Pengertian Kulalitas Layanan [Service Quality]:
Menurut Zeithaml (1990 : 19) Kualitas Layanan adalah “Service quality is the extent of discrepancy between customer’s expectations or desires and their perceptions.
Yang kurang lebih memiliki arti : kualitas layanan adalah ketidaksesuaian antara harapan atau keinginan konsumen dengan persepsi konsumen.
Kualitas layanan mempunyai banyak karakteristik yang berbeda sehingga kualitas layanan sulit untuk didefinisikan atau diukur.
Menurut Boone & Kurtz (1995 : 439) “Service quality refers to the expected perceived quality of service offering. It is primary determinant of customer satisfaction or disatisfaction”. Yang kurang lebih memiliki arti : bahwa kualitas layanan mengacu pada kualitas yang diharapkan dalam penawaran jasa. Kualitas ditentukan dalam kepuasan atau ketidak puasan konsumen.
Sedangkan Menurut Mangold & Babakus (1991 : 60) “Service quality is the outcome of a process in which consumers’ expectations for the service are compared with their perceptions of the service actually delivered” Yang kurang lebih memiliki arti : kualitas layanan adalah hasil dari proses di mana ekspetasi konsumen dalam menggunakan jasa dibandingkan dengan penyampaian jasa yang sesungguhnya.
Karakteristik Kualitas Layanan
Menurut Zeithaml et al (1990) terdapat 3 karakteristik kualitas layanan yaitu intangible (tidak dapat diraba atau dinyatakan), heterogeneous (beraneka ragam) dan indivisible (tidak dapat dibagi) atau inseparability (tidak dapat dipisahkan).
a. Intangible
Kualitas layanan bersifat intangible yaitu tidak dapat diraba karena kualitas layanan adalah hasil bukan suatu produk. Menurut Schneider & White (2004, p.6)
kualitas layanan tidak dapat dilihat, disentuh, atau disimpan,dengan kata lain kualiats layanan tidak mempunyai manifestasi fisik. Kualitas layanan dapat diproses melalui pengalaman. “Services yield psychological experiences more than they yield physical possesions.” (Schneider & Bowen, 1995, p.19) Yang artinya bahwa layanan lebih menghasilkan pengalaman psikologi daripada menghasilkan posesi psikologi.
b. Heterogeneous
Kualitas layanan bersifat heterogeneous yaitu beraneka ragam karena hasil tergantung dari perbuatan yang dijalankan oleh individual yang terlibat, dari produsen ke konsumen yang mungkin tidak mempunyai ekspektasi yang sama (Zeithaml et al, 1990). Menurut Schneider & White (2004, p.8) heterogeneity dapat menyebabkan layanan lebih sulit untuk diukur dan dalam melakukan kontrol kualitas untuk menjamin kualitas layanan mempunyai standar yang seragam.
c. Indivisible atau Inseparability
Kualitas layanan bersifat indivisible atau inseparability karena proses produksi dan konsumsi terjadi secara serempak. Schneider & White (2004, p.7) menyatakan bahwa fitur yang terpenting dari inseparability dari layanan adalah perusahaan harus berjuang untuk memastikan bahwa ketika layanan sedang diproduksi produsen harus mengetahui jumlah maksimal dari konsumen yang akan memakai layanan tersebut.
Hal ini dikarenakan ada beberapa layanan yang dalam satu waktu layanan yang tidak terpakai tidak bisa disimpan atau dipergunakan dalam kesempatan lain.
Kualitas Layanan Internal [Internal Service Quality]
Pengertian Kualitas Layanan Internal [Internal Service Quality]
Cheng (2001) mengungkapkan bahwa dalam dunia hospitality yang terpenting adalah bagaimana karyawan diperlakukan dalam perusahaannya. Tidak hanya diukur dari gaji yang diberikan namun juga dari lingkungan dan kondisi tempat bekerja
Menurut Reynoso & Moores (1995) Kualitas Layanan Internal [Internal Service Quality]: Employees must receive good service from others within the organization in
order to deliver good service to external costumers. yang kurang lebih memiliki arti bahwa karyawan harus menerima layanan yang baik dari kolega-kolega di perusahaan agar dapat menyampaikan layanan yang baik ke konsumen eksternal.
Heskett et al (1994) mengartikan kualitas layanan internal sebagai kualitas dari lingkungan kerja yang memberikan kontribusi terhadap kepuasan karyawan.
Menurut Heskett et al (1994), kunci penting dari perusahaan-perusahaan yang sukses yaitu kesetiaan konsumen dan kepuasan karyawan. Dengan meningkatnya kesetiaan konsumen dan kepuasan karyawan maka akan menghasilkan profit. Heskett mengemukakan 5 kunci penting yaitu :
1. Profit dan perkembangan perusahaan tergantung dari kesetiaan konsumen.
2. Kesetiaan adalah hasil langsung dari kepuasan konsumen.
3. Kepuasan konsumen sebagian besar dipengaruhi oleh nilai dari jasa-jasa yang diberikan ke konsumen.
4. Nilai dari jasa-jasa tersebut dihasilkan dari kepuasan, kesetiaan dan produktivitas karyawan.
5. Kepuasan, kesetiaan dan produktivitas karyawan adalah hasil dari layanan internal dari perusahaan
Wednesday, July 21, 2010
Tuesday, April 27, 2010
Manajemen Konflik : Definisi, Ciri, Sumber, Dampak dan Strategi Mengatasi Konflik
Definisi Konflik :
Menurut Nardjana (1994) Konflik adalah akibat situasi dimana keinginan atau kehendak yang berbeda atau berlawanan antara satu dengan yang lain, sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu.
Menurut Killman dan Thomas (1978), konflik merupakan kondisi terjadinya ketidakcocokan antar nilai atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai, baik yang ada dalam diri individu maupun dalam hubungannya dengan orang lain. Kondisi yang telah dikemukakan tersebut dapat mengganggu bahkan menghambat tercapainya emosi atau stres yang mempengaruhi efisiensi dan produktivitas kerja (Wijono,1993, p.4)
Menurut Wood, Walace, Zeffane, Schermerhorn, Hunt, dan Osborn (1998:580) yang dimaksud dengan konflik (dalam ruang lingkup organisasi) adalah: Conflict
is a situation which two or more people disagree over issues of organisational substance and/or experience some emotional antagonism with one another.
yang kurang lebih memiliki arti bahwa konflik adalah suatu situasi dimana dua atau banyak orang saling tidak setuju terhadap suatu permasalahan yang menyangkut kepentingan organisasi dan/atau dengan timbulnya perasaan permusuhan satu dengan yang lainnya.
Menurut Stoner Konflik organisasi adalah mencakup ketidaksepakatan soal alokasi sumberdaya yang langka atau peselisihan soal tujuan, status, nilai, persepsi, atau kepribadian. (Wahyudi, 2006:17)
Daniel Webster mendefinisikan konflik sebagai:
1. Persaingan atau pertentangan antara pihak-pihak yang tidak cocok satu sama lain.
2. Keadaan atau perilaku yang bertentangan (Pickering, 2001).
Ciri-Ciri Konflik :
Menurut Wijono( 1993 : 37) Ciri-ciri Konflik adalah :
1. Setidak-tidaknya ada dua pihak secara perseorangan maupun kelompok yang terlibat dalam suatu interaksi yang saling bertentangan.
2. Paling tidak timbul pertentangan antara dua pihak secara perseorangan maupun kelompok dalam mencapai tujuan, memainkan peran dan ambigius atau adanya nilai-nilai atau norma yang saling berlawanan.
3. Munculnya interaksi yang seringkali ditandai oleh gejala-gejala perilaku yang direncanakan untuk saling meniadakan, mengurangi, dan menekan terhadap pihak lain agar dapat memperoleh keuntungan seperti: status, jabatan, tanggung jawab, pemenuhan berbagai macam kebutuhan fisik: sandang- pangan, materi dan kesejahteraan atau tunjangan-tunjangan tertentu: mobil, rumah, bonus, atau pemenuhan kebutuhan sosio-psikologis seperti: rasa aman, kepercayaan diri, kasih, penghargaan dan aktualisasi diri.
4. Munculnya tindakan yang saling berhadap-hadapan sebagai akibat pertentangan yang berlarut-larut.
5. Munculnya ketidakseimbangan akibat dari usaha masing-masing pihak yang terkait dengan kedudukan, status sosial, pangkat, golongan, kewibawaan, kekuasaan, harga diri, prestise dan sebagainya.
Tahapan-Tahapan Perkembangan kearah terjadinya Konflik :
1. Konflik masih tersembunyi (laten)
Berbagai macam kondisi emosional yang dirasakan sebagai hal yang biasa dan tidak dipersoalkan sebagai hal yang mengganggu dirinya.
2. Konflik yang mendahului (antecedent condition)
Tahap perubahan dari apa yang dirasakan secara tersembunyi yang belum mengganggu dirinya, kelompok atau organisasi secara keseluruhan, seperti timbulnya tujuan dan nilai yang berbeda, perbedaan peran dan sebagainya.
3. Konflik yang dapat diamati (perceived conflicts) dan konflik yang dapat dirasakan (felt conflict)
Muncul sebagai akibat antecedent condition yang tidak terselesaikan.
4. Konflik terlihat secara terwujud dalam perilaku (manifest behavior)
Upaya untuk mengantisipasi timbulnya konflik dan sebab serta akibat yang ditimbulkannya; individu, kelompok atau organisasi cenderung melakukan berbagai mekanisme pertahanan diri melalui perilaku.
5. Penyelesaian atau tekanan konflik
Pada tahap ini, ada dua tindakan yang perlu diambil terhadap suatu konflik, yaitu penyelesaian konflik dengan berbagai strategi atau sebaliknya malah ditekan.
6. Akibat penyelesaian konflik
Jika konflik diselesaikan dengan efektif dengan strategi yang tepat maka dapat memberikan kepuasan dan dampak positif bagi semua pihak. Sebaliknya bila tidak, maka bisa berdampak negatif terhadap kedua belah pihak sehingga mempengaruhi produkivitas kerja.(Wijono, 1993, 38-41).
Sumber-Sumber Konflik :
1. Konflik Dalam Diri Individu (Intraindividual Conflict)
A. Konflik yang berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai (goal conflict)
Menurut Wijono (1993, pp.7-15), ada tiga jenis konflik yang berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai (goal conflict), yaitu:
1) Approach-approach conflict, dimana orang didorong untuk melakukan pendekatan positif terhadap dua persoalan atau lebih, tetapi tujuan-tujuan yang dicapai saling terpisah satu sama lain.
2) Approach-Avoidance Conflict, dimana orang didorong untuk melakukan pendekatan terhadap persoalan-persoalan yang mengacu pada satu tujuandan pada waktu yang sama didorong untuk melakukan terhadap persoalan-persoalan tersebut dan tujuannya dapat mengandung nilai positif dan negatif bagi orang yang mengalami konflik tersebut.
3) Avoidance-Avoidance Conflict, dimana orang didorong untuk menghindari dua atau lebih hal yang negatif tetapi tujuan-tujuan yang dicapai saling terpisah satu sama lain.
Dalam hal ini, approach-approach conflict merupakan jenis konflik yang mempunyai resiko paling kecil dan mudah diatasi, serta akibatnya tidak begitu fatal.
B. Konflik yang berkaitan dengan peran dan ambigius
Di dalam organisasi, konflik seringkali terjadi karena adanya perbedaan peran dan ambigius dalam tugas dan tanggung jawab terhadap sikap-sikap, nilai-nilai dan harapan-harapan yang telah ditetapkan dalam suatu organisasi.
Filley and House memberikan kesimpulan atas hasil penyelidikan kepustakaan mengenai konflik peran dalam organisasi, yang dicatat melalui indikasi-indikasi yang dipengaruhi oleh empat variabel pokok yaitu :
1) Mempunyai kesadaran akan terjadinya konflik peran.
2) Menerima kondisi dan situasi bila muncul konflik yang bisa membuat tekanan-tekanan dalam pekerjaan.
3) Memiliki kemampuan untuk mentolelir stres.
4) Memperkuat sikap/sifat pribadi lebih tahan dalam menghadapi konflik yang muncul dalam organisasi (Wijono, 1993, p.15).
Stevenin (2000, pp.132-133), ada beberapa faktor yang mendasari munculnya konflik antar pribadi dalam organisasi misalnya adanya:
1. Pemecahan masalah secara sederhana. Fokusnya tertuju pada penyelesaian masalah dan orang-orangnya tidak mendapatkan perhatian utama.
2. Penyesuaian/kompromi. Kedua pihak bersedia saling memberi dan menerima, namun tidak selalu langsung tertuju pada masalah yang sebenarnya.
Waspadailah masalah emosi yang tidak pernah disampaikan kepada manajer. Kadang-kadang kedua pihak tetap tidak puas.
3. Tidak sepakat. Tingkat konflik ini ditandai dengan pendapat yang diperdebatkan. Mengambil sikap menjaga jarak. Sebagai manajer, manajer perlu memanfaatkan dan menunjukkan aspek-aspek yang sehat dari ketidaksepakatan tanpa membiarkan adanya perpecahan dalam kelompok.
4. Kalah/menang. Ini adalah ketidaksepakatan yang disertai sikap bersaing yang amat kuat. Pada tingkat ini, sering kali pendapat dan gagasan orang lain kurang dihargai. Sebagian di antaranya akan melakukan berbagai macam cara untuk memenangkan pertarungan.
5. Pertarungan/penerbangan. Ini adalah konflik “penembak misterius”. Orang-orang yang terlibat di dalamnya saling menembak dari jarak dekat kemudian mundur untuk menyelamatkan diri. Bila amarah meledak, emosi pun menguasai akal sehat. Orang-orang saling berselisih.
6. Keras kepala. Ini adalah mentalitas “dengan caraku atau tidak sama sekali”.
Satu-satunya kasih karunia yang menyelamatkan dalam konflik ini adalah karena biasanya hal ini tetap mengacu pada pemikiran yang logis. Meskipun demikian, tidak ada kompromi sehingga tidak ada penyelesaian.
7. Penyangkalan. Ini adalah salah satu jenis konflik yang paling sulit diatasi karena tidak ada komunikasi secara terbuka dan terus-terang. Konflik hanya dipendam. Konflik yang tidak bisa diungkapkan adalah konflik yang tidak bisa diselesaikan.
Dampak Konflik
Konflik dapat berdampak positif dan negatif yang rinciannya adalah sebagai berikut :
1. Dampak Positif Konflik
Menurut Wijono (1993:3), bila upaya penanganan dan pengelolaan konflik karyawan dilakukan secara efisien dan efektif maka dampak positif akan muncul melalui perilaku yang dinampakkan oleh karyawan sebagai sumber daya manusia potensial dengan berbagai akibat seperti:
1. Meningkatnya ketertiban dan kedisiplinan dalam menggunakan waktu bekerja, seperti hampir tidak pernah ada karyawan yang absen tanpa alasan yang jelas, masuk dan pulang kerja tepat pada waktunya, pada waktu jam kerja setiap karyawan menggunakan waktu secara efektif, hasil kerja meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya.
2. Meningkatnya hubungan kerjasama yang produktif. Hal ini terlihat dari cara pembagian tugas dan tanggung jawab sesuai dengan analisis pekerjaan masing-masing.
3. Meningkatnya motivasi kerja untuk melakukan kompetisi secara sehat antar pribadi maupun antar kelompok dalam organisasi, seperti terlihat dalam upaya peningkatan prestasi kerja, tanggung jawab, dedikasi, loyalitas, kejujuran, inisiatif dan kreativitas.
4. Semakin berkurangnya tekanan-tekanan, intrik-intrik yang dapat membuat stress bahkan produktivitas kerja semakin meningkat. Hal ini karena karyawan memperoleh perasaan-perasaan aman, kepercayaan diri, penghargaan dalam keberhasilan kerjanya atau bahkan bisa mengembangkan karier dan potensi dirinya secara optimal.
5. Banyaknya karyawan yang dapat mengembangkan kariernya sesuai dengan potensinya melalui pelayanan pendidikan (education), pelatihan (training) dan konseling (counseling) dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Semua ini bisa menjadikan tujuan organisasi tercapai dan produktivitas kerja meningkat akhirnya kesejahteraan karyawan terjamin.
2. Dampak Negatif Konflik
Dampak negatif konflik (Wijono, 1993, p.2), sesungguhnya disebabkan oleh kurang efektif dalam pengelolaannya yaitu ada kecenderungan untuk membiarkan konflik tumbuh subur dan menghindari terjadinya konflik. Akibatnya muncul keadaan-keadaan sebagai berikut:
1. Meningkatkan jumlah absensi karyawan dan seringnya karyawan mangkir pada waktu jam-jam kerja berlangsung seperti misalnya ngobrol berjam-jam sambil mendengarkan sandiwara radio, berjalan mondar-mandir menyibukkan diri, tidur selama pimpinan tidak ada di tempat, pulang lebih awal atau datang terlambat dengan berbagai alasan yang tak jelas.
2. Banyak karyawan yang mengeluh karena sikap atau perilaku teman kerjanya yang dirasakan kurang adil dalam membagi tugas dan tanggung jawab.
Seringnya terjadi perselisihan antar karyawan yang bisa memancing kemarahan, ketersinggungan yang akhirnya dapat mempengaruhi pekerjaan, kondisi psikis dan keluarganya.
3. Banyak karyawan yang sakit-sakitan, sulit untuk konsentrasi dalam pekerjaannya, muncul perasaan-perasaan kurang aman, merasa tertolak oleh teman ataupun atasan, merasa tidak dihargai hasil pekerjaannya, timbul stres yang berkepanjangan yang bisa berakibat sakit tekanan darah tinggi, maag ataupun yang lainnya.
4. Seringnya karyawan melakukan mekanisme pertahanan diri bila memperoleh teguran dari atasan, misalnya mengadakan sabotase terhadap jalannya produksi, dengan cara merusak mesin-mesin atau peralatan kerja, mengadakan provokasi terhadap rekan kerja, membuat intrik-intrik yang merugikan orang lain.
5. Meningkatnya kecenderungan karyawan yang keluar masuk dan ini disebut labor turn-over. Kondisi semacam ini bisa menghambat kelancaran dan kestabilan organisasi secara menyeluruh karena produksi bisa macet, kehilangan karyawan potensial, waktu tersita hanya untuk kegiatan seleksi dan memberikan latihan dan dapat muncul pemborosan dalam cost benefit.
Konflik yang tidak terselesaikan dapat merusak lingkungan kerja sekaligus orang-orang di dalamnya, oleh karena itu konflik harus mendapat perhatian. Jika tidak, maka seorang manajer akan terjebak pada hal-hal seperti:
1. Kehilangan karyawan yang berharga dan memiliki keahlian teknis. Dapat saja mereka mengundurkan diri. Manajer harus menugaskan mereka kembali, dan contoh yang paling buruk adalah karena mungkin Manajer harus memecat mereka.
2. Menahan atau mengubah informasi yang diperlukan rekan-rekan sekerja yang lurus hati agar tetap dapat mencapai prestasi.
3. Keputusan yang lebih buruk yang diambil oleh perseorangan atau tim karena mereka sibuk memusatkan perhatian pada orangnya, bukan pada masalahnya.
4. Kemungkinan sabotase terhadap pekerjaan atau peralatan. Seringkali dimaklumi sebagai faktor “kecelakaan” atau “lupa”. Namun, dapat membuat pengeluaran yang diakibatkan tak terhitung banyaknya.
5. Sabotase terhadap hubungan pribadi dan reputasi anggota tim melalui gosip dan kabar burung. Segera setelah orang tidak memusatkan perhatian pada tujuan perubahan, tetapi pada masalah emosi dan pribadi, maka perhatian mereka akan terus terpusatkan ke sana.
6. Menurunkan moral, semangat, dan motivasi kerja. Seorang karyawan yang jengkel dan merasa ada yang berbuat salah kepadanya tidak lama kemudian dapat meracuni seluruh anggota tim. Bila semangat sudah berkurang, manajer akan sulit sekali mengobarkannya kembali.
7. Masalah yang berkaitan dengan stres. Ada bermacam-macam, mulai dari efisiensi yang berkurang sampai kebiasaan membolos kerja. (Stevenin,2000 : 131-132).
Strategi Mengatasi Konflik
Menurut Stevenin (2000, pp.134-135), terdapat lima langkah meraih kedamaian dalam konflik. Apa pun sumber masalahnya, lima langkah berikut ini bersifat mendasar dalam mengatasi kesulitan:
1. Pengenalan
Kesenjangan antara keadaan yang ada diidentifikasi dan bagaimana keadaan yang seharusnya. Satu-satunya yang menjadi perangkap adalah kesalahan dalam mendeteksi (tidak mempedulikan masalah atau menganggap ada masalah padahal sebenarnya tidak ada).
2. Diagnosis
Inilah langkah yang terpenting. Metode yang benar dan telah diuji mengenai siapa, apa, mengapa, dimana, dan bagaimana berhasil dengan sempurna. Pusatkan perhatian pada masalah utama dan bukan pada hal-hal sepele.
3. Menyepakati suatu solusi
Kumpulkanlah masukan mengenai jalan keluar yang memungkinkan dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Saringlah penyelesaian yang tidak dapat diterapkan atau tidak praktis. Jangan sekali-kali menyelesaikan dengan cara yang tidak terlalu baik. Carilah yang terbaik.
4. Pelaksanaan
Ingatlah bahwa akan selalu ada keuntungan dan kerugian. Hati-hati, jangan biarkan pertimbangan ini terlalu mempengaruhi pilihan dan arah kelompok.
5. Evaluasi
Penyelesaian itu sendiri dapat melahirkan serangkaian masalah baru. Jika penyelesaiannya tampak tidak berhasil, kembalilah ke langkah-langkah sebelumnya dan cobalah lagi.
Stevenin (1993 : 139-141) juga memaparkan bahwa ketika mengalami konflik, ada hal-hal yang tidak boleh dilakukan di tengah-tengah konflik, yaitu:
1. Jangan hanyut dalam perebutan kekuasaan dengan orang lain. Ada pepatah dalam masyarakat yang tidak dapat dipungkiri, bunyinya: bila wewenang bertambah maka kekuasaan pun berkurang, demikian pula sebaiknya.
2. Jangan terlalu terpisah dari konflik. Dinamika dan hasil konflik dapat ditangani secara paling baik dari dalam, tanpa melibatkan pihak ketiga.
3. Jangan biarkan visi dibangun oleh konflik yang ada. Jagalah cara pandang dengan berkonsentrasi pada masalah-masalah penting. Masalah yang paling mendesak belum tentu merupakan kesempatan yang terbesar.
Menurut Wijono (1993 : 42-125) strategi mengatasi konflik, yaitu:
1. Strategi Mengatasi Konflik Dalam Diri Individu (Intraindividual Conflict)
Menurut Wijono (1993 : 42-66), untuk mengatasi konflik dalam diri individu diperlukan paling tidak tujuh strategi yaitu:
1) Menciptakan kontak dan membina hubungan
2) Menumbuhkan rasa percaya dan penerimaan
3) Menumbuhkan kemampuan /kekuatan diri sendiri
4) Menentukan tujuan
5) Mencari beberapa alternatif
6) Memilih alternatif
7) Merencanakan pelaksanaan jalan keluar
2. Strategi Mengatasi Konflik Antar Pribadi (Interpersonal Conflict)
Menurut Wijono (1993 : 66-112), untuk mengatasi konflik dalam diri individu diperlukan paling tidak tiga strategi yaitu:
1) Strategi Kalah-Kalah (Lose-Lose Strategy)
Beorientasi pada dua individu atau kelompok yang sama-sama kalah. Biasanya individu atau kelompok yang bertikai mengambil jalan tengah (berkompromi) atau membayar sekelompok orang yang terlibat dalam konflik atau menggunakan jasa orang atau kelompok ketiga sebagai penengah.
Dalam strategi kalah-kalah, konflik bisa diselesaikan dengan cara melibatkan pihak ketiga bila perundingan mengalami jalan buntu. Maka pihak ketiga diundang untuk campur tangan oleh pihak-pihak yang berselisih atau barangkali bertindak atas kemauannya sendiri. Ada dua tipe utama dalam campur tangan pihak ketiga yaitu:
a. Arbitrasi (Arbitration)
Arbitrasi merupakan prosedur di mana pihak ketiga mendengarkan kedua belah pihak yang berselisih, pihak ketiga bertindak sebagai hakim dan penengah dalam menentukan penyelesaian konflik melalui suatu perjanjian yang mengikat.
b. Mediasi (Mediation)
Mediasi dipergunakan oleh Mediator untuk menyelesaikan konflik tidak seperti yang diselesaikan oleh abriator, karena seorang mediator tidak mempunyai wewenang secara langsung terhadap pihak-pihak yang bertikai dan rekomendasi yang diberikan tidak mengikat.
2) Strategi Menang-Kalah (Win-Lose Strategy)
Dalam strategi saya menang anda kalah (win lose strategy), menekankan adanya salah satu pihak yang sedang konflik mengalami kekalahan tetapi yang lain memperoleh kemenangan.
Beberapa cara yang digunakan untuk menyelesaikan konflik
dengan win-lose strategy (Wijono, 1993 : 44), dapat melalui:
a. Penarikan diri, yaitu proses penyelesaian konflik antara dua atau lebih pihak yang kurang puas sebagai akibat dari ketergantungan tugas (task independence).
b. Taktik-taktik penghalusan dan damai, yaitu dengan melakukan tindakan perdamaian dengan pihak lawan untuk menghindari terjadinya konfrontasi terhadap perbedaan dan kekaburan dalam batas-batas bidang kerja (jurisdictioanal ambiquity).
c. Bujukan, yaitu dengan membujuk pihak lain untuk mengubah posisinya untuk mempertimbangkan informasi-informasi faktual yang relevan dengan konflik, karena adanya rintangan komunikasi (communication barriers).
d. Taktik paksaan dan penekanan, yaitu menggunakan kekuasaan formal dengan menunjukkan kekuatan (power) melalui sikap otoriter karena dipengaruhi oleh sifat-sifat individu (individual traits).
e. Taktik-taktik yang berorientasi pada tawar-menawar dan pertukaran persetujuan sehingga tercapai suatu kompromi yang dapat diterima oleh dua belah pihak, untuk menyelesaikan konflik yang berkaitan dengan persaingan terhadap sumber-sumber (competition for resources) secara optimal bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
3) Strategi Menang-Menang (Win-Win Strategy)
Penyelesaian yang dipandang manusiawi, karena menggunakan segala pengetahuan, sikap dan keterampilan menciptakan relasi komunikasi dan interaksi yang dapat membuat pihak-pihak yang terlibat saling merasa aman dari ancaman, merasa dihargai, menciptakan suasana kondusif dan memperoleh kesempatan untuk mengembangkan potensi masing-masing dalam upaya penyelesaian konflik. Jadi strategi ini menolong memecahkan masalah pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, bukan hanya sekedar memojokkan orang.
Strategi menang-menang jarang dipergunakan dalam organisasi dan industri, tetapi ada 2 cara didalam strategi ini yang dapat dipergunakan sebagai alternatif pemecahan konflik interpersonal yaitu:
a. Pemecahan masalah terpadu (Integrative Problema Solving) Usaha untuk menyelesaikan secara mufakat atau memadukan kebutuhan-kebutuhan kedua belah pihak.
b. Konsultasi proses antar pihak (Inter-Party Process Consultation) Dalam penyelesaian melalui konsultasi proses, biasanya ditangani oleh konsultan proses, dimana keduanya tidak mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan konflik dengan kekuasaan atau menghakimi
salah satu atau kedua belah pihak yang terlibat konflik
3. Strategi Mengatasi Konflik Organisasi (Organizational Conflict)
Menurut Wijono (1993, pp.113-125), ada beberapa strategi yang bisa dipakai untuk mengantisipasi terjadinya konflik organisasi diantaranya adalah:
1) Pendekatan Birokratis (Bureaucratic Approach)
Konflik muncul karena adanya hubungan birokratis yang terjadi secara vertikal dan untuk menghadapi konflik vertikal model ini, manajer cenderung menggunakan struktur hirarki (hierarchical structure) dalam hubungannya secara otokritas. Konflik terjadi karena pimpinan berupaya mengontrol segala aktivitas dan tindakan yang dilakukan oleh bawahannya. Strategi untuk pemecahan masalah konflik seperti ini biasanya dipergunakan sebagai pengganti dari peraturan-peraturan birokratis untuk mengontrol pribadi bawahannya. Pendekatan birokratis (Bureaucratic Approach) dalam organisasi bertujuan mengantisipasi konflik vertikal (hirarkie) didekati dengan cara menggunakan hirarki
struktural (structural hierarchical).
2) Pendekatan Intervensi Otoritatif Dalam Konflik Lateral (Authoritative Intervention in Lateral Conflict)
Bila terjadi konflik lateral, biasanya akan diselesaikan sendiri oleh pihak-pihak yang terlibat konflik. Kemudian jika konflik tersebut ternyata tidak dapat diselesaikan secara konstruktif, biasanya manajer langsung melakukan intervensi secara otoratif kedua belah pihak.
3) Pendekatan Sistem (System Approach)
Model pendekatan perundingan menekankan pada masalah-masalah kompetisi dan model pendekatan birokrasi menekankan pada kesulitan-kesulitan dalam kontrol, maka pendekatan sistem (system Approach) adalah mengkoordinasikan masalah-masalah konflik yang muncul.
Pendekatan ini menekankan pada hubungan lateral dan horizontal antara fungsi-fungsi pemasaran dengan produksi dalam suatu organisasi.
4) Reorganisasi Struktural (Structural Reorganization)
Cara pendekatan dapat melalui mengubah sistem untuk melihat kemungkinan terjadinya reorganisasi struktural guna meluruskan perbedaan kepentingan dan tujuan yang hendak dicapai kedua belah pihak, seperti membentuk wadah baru dalam organisasi non formal untuk mengatasi konflik yang berlarut-larut sebagai akibat adanya saling ketergantungan tugas (task interdependence) dalam mencapai kepentingan dan tujuan yang berbeda sehingga fungsi organisasi menjadi kabur.
Menurut Nardjana (1994) Konflik adalah akibat situasi dimana keinginan atau kehendak yang berbeda atau berlawanan antara satu dengan yang lain, sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu.
Menurut Killman dan Thomas (1978), konflik merupakan kondisi terjadinya ketidakcocokan antar nilai atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai, baik yang ada dalam diri individu maupun dalam hubungannya dengan orang lain. Kondisi yang telah dikemukakan tersebut dapat mengganggu bahkan menghambat tercapainya emosi atau stres yang mempengaruhi efisiensi dan produktivitas kerja (Wijono,1993, p.4)
Menurut Wood, Walace, Zeffane, Schermerhorn, Hunt, dan Osborn (1998:580) yang dimaksud dengan konflik (dalam ruang lingkup organisasi) adalah: Conflict
is a situation which two or more people disagree over issues of organisational substance and/or experience some emotional antagonism with one another.
yang kurang lebih memiliki arti bahwa konflik adalah suatu situasi dimana dua atau banyak orang saling tidak setuju terhadap suatu permasalahan yang menyangkut kepentingan organisasi dan/atau dengan timbulnya perasaan permusuhan satu dengan yang lainnya.
Menurut Stoner Konflik organisasi adalah mencakup ketidaksepakatan soal alokasi sumberdaya yang langka atau peselisihan soal tujuan, status, nilai, persepsi, atau kepribadian. (Wahyudi, 2006:17)
Daniel Webster mendefinisikan konflik sebagai:
1. Persaingan atau pertentangan antara pihak-pihak yang tidak cocok satu sama lain.
2. Keadaan atau perilaku yang bertentangan (Pickering, 2001).
Ciri-Ciri Konflik :
Menurut Wijono( 1993 : 37) Ciri-ciri Konflik adalah :
1. Setidak-tidaknya ada dua pihak secara perseorangan maupun kelompok yang terlibat dalam suatu interaksi yang saling bertentangan.
2. Paling tidak timbul pertentangan antara dua pihak secara perseorangan maupun kelompok dalam mencapai tujuan, memainkan peran dan ambigius atau adanya nilai-nilai atau norma yang saling berlawanan.
3. Munculnya interaksi yang seringkali ditandai oleh gejala-gejala perilaku yang direncanakan untuk saling meniadakan, mengurangi, dan menekan terhadap pihak lain agar dapat memperoleh keuntungan seperti: status, jabatan, tanggung jawab, pemenuhan berbagai macam kebutuhan fisik: sandang- pangan, materi dan kesejahteraan atau tunjangan-tunjangan tertentu: mobil, rumah, bonus, atau pemenuhan kebutuhan sosio-psikologis seperti: rasa aman, kepercayaan diri, kasih, penghargaan dan aktualisasi diri.
4. Munculnya tindakan yang saling berhadap-hadapan sebagai akibat pertentangan yang berlarut-larut.
5. Munculnya ketidakseimbangan akibat dari usaha masing-masing pihak yang terkait dengan kedudukan, status sosial, pangkat, golongan, kewibawaan, kekuasaan, harga diri, prestise dan sebagainya.
Tahapan-Tahapan Perkembangan kearah terjadinya Konflik :
1. Konflik masih tersembunyi (laten)
Berbagai macam kondisi emosional yang dirasakan sebagai hal yang biasa dan tidak dipersoalkan sebagai hal yang mengganggu dirinya.
2. Konflik yang mendahului (antecedent condition)
Tahap perubahan dari apa yang dirasakan secara tersembunyi yang belum mengganggu dirinya, kelompok atau organisasi secara keseluruhan, seperti timbulnya tujuan dan nilai yang berbeda, perbedaan peran dan sebagainya.
3. Konflik yang dapat diamati (perceived conflicts) dan konflik yang dapat dirasakan (felt conflict)
Muncul sebagai akibat antecedent condition yang tidak terselesaikan.
4. Konflik terlihat secara terwujud dalam perilaku (manifest behavior)
Upaya untuk mengantisipasi timbulnya konflik dan sebab serta akibat yang ditimbulkannya; individu, kelompok atau organisasi cenderung melakukan berbagai mekanisme pertahanan diri melalui perilaku.
5. Penyelesaian atau tekanan konflik
Pada tahap ini, ada dua tindakan yang perlu diambil terhadap suatu konflik, yaitu penyelesaian konflik dengan berbagai strategi atau sebaliknya malah ditekan.
6. Akibat penyelesaian konflik
Jika konflik diselesaikan dengan efektif dengan strategi yang tepat maka dapat memberikan kepuasan dan dampak positif bagi semua pihak. Sebaliknya bila tidak, maka bisa berdampak negatif terhadap kedua belah pihak sehingga mempengaruhi produkivitas kerja.(Wijono, 1993, 38-41).
Sumber-Sumber Konflik :
1. Konflik Dalam Diri Individu (Intraindividual Conflict)
A. Konflik yang berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai (goal conflict)
Menurut Wijono (1993, pp.7-15), ada tiga jenis konflik yang berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai (goal conflict), yaitu:
1) Approach-approach conflict, dimana orang didorong untuk melakukan pendekatan positif terhadap dua persoalan atau lebih, tetapi tujuan-tujuan yang dicapai saling terpisah satu sama lain.
2) Approach-Avoidance Conflict, dimana orang didorong untuk melakukan pendekatan terhadap persoalan-persoalan yang mengacu pada satu tujuandan pada waktu yang sama didorong untuk melakukan terhadap persoalan-persoalan tersebut dan tujuannya dapat mengandung nilai positif dan negatif bagi orang yang mengalami konflik tersebut.
3) Avoidance-Avoidance Conflict, dimana orang didorong untuk menghindari dua atau lebih hal yang negatif tetapi tujuan-tujuan yang dicapai saling terpisah satu sama lain.
Dalam hal ini, approach-approach conflict merupakan jenis konflik yang mempunyai resiko paling kecil dan mudah diatasi, serta akibatnya tidak begitu fatal.
B. Konflik yang berkaitan dengan peran dan ambigius
Di dalam organisasi, konflik seringkali terjadi karena adanya perbedaan peran dan ambigius dalam tugas dan tanggung jawab terhadap sikap-sikap, nilai-nilai dan harapan-harapan yang telah ditetapkan dalam suatu organisasi.
Filley and House memberikan kesimpulan atas hasil penyelidikan kepustakaan mengenai konflik peran dalam organisasi, yang dicatat melalui indikasi-indikasi yang dipengaruhi oleh empat variabel pokok yaitu :
1) Mempunyai kesadaran akan terjadinya konflik peran.
2) Menerima kondisi dan situasi bila muncul konflik yang bisa membuat tekanan-tekanan dalam pekerjaan.
3) Memiliki kemampuan untuk mentolelir stres.
4) Memperkuat sikap/sifat pribadi lebih tahan dalam menghadapi konflik yang muncul dalam organisasi (Wijono, 1993, p.15).
Stevenin (2000, pp.132-133), ada beberapa faktor yang mendasari munculnya konflik antar pribadi dalam organisasi misalnya adanya:
1. Pemecahan masalah secara sederhana. Fokusnya tertuju pada penyelesaian masalah dan orang-orangnya tidak mendapatkan perhatian utama.
2. Penyesuaian/kompromi. Kedua pihak bersedia saling memberi dan menerima, namun tidak selalu langsung tertuju pada masalah yang sebenarnya.
Waspadailah masalah emosi yang tidak pernah disampaikan kepada manajer. Kadang-kadang kedua pihak tetap tidak puas.
3. Tidak sepakat. Tingkat konflik ini ditandai dengan pendapat yang diperdebatkan. Mengambil sikap menjaga jarak. Sebagai manajer, manajer perlu memanfaatkan dan menunjukkan aspek-aspek yang sehat dari ketidaksepakatan tanpa membiarkan adanya perpecahan dalam kelompok.
4. Kalah/menang. Ini adalah ketidaksepakatan yang disertai sikap bersaing yang amat kuat. Pada tingkat ini, sering kali pendapat dan gagasan orang lain kurang dihargai. Sebagian di antaranya akan melakukan berbagai macam cara untuk memenangkan pertarungan.
5. Pertarungan/penerbangan. Ini adalah konflik “penembak misterius”. Orang-orang yang terlibat di dalamnya saling menembak dari jarak dekat kemudian mundur untuk menyelamatkan diri. Bila amarah meledak, emosi pun menguasai akal sehat. Orang-orang saling berselisih.
6. Keras kepala. Ini adalah mentalitas “dengan caraku atau tidak sama sekali”.
Satu-satunya kasih karunia yang menyelamatkan dalam konflik ini adalah karena biasanya hal ini tetap mengacu pada pemikiran yang logis. Meskipun demikian, tidak ada kompromi sehingga tidak ada penyelesaian.
7. Penyangkalan. Ini adalah salah satu jenis konflik yang paling sulit diatasi karena tidak ada komunikasi secara terbuka dan terus-terang. Konflik hanya dipendam. Konflik yang tidak bisa diungkapkan adalah konflik yang tidak bisa diselesaikan.
Dampak Konflik
Konflik dapat berdampak positif dan negatif yang rinciannya adalah sebagai berikut :
1. Dampak Positif Konflik
Menurut Wijono (1993:3), bila upaya penanganan dan pengelolaan konflik karyawan dilakukan secara efisien dan efektif maka dampak positif akan muncul melalui perilaku yang dinampakkan oleh karyawan sebagai sumber daya manusia potensial dengan berbagai akibat seperti:
1. Meningkatnya ketertiban dan kedisiplinan dalam menggunakan waktu bekerja, seperti hampir tidak pernah ada karyawan yang absen tanpa alasan yang jelas, masuk dan pulang kerja tepat pada waktunya, pada waktu jam kerja setiap karyawan menggunakan waktu secara efektif, hasil kerja meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya.
2. Meningkatnya hubungan kerjasama yang produktif. Hal ini terlihat dari cara pembagian tugas dan tanggung jawab sesuai dengan analisis pekerjaan masing-masing.
3. Meningkatnya motivasi kerja untuk melakukan kompetisi secara sehat antar pribadi maupun antar kelompok dalam organisasi, seperti terlihat dalam upaya peningkatan prestasi kerja, tanggung jawab, dedikasi, loyalitas, kejujuran, inisiatif dan kreativitas.
4. Semakin berkurangnya tekanan-tekanan, intrik-intrik yang dapat membuat stress bahkan produktivitas kerja semakin meningkat. Hal ini karena karyawan memperoleh perasaan-perasaan aman, kepercayaan diri, penghargaan dalam keberhasilan kerjanya atau bahkan bisa mengembangkan karier dan potensi dirinya secara optimal.
5. Banyaknya karyawan yang dapat mengembangkan kariernya sesuai dengan potensinya melalui pelayanan pendidikan (education), pelatihan (training) dan konseling (counseling) dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Semua ini bisa menjadikan tujuan organisasi tercapai dan produktivitas kerja meningkat akhirnya kesejahteraan karyawan terjamin.
2. Dampak Negatif Konflik
Dampak negatif konflik (Wijono, 1993, p.2), sesungguhnya disebabkan oleh kurang efektif dalam pengelolaannya yaitu ada kecenderungan untuk membiarkan konflik tumbuh subur dan menghindari terjadinya konflik. Akibatnya muncul keadaan-keadaan sebagai berikut:
1. Meningkatkan jumlah absensi karyawan dan seringnya karyawan mangkir pada waktu jam-jam kerja berlangsung seperti misalnya ngobrol berjam-jam sambil mendengarkan sandiwara radio, berjalan mondar-mandir menyibukkan diri, tidur selama pimpinan tidak ada di tempat, pulang lebih awal atau datang terlambat dengan berbagai alasan yang tak jelas.
2. Banyak karyawan yang mengeluh karena sikap atau perilaku teman kerjanya yang dirasakan kurang adil dalam membagi tugas dan tanggung jawab.
Seringnya terjadi perselisihan antar karyawan yang bisa memancing kemarahan, ketersinggungan yang akhirnya dapat mempengaruhi pekerjaan, kondisi psikis dan keluarganya.
3. Banyak karyawan yang sakit-sakitan, sulit untuk konsentrasi dalam pekerjaannya, muncul perasaan-perasaan kurang aman, merasa tertolak oleh teman ataupun atasan, merasa tidak dihargai hasil pekerjaannya, timbul stres yang berkepanjangan yang bisa berakibat sakit tekanan darah tinggi, maag ataupun yang lainnya.
4. Seringnya karyawan melakukan mekanisme pertahanan diri bila memperoleh teguran dari atasan, misalnya mengadakan sabotase terhadap jalannya produksi, dengan cara merusak mesin-mesin atau peralatan kerja, mengadakan provokasi terhadap rekan kerja, membuat intrik-intrik yang merugikan orang lain.
5. Meningkatnya kecenderungan karyawan yang keluar masuk dan ini disebut labor turn-over. Kondisi semacam ini bisa menghambat kelancaran dan kestabilan organisasi secara menyeluruh karena produksi bisa macet, kehilangan karyawan potensial, waktu tersita hanya untuk kegiatan seleksi dan memberikan latihan dan dapat muncul pemborosan dalam cost benefit.
Konflik yang tidak terselesaikan dapat merusak lingkungan kerja sekaligus orang-orang di dalamnya, oleh karena itu konflik harus mendapat perhatian. Jika tidak, maka seorang manajer akan terjebak pada hal-hal seperti:
1. Kehilangan karyawan yang berharga dan memiliki keahlian teknis. Dapat saja mereka mengundurkan diri. Manajer harus menugaskan mereka kembali, dan contoh yang paling buruk adalah karena mungkin Manajer harus memecat mereka.
2. Menahan atau mengubah informasi yang diperlukan rekan-rekan sekerja yang lurus hati agar tetap dapat mencapai prestasi.
3. Keputusan yang lebih buruk yang diambil oleh perseorangan atau tim karena mereka sibuk memusatkan perhatian pada orangnya, bukan pada masalahnya.
4. Kemungkinan sabotase terhadap pekerjaan atau peralatan. Seringkali dimaklumi sebagai faktor “kecelakaan” atau “lupa”. Namun, dapat membuat pengeluaran yang diakibatkan tak terhitung banyaknya.
5. Sabotase terhadap hubungan pribadi dan reputasi anggota tim melalui gosip dan kabar burung. Segera setelah orang tidak memusatkan perhatian pada tujuan perubahan, tetapi pada masalah emosi dan pribadi, maka perhatian mereka akan terus terpusatkan ke sana.
6. Menurunkan moral, semangat, dan motivasi kerja. Seorang karyawan yang jengkel dan merasa ada yang berbuat salah kepadanya tidak lama kemudian dapat meracuni seluruh anggota tim. Bila semangat sudah berkurang, manajer akan sulit sekali mengobarkannya kembali.
7. Masalah yang berkaitan dengan stres. Ada bermacam-macam, mulai dari efisiensi yang berkurang sampai kebiasaan membolos kerja. (Stevenin,2000 : 131-132).
Strategi Mengatasi Konflik
Menurut Stevenin (2000, pp.134-135), terdapat lima langkah meraih kedamaian dalam konflik. Apa pun sumber masalahnya, lima langkah berikut ini bersifat mendasar dalam mengatasi kesulitan:
1. Pengenalan
Kesenjangan antara keadaan yang ada diidentifikasi dan bagaimana keadaan yang seharusnya. Satu-satunya yang menjadi perangkap adalah kesalahan