, in the case of the United States), and why trade in goods can, in many respects, equalize opportunities just as effectively as trade in people and capital. Indeed, it is a very safe bet that whoever the great economist of the 22nd century turns out to be, he or she will be teaching and reinvigorating ideas Samuelson articulated during the middle part of the 20th century.
Achieving eternal life in the pantheon of trade giants is already an extraordinary
feat. What is perhaps even more remarkable about Samuelson’s trade contributions is
their vitality in today’s globalization debate. Whereas few taxi drivers in Shanghai have ever been to college much less graduate school (something one cannot assume in Cambridge, Massachusetts), they will still understand that trade with the United States is raising the wages of Chinese workers, just as most Americans understand that the country’s shrinking manufacturing base has more than a little to do with international trade. Indeed, the rising wage differential between skilled and unskilled workers in the United States (and throughout the advanced economies) stands as one of the most contentious and difficult economic and political issues of our day. There is still a great deal of disagreement about what drives this growing differential, and in particular how much is due to globalization, and how much is due to changing technologies that favor skilled labor. Regardless, Samuelson’s ideas contributed greatly to building the framework that economists use for asking such questions and for quantifying potential answers.
In this short essay, I will not attempt any technical exposition of Samuelson’s core trade theories, since one can find these (at various levels) in any economics textbook, from introductory to advanced (including, of course, the many generations of

Download Jurnal

Monday, October 26, 2009

Planning Marketing Mix Strategies In The Presence Of Interaction Effects: Empirical And Equilibrium Analyses

PLANNING MARKETING-MIX STRATEGIES IN THE PRESENCE OF INTERACTION EFFECTS: EMPIRICAL AND EQUILIBRIUM ANALYSES

ABSTRACT
Companies spend millions of dollars on advertising to boost a brand’s image, while simultaneously spending millions of dollars on promotion that calls attention to price and erodes brand equity. This situation arises because both advertising and promotion are necessary to compete effectively in dynamic markets. Consequently, brand managers need to account for interactions between marketing activities and interactions among competing brands in determining the appropriate level of budget and its allocation to marketing activities. By recognizing interaction effects between activities, managers can consider inter-activity tradeoffs in planning the marketing mix strategies. On the other hand, by recognizing interactions with competitors, managers can incorporate strategic foresight in their planning, which requires them to look forward and reason backwards in making optimal decisions. Looking forward means that each brand manager anticipates how other competing brands are likely to make future decisions and then, by reasoning backwards, deduces one’s own optimal decisions in response to the best decisions to be made by all other brands. The joint consideration of interaction effects and strategic foresight in planning marketing-mix strategies is a challenging and open marketing problem, which motivates this paper.
In this paper, we develop a methodology for planning optimal marketing-mix in dynamic competitive markets, taking into account strategic foresight and interaction effects. To estimate and infer the existence of interaction effects, we design a Kalman filter that uses readily available
discrete-time market data to calibrate continuous-time marketing models of dynamic competition.
To develop optimal marketing-mix plans, we construct a computational algorithm for solving the nonlinear two-point boundary value problem associated with the derivation of equilibrium strategies.
We illustrate the application of this dual methodology by studying the dynamic Lanchester competition across five brands in the detergents markets, where each brand uses advertising and promotion to influence its own market share and the shares of competing brands. Empirically, we find that advertising and promotion not only affect the brand shares (own and competitors’), but also exert interaction effects, i.e., each activity amplifies or attenuates the effectiveness of the other activity. Moreover, if managers ignore these interaction effects, they are likely to believe that advertising and promotion are less effective than they actually are. Normatively, we find that large brands such as Tide and Wisk not only under-advertise, but also substantially over-spend on promotion. Thus, we provide support for the view that “escalation of promotion” may exist in some markets, a finding that Leeflang and Wittink (2001) attribute to managers’ lack of strategic foresight.
Finally, the generality of both the estimation method and computational algorithm enables managers to apply the proposed methodology to other market response models that reflect the marketing environment specific to their companies.

download

download jurnal

Thursday, October 22, 2009

Sistem Pengendalian Manajemen : Definisi dan Bentuk

Definisi Sistem Pengendalian Manajemen :
Menurut Suadi Sistem pengendalian manajemen adalah: sebuah sistem yang terdiri dari beberapa sub sistem yang saling berkaitan, yaitu: pemrograman, penganggaran, akuntansi, pelaporan, dan pertanggungjawaban untuk membantu manajemen mempengaruhi orang lain dalam sebuah perusahaan, agar mau mencapai tujuan perusahaan melalui strategi tertentu secara efektif dan efisien." (1999:8-9).
Menurut Anthony dan Reece ( 1989:824 )sistem pengendalian manajemen adalah : nfluence members of the organization to implement the organization. yang kurang lebih memiliki arti bahwa sistem pengendalian manajemen memiliki fungsi pengendalian terhadap aktivitas-aktivitas dalam suatu organisasi yang diupayakan agar sesuai dengan strategi badan usaha untuk mencapai tujuannya.

Kegiatan pengendalian dapat diklasifikasikan dalam dua jenis yaitu, pengendalian manajemen (management control) dan pengendalian operasional (operational control). Pengendalian manajemen mengarah pada pengendalian kegiatan secara menyeluruh demi mendapatkan keyakinan bahwa strategi perusahaan telah dijalankan secara efektif dan efisien. Sedangkan pengendalian operasional hanya menyangkut tugas-tugas tertentu telah dilaksanakan secara efektif dan efisien.
Dalam kaitannya dengan fungsi manajemen, pengendalian manajemen merupakan penerapan semua fungsi manajemen, Dikatakan demikian, karena dalam pelaksanaan pengendalian manajemen meliputi kegiatan perencanaan operasional perusahaan, pengorganisasian kegiatan, koordinasi kegiatan, pengendalian kegiatan dan pembinaan pelaksana kegiatan, Konsep sistem pengendalian manajemen juga diartikan sebagai manajemen secara keseluruhan. Sistem pengendalian manajemen adalah sistem yang menyeluruh ke semua aspek kegiatan perusahaan. Dalam proses pengendalian manajemen terdapat beberapa bagian kegiatan yaitu penyusunan program, penyusunan anggaran, pelaksanaan dan pengukuran kegiatan, serta pelaporan dan analisis kegiatan. Sedangkan dalam struktur perusahaan terdapat beberapa hal yaitu: struktur organisasi, aliran informasi, pusat pertanggungjawaban dan pelimpahan wewenang, serta tolok ukur prestasi dan motivasi.
Menurut Suadi (1999:10) konsep sistem pengendalian manajemen terkandung pengertian proses pengendalian, dan straktur pengendalian sebagai sistem pengendalian manajemen secara keseluruhan. Struktur diartikan sebagai suatu kerangka sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang membentuk sistem itu sendiri. Sedangkan proses di dalam konsep sistem pengendalian manajemen adalah untuk menjelaskan bagaimana bekerjanya masing-masing bagian di dalam sistem tersebut dalam pencapaian tujuannya, dan untuk memastikan bahwa hasil-hasil yang dicapai telah sesuai dengan rencana.
Salah satu elemen struktur pengendalian manajemen seperti yang telah dikemukakan itu adalah pusat pertanggungjawaban. Pusat pertanggungjawaban merupakan suatu unit organisasi yang dipimpin oleh seorang manajer yang bertanggung jawab. Suatu pusat pertanggungjawaban dapat dipandang sebagai suatu sistem yang mengolah masukan menjadi keluaran.
Sistem pengendalian manajemen terdiri dari Struktur pengendalian manajemen dan proses pengendalian manaj emen. Struktur pengendalian manajemen dinyatakan dalam bentuk unit organisasi dan sifat informasi yang ada diantara unit-unit ini. Secara umum sistem pengendalian manajemen akan berpusat pada bermacam-macam jenis pusat pertanggungjawaban. Sedangkan proses pengendalian manajemen meliputi hubungan komunikasi informal dan interaksi antara manajer dengan karyawan.
Hal ini ditegaskan oleh Anthony dan Dearden ( 1989:20 ) sebagai berikut: other managers and between managers and workers. These informal activities take place within a formal planning and control system. Such a formal system includes the following activities : (1) programming, (2)

Menurut Shillinglaw dan McGahran ( 1993:749 ) ada tiga macam bentuk pengendalian yaitu :
1. Personal controls
yaitu pengendalian yang ditekankan pada sikap dan motivasi orang yang terlibat dalam organisasi, misalnya penilaian karyawan dan kultur organisasi. Bentuk pengendalian ini merupakan serangkaian peraturan yang tidak tertulis.
2. Action controls
yaitu pengendalian yang berhubungan dengan pelaksanaan pekerjaan dan tugas yang diberikan kepada karyawan.
3. Result controls
yaitu pengendalian yang ditekankan pada hasil dari pelaksanaan operasi karyawan.

Macam Gaya Kepemimpinan : Kepemimpinan Autokratis, Kepemimpinan Demokratis dan Kepemimpinan Laissez-Faire (Kendali Bebas)

Dari penelitian yang dilakukan Fiedler yang dikutip oleh Prasetyo (2006)ditemukan bahwa kinerja kepemimpinan sangat tergantung pada organisasi maupun gaya kepemimpinan (p. 27). Apa yang bisa dikatakan adalah bahwa pemimpin bisa efektif ke dalam situasi tertentu dan tidak efektif pada situasi yang lain. Usaha untuk meningkatkan efektifitas organisasi atau kelompok harus dimulai dari belajar, tidak hanya bagaimana melatih pemimpin secara efektif, tetapi juga membangun lingkungan organisasi dimana seorang pemimpin bisa bekerja dengan baik.
Lebih lanjut menurut Prasetyo (p.28), gaya kepemimpinan adalah cara yang digunakan dalam proses kepemimpinan yang diimplementasikan dalam perilaku kepemimpinan seseorang untuk mempengaruhi orang lain untuk bertindak sesuai dengan apa yang dia inginkan. Selain itu menurut Flippo (1987), gaya kepemimpinan juga dapat didefinisikan sebagai pola tingkah laku yang dirancang untuk mengintegrasikan tujuan organisasi dengan tujuan individu untuk mencapai suatu tujuan tertentu (p. 394).
Menurut University of Iowa Studies yang dikutip Robbins dan Coulter (2002), Lewin menyimpulkan ada tiga gaya kepemimpinan; gaya kepemimpinan autokratis, gaya kepemimpinan demokratis, gaya kepemimpinan Laissez-Faire (Kendali Bebas) (p. 406)

Gaya Kepemimpinan Autokratis
Menurut Rivai (2003), kepemimpinan autokratis adalah gaya kepemimpinan yang menggunakan metode pendekatan kekuasaan dalam mencapai keputusan dan pengembangan strukturnya, sehingga kekuasaanlah yang paling diuntungkan dalam organisasi (p. 61).
Robbins dan Coulter (2002) menyatakan gaya kepemimpinan autokratis mendeskripsikan pemimpin yang cenderung memusatkan kekuasaan kepada dirinya sendiri, mendikte bagaimana tugas harus diselesaikan, membuat keputusan secara sepihak, dan meminimalisasi partisipasi karyawan (p. 460).
Lebih lanjut Sukanto (1987) menyebutkan ciri-ciri gaya kepemimpinan autokratis (pp. 196-198):

1. Semua kebijakan ditentukan oleh pemimpin.
2. Teknik dan langkah-langkah kegiatannya didikte oleh atasan setiap waktu, sehingga langkah-langkah yang akan datang selalu tidak pasti untuk tingkatan yang luas.
3. Pemimpin biasanya membagi tugas kerja bagian dan kerjasama setiap anggota.
Sedangkan menurut Handoko dan Reksohadiprodjo (1997), ciri-ciri gaya kepemimpinan autokratis (p. 304):
1. Pemimpin kurang memperhatikan kebutuhan bawahan.
2. Komunikasi hanya satu arah yaitu kebawah saja.
3. Pemimpin cenderung menjadi pribadi dalam pujian dan kecamannya terhadap kerja setiap anggota.
4. Pemimpin mengambil jarak dari partisipasi kelompok aktif kecuali bila menunjukan keahliannya

Gaya kepemimpinan Demokratis / Partisipatif
Kepemimpinan demokratis ditandai dengan adanya suatu struktur yang pengembangannya menggunakan pendekatan pengambilan keputusan yang kooperatif. Dibawah kepemimpinan demokratis bawahan cenderung bermoral tinggi, dapat bekerja sama, mengutamakan mutu kerja dan dapat mengarahkan diri sendiri (Rivai, 2006, p. 61).
Menurut Robbins dan Coulter (2002), gaya kepemimpinan demokratis mendeskripsikan pemimpin yang cenderung mengikutsertakan karyawan dalam pengambilan keputusan, mendelegasikan kekuasaan, mendorong partisipasi karyawan dalam menentukan bagaimana metode kerja dan tujuan yang ingin dicapai, dan memandang umpan balik sebagai suatu kesempatan untuk melatih karyawan(p. 460). Jerris (1999) menyatakan bahwa gaya kepemimpinan yang menghargai kemampuan karyawan untuk mendistribusikan knowledge dan
kreativitas untuk meningkatkan servis, mengembangkan usaha, dan menghasilkan banyak keuntungan dapat menjadi motivator bagi karyawan dalam bekerja (p.203).
Ciri-ciri gaya kepemimpinan demokratis (Sukanto, 1987, pp. 196-198):
1. Semua kebijaksanaan terjadi pada kelompok diskusi dan keputusan diambil dengan dorongan dan bantuan dari pemimpin.
2. Kegiatan-kegiatan didiskusikan, langkah-langkah umum untuk tujuan kelompok dibuat, dan jika dibutuhkan petunjuk-petunjuk teknis pemimpin menyarankan dua atau lebih alternatif prosedur yang dapat dipilih.
3. Para anggota bebas bekerja dengan siapa saja yang mereka pilih dan pembagian tugas ditentukan oleh kelompok.
Lebih lanjut ciri-ciri gaya kepemimpinan demokratis (Handoko dan Reksohadiprodjo, 1997, p. 304):
1. Lebih memperhatikan bawahan untuk mencapai tujuan organisasi.
2. Menekankan dua hal yaitu bawahan dan tugas.
3. Pemimpin adalah obyektif atau fact-minded dalam pujian dan kecamannya dan mencoba menjadi seorang anggota kelompok biasa dalam jiwa dan semangat tanpa melakukan banyak pekerjaan.

Gaya Kepemimpinan Laissez-faire (Kendali Bebas)

Gaya kepemimpinan kendali bebas mendeskripsikan pemimpin yang secara keseluruhan memberikan karyawannya atau kelompok kebebasan dalam pembuatan keputusan dan menyelesaikan pekerjaan menurut cara yang menurut karyawannya paling sesuai (Robbins dan Coulter, 2002, p. 460).
Menurut Sukanto (1987) ciri-ciri gaya kepemimpinan kendali bebas (pp.196-198) :
1. Kebebasan penuh bagi keputusan kelompok atau individu dengan partisipasi minimal dari pemimpin.
2. Bahan-bahan yang bermacam-macam disediakan oleh pemimpin yang membuat orang selalu siap bila dia akan memberi informasi pada saat ditanya.
3. Sama sekali tidak ada partisipasi dari pemimpin dalam penentuan tugas.
4. Kadang-kadang memberi komentar spontan terhadap kegiatan anggota atau pertanyaan dan tidak bermaksud menilai atau mengatur suatu kejadian.
Ciri-ciri gaya kepemimpinan kendali bebas (Handoko dan Reksohadiprodjo, 1997, p. 304):
1. Pemimpin membiarkan bawahannya untuk mengatur dirinya sendiri.
2. Pemimpin hanya menentukan kebijaksanaan dan tujuan umum.
3. Bawahan dapat mengambil keputusan yang relevan untuk mencapai tujuan dalam segala hal yang mereka anggap cocok.

Hubungan Gaya Kepemimpinan dengan Motivasi Kerja

Proses kepemimpinan secara singkat sering dikatakan sebagai cara untuk mencapai tujuan melalui orang lain. Orang lain disini bisa diartikan sebagai orang-perorang, atau sekelompok orang. Akan tetapi karena orang banyak itu terdiri dari individu dengan kebutuhan yang bervariasi, diperlukan kiat-kiat khusus untuk mengatur supaya kebutuhan, keinginan, dan kepentingan yang bermacam-macam tersebut bisa terakomodasi sehingga timbul dorongan atau motivasi untuk secara mandiri bekerja mencapai tujuan pribadi maupun kelompok. Dalam proses kepemimpinan, motivasi merupakan sesuatu yang esensial dalam kepemimpinan, karena memimpin adalah memotivasi. Seorang pemimpin harus bekerja bersama-sama dengan orang lain atau bawahannya, untuk itu diperlukan kemampuan memberikan motivasi kepada bawahan. Menurut Wahjosumidjo (1984), kepemimpinan mempunyai kaitan yang erat dengan motivasi, sebab keberhasilan seorang pemimpin dalam menggerakkan orang lain dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan sangat bergantung kepada kewibawaan, dan juga pemimpin itu di dalam menciptakan motivasi di dalam diri setiap orang bawahan, kolega maupun atasan pemimpin itu sendiri (p. 197).
Seorang pemimpin memotivasi pengikut melalui gaya kepemimpinan tertentu yang akan menghasilkan pencapaian tujuan kelompok dan tujuan individu. Pengikut yang termotivasi akan berusaha mencapai tujuan secara sukarela dan selanjutnya menghasilkan kepuasan. Kepuasan mengakibatkan kepada perilaku pencapaian tujuan yang diulang kembali untuk mencapai tujuan atau memenuhi kebutuhan di masa yang akan datang.

Teori Sifat Kepemimpinan

Teori sifat mengasumsikan kepemimpinan tidak dilahirkan dan tidak dapat dibuat. Kepemimpinan terdiri dari karakter dan sifat yang diturunkan. Karakter

dan sifat tersebut yang membedakan seseorang sebagai pemimpin. Gheselli yang dikutip dari Manning dan Curtis (2005) mengidentifikasikan sifat kepemimpinan yang efektif (p. 16):
1. Need for achievement
Seorang pemimpin harus bertanggung jawab dan bekerja keras agar berhasil.
2. Intellegence
Pemimpin harus memiliki pertimbangan, alasan, dan pemikiran yang baik.
3. Decisiveness
Seorang pemimpin harus mampu membuat keputusan tanpa keraguan.
4. Self Confidence
Seorang pemimpin harus memiliki kesan positif sebagai seorang yang
memiliki kemampuan.
5. Initiative
Pemimpin harus menjadi acuan, melakukan pekerjaan dengan pengawasan
yang minimal.
6. Supervisory Ability
Pemimpin harus dapat mendelegasikan tugas secara baik kepada bawahannya.
Lebih lanjut Manning dan Curtis (p.29) menyatakan bahwa sepuluh kualitas yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin untuk membantunya dalam proses kepemimpinan :
1. Visi
Syarat utama menjadi seorang pemimpin adalah memiliki visi yang baik. Visi menginspirasi yang lain dan menyebabkan seorang pemimpin dapat melakukan tugasnya.
2. Kemampuan
Seorang pemimpin harus memiliki pemahaman yang baik atas pekerjaanya.
Karyawan biasanya menunjukkan kesabaran kepada seorang pemimpin yang baru, tetapi mereka akan kehilangan kepercayaan kepada seorang pemimpin yang gagal dalam melaksanakan tugasnya
3. Antusiasme
Ciri dari seorang pemimpin yang baik yaitu memiliki antusiasme yang kuat.
Antusiasme yang ditunjukkan seorang pemimpin membangkitkan antusiasme bagi pengikutnya.
4. Stabilitas
Seorang pemimpin harus memiliki profesionalisme, dengan membedakan masalah perusahaan dengan masalah pribadi.
5. Memahami Sesama
Seorang pemimpin tidak boleh merendahkan bawahannya atau memperlakukan mereka seperti mesin. Seorang pemimpin harus memahami kesejahteraan bawahannya. Pengertian terhadap orang lain membutuhkan kesabaran dan kemauan untuk mendengarkan permasalahan bawahannya.
6. Percaya Diri
Apabila seorang pemimpin kurang percaya diri, karyawan akan mempertanyakan otoritasnya, bahkan mengabaikan perintah.
7. Ketekunan
Seorang pemimpin memiliki kebulatan tekad dan ketekunan untuk menyelesaikan suatu masalah yang sulit.
8. Vitalitas
Seorang pemimpin harus memiliki kekuatan dan stamina yang prima dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang pemimpin.
9. Karisma
Seorang pemimpin harus memiliki karisma yaitu kemampuan untuk menarik perhatian pegawainya dan membuat mereka mengikutinya.
10. Integritas
Syarat paling penting seorang pemimpin adalah integritas, yaitu: kejujuran, karakter yang kuat, dan keberanian. Tanpa integritas maka tidak ada kepercayaan. Kepercayaan memimpin kepada rasa hormat, loyalitas, dan tindakan.

Monday, October 19, 2009

Aspek Penawaran dan Permintan dalam Industri Pariwisata

Tidak dapat dipungkiri bahwa sektor pariwisata mempunyai peranan penting dalam Pembangunan suatu bangsa, khususnya perekonomian negara karena kegiatan pariwisata merupakan salah satu sumber pendapatan yang cukup pontensial. Menurut buku tourism industry 2000, Pariwisata dilihat sebagai suatu jenis usaha yang memiliki nilai ekonomi, maka pariwisata adalah sebagai suatu proses yang dapat menciptakan nilai tambahan terhadap barang dan jasa sebagai satu kesatuan produk yang nyata (real goods) ataupun yang berupa jasa – jasa (service) yang dihasilkan melalui proses produksi. Yang dimaksud dengan “product” dalam ilmu ekonomi, adalah sesuatu yang dihasilkan melalui proses produksi. Dalam pengertian ini, ditekankan bahwa tujuan akhir dari suatu proses produksi tidak lain adalah suatu barang (product) yang dapat digunakan untuk berbagai tujuan guna untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Pada hakekatnya, tujuan pembangunan obyek dan daya tarik wisata adalah:
1. Pengembangan sosial ekonomi regional
2. Kebutuhan rekreasi masyarakat.
3. Memperoleh keuntungan.
4. Optimalisasi sumber daya yang mempunyai fungsi Iain. ( Fandeli, 1995,152-153 )

Arti penting Pariwisata dalam Perekonomian :
1. Memberikan kesempatan kerja/memperkecil pengangguran
2. Peningkatan penerimaan pajak dan retribusi daerah
3. Meningkatkan Pendapatan Nasional (National Income)
4. Memperkuat Posisi Neraca Pembayaran (Net Balance Payment)
5. Memberikan efek multiplier dalam perekonomian DTW (daerah tujuan wisata)

Aspek - Aspek Permintaan dan Penawaran Pariwisata :
Aspek Penawaran Pariwisata

Menurut Medlik, 1980 (dalam Ariyanto 2005), ada empat aspek (4A) yang harus diperhatikan dalam penawaran pariwisata. Aspek-aspek tersebut adalah sebagai berikut:
1. Attraction (daya tarik); daerah tujuan wisata (selanjutnya disebut DTW) untuk menarik wisatawan pasti memiliki daya tarik, baik daya tarik berupa alam maupun masyarakat dan budayanya.
2. Accesable (transportasi); accesable dimaksudkan agar wisatawan domestik dan mancanegara dapat dengan mudah dalam pencapaian tujuan ke tempat wisata
3. Amenities (fasilitas); amenities memang menjadi salah satu syarat daerah tujuan wisata agar wisatawan dapat dengan kerasan tinggal lebih lama di DTW.
4. Ancillary (kelembagaan); adanya lembaga pariwisata wisatawan akan semakin sering mengunjungi dan mencari DTW apabila di daerah tersebut wisatawan dapat merasakan keamanan, (protection of tourism) dan terlindungi.

Selanjutnya Smith, 1988 (dalam Pitana, 2005) mengklasifikasikan berbagai barang dan jasa yang harus disediakan oleh daerah tujuan wisata menjadi enam kelompok besar, yaitu: (1)Transportation, (2)Travel services, (3)Accommodation, (4)Food services, (5)Activities and attractions (recreation culture/entertainment), dan (6) Retail goods.

Aspek Permintaan Pariwisata

Menurut Medlik, 1980 (dalam Ariyanto, 2005), faktor-faktor utama dan faktor lain yang mempengaruhi permintaan pariwisata dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Harga; harga yang tinggi pada suatu daerah tujuan wisata akan memberikan imbas atau timbal balik pada wisatawan yang akan bepergian, sehingga permintaan wisatapun akan berkurang begitu pula sebaliknya.
2. Pendapatan; apabila pendapatan suatu negara tinggi, kecendrungan untuk memilih daerah tujuan wisata sebagai tempat berlibur akan semakin tinggi dan bisa jadi calon wisatawan membuat sebuah usaha pada Daerah Tujuan Wisata jika dianggap menguntungkan.
3. Sosial Budaya; dengan adanya sosial budaya yang unik dan bercirikan atau berbeda dari apa yang ada di negara calon wisata berasal maka, peningkatan permintaan terhadap wisata akan tinggi hal ini akan membuat sebuah keingintahuan dan penggalian pengetahuan sebagai khasanah kekayaan pola pikir budaya wisatawan.
4. Sospol (Sosial Politik); dampak sosial politik belum terlihat apabila keadaan Daerah Tujuan Wisata dalam situasi aman dan tenteram, tetapi apabila hal tersebut berseberangan dengan kenyataan, maka sospol akan sangat terasa dampak dan pengaruhnya dalam terjadinya permintaan.
5. Intensitas keluarga; banyak atau sedikitnya keluarga juga berperan serta dalam permintaan wisata hal ini dapat diratifikasi, jumlah keluarga yang banyak maka keinginan untuk berlibur dari salah satu keluarga tersebut akan semakin besar, hal ini dapat dilihat dari kepentingan wisata itu sendiri.
6. Harga barang substitusi; disamping kelima aspek di atas, harga barang pengganti juga termasuk dalam aspek permintaan, dimana barang-barang pengganti dimisalkan sebagai pengganti DTW yang dijadikan cadangan dalam berwisata seperti: Bali sebagai tujuan wisata utama di Indonesia, akibat suatu dan lain hal Bali tidak dapat memberikan kemampuan dalam memenuhi syarat-syarat Daerah Tujuan Wisata sehingga secara tidak langsung wisatawan akan mengubah tujuannya ke daerah terdekat seperti Malaysia dan Singapura.
7. Harga barang komplementer; merupakan sebuah barang yang saling membantu atau dengan kata lain barang komplementer adalah barang yang saling melengkapi, dimana apabila dikaitkan dengan pariwisata barang komplementer ini sebagai objek wisata yang saling melengkapi dengan objek wisata lainnya.

Sedangkan Jackson, 1989 (dalam Pitana, 2005) melihat bahwa faktor penting yang menentukan permintaan pariwisata berasal dari komponen daerah asal wisatawan antara lain, jumlah penduduk (population size), kemampuan finansial masyarakat (financial means), waktu senggang yang dimiliki (leisure time), sistem transportasi, dan sistem pemasaran pariwisata yang ada.
Dari kedua pendapat di atas, aspek permintaan pariwisata dapat diprediksi dari jumlah penduduk dari suatu negara asal wisatawan, pendapatan perkapitanya, lamanya waktu senggang yang dimiliki yang berhubungan dengan musim di suatu negara, kemajuan teknologi informasi dan transportasi, sistem pemasaran yang berkembang, keamanan dunia, sosial dan politik serta aspek lain yang berhubungan dengan fisik dan non fisik wisatawan.

Thursday, October 15, 2009

Brand Loyalty (Loyalitas Merek) : Definisi dan Tingkatan Loyalitas Merek (Brand Loyalty)

Aaker (1997:56) mendefinisikan loyalitas merek (brand loyalty) sebagai suatu ukuran keterkaitan pelanggan kepada sebuah merek. Ukuran ini mampu memberikan gambaran tentang mungkin tidaknya seorang pelanggan beralih ke merek lain yang ditawarkan oleh kompetitor, terutama jika pada merek tersebut didapati adanya perubahan, baik menyangkut harga ataupun atribut lainnya. Seorang pelanggan yang sangat loyal kepada suatu merek tidak akan dengan mudah memindahkan pembeliannya ke merek lain, apa pun yang terjadi dengan merek tersebut. Bila loyalitas pelanggan terhadap suatu merek meningkat, kerentanan kelompok pelanggan tersebut dari ancaman dan serangan merek produk pesaing dapat dikurangi. Dengan demikian, brand loyalty merupakan salah satu indikator inti dari brand equity yang jelas terkait dengan peluang penjualan, yang berarti pula jaminan perolehan laba perusahaan di masa mendatang.

Menurut Mowen, (1995:531) Brand loyalty is defined as the degree to which a customer holds a positive attitude toward a brantl, has a commitment to it, and intends to continue purchasing it in the future As such, brand loyalty ls directly influenced by the cuslomer satisfaction dissatisfaction with the brand.
Yang mempunyai arti Bahwa loyalitas merek didefinisikan sebagai tingkatan dimana pelanggan memiliki sikap positif terhadap suatu merek, memiliki komitmen dan cenderung untuk terus melanjutkan membeli produk dengan suatu merek tertentu dimasa yang akan datang. Dengan demikian, loyalitas merek secara langsung dipengaruhi oleh kepuasan / ketidakpuasan pelanggan terhadap merek tertentu.

Menurut Assael (70) Bran Loyalty : "Brand Loyalty represents a favorable attitude toward and consistent purchase of a single brand over time." Bahwa kesetiaan merek menggambarkan sebuah sikap yang positif dan melakukan pembelian terhadap merek tersebut secara berulang-ulang.

Definisi loyalitas merek menurut Schiffman, (227) yaitu : "BrQnd loyalty must be measured by attitudes toward a brand rather than by purchase consistensy." Bahwa kesetiaan merek dinilai dari sikap terhadap suatu merek dengan pembelian secara berulang-ulang.
Menurut Zaltman, (1979:288)yaitu :"Brand toyalty is one type of repeat purchase." Bahwa dengan mengulangi pembelian merupakan suatu bentuk kesetiaan merek.

Pelanggan yang loyal pada umumnya akan melanjutkan pembelian merek tersebut walaupun dihadapkan pada banyak alternatif merek produk pesaing yang menawarkan karakteristik produk yang lebih unggul dipandang dari berbagai sudut atributnya. Bila banyak pelanggan dari suatu merek masuk dalam kategori ini berarti merek tersebut memiliki brand equity yang kuat.

Tingkat Loyalitas Merek
Dalam kaitannya dengan loyalitas merek terdapat beberapa tingkat loyalitas. Masing-masing tingkatannya menunjukkan tantangan pemasaran yang harus dihadapi sekaligus aset yang dapat dimanfaatkan. Adapun tingkatan tersebut adalah sebagai berikut (Aaker, 1997, p.58):

- Berpindah-pindah (Switcher)
Pelanggan yang berada pada tingkat loyalitas ini dikatakan sebagai pelanggan yang berada pada tingkat paling dasar. Semakin tinggi frekuensi pelanggan untuk memindahkan pembeliannya dari suatu merek ke merek-merek yang lain mengindikasikan mereka sebagai pembeli yang sama sekali tidak loyal atau tidak tertarik pada merek tersebut. Pada tingkatan ini merek apapun mereka anggap memadai serta memegang peranan yang sangat kecil dalam keputusan pembelian. Ciri yang paling nampak dari jenis pelanggan ini adalah mereka membeli suatu produk karena harganya murah.

- Pembeli yang bersifat kebiasaan (Habitual Buyer)
Pembeli yang berada dalam tingkat loyalitas ini dapat dikategorikan sebagai pembeli yang puas dengan merek produk yang dikonsumsinya atau setidaknya mereka tidak mengalami ketidakpuasan dalam mengkonsumsi produk tersebut. Pada tingkatan ini pada dasarnya tidak didapati alasan yang cukup untuk menciptakan keinginan untuk membeli merek produk yang lain atau berpindah merek terutama jika peralihan tersebut memerlukan usaha, biaya, maupun berbagai bentuk pengorbanan lain. Jadi dapat disimpulkan bahwa pembeli ini dalam membeli suatu merek didasarkan atas kebiasaan mereka selama ini.

- Pembeli yang puas dengan biaya peralihan (Satisfied buyer)
Pada tingkat ini pembeli merek masuk dalam kategori puas bila mereka mengkonsumsi merek tersebut, meskipun demikian mungkin saja mereka memindahkan pembeliannya ke merek lain dengan menanggung biaya peralihan (switching cost) yang terkait dengan waktu, uang, atau resiko kinerja yang melekat dengan tindakan mereka beralih merek. Untuk dapat menarik minat para pembeli yang masuk dalam tingkat loyalitas ini maka para pesaing perlu mengatasi biaya peralihan yang harus ditanggung oleh pembeli yang masuk dalam kategori ini dengan menawarkan berbagai manfaat yang cukup besar sebagai kompensasinya (switching cost loyal).

- Menyukai merek (Likes the brand)
Pembeli yang masuk dalam kategori loyalitas ini merupakan pembeli yang sungguh-sungguh menyukai merek tersebut. Pada tingkatan ini dijumpai perasaan emosional yang terkait pada merek. Rasa suka pembeli bisa saja didasari oleh asosiasi yang terkait dengan simbol, rangkaian pengalaman dalam penggunaan sebelumnya baik yang dialami pribadi maupun oleh kerabatnya ataupun disebabkan oleh kesan kualitas yang tinggi. Meskipun demikian seringkali rasa suka ini merupakan suatu perasaan yang sulit diidentifikasi dan ditelusuri dengan cermat untuk dikategorikan ke dalam sesuatu yang spesifik.

- Pembeli yang komit (Committed buyer)
Pada tahap ini pembeli merupakan pelanggan yang setia. Mereka memiliki suatu kebanggaan sebagai pengguna suatu merek dan bahkan merek tersebut menjadi sangat penting bagi mereka dipandang dari segi fungsinya maupun sebagai suatu ekspresi mengenai siapa sebenarnya mereka. Pada tingkatan ini, salah satu aktualisasi loyalitas pembeli ditunjukkan oleh tindakan merekomendasikan dan mempromosikan merek tersebut kepada orang lain.
 

Jurnal Sdm Olif Sponsored by liza Caem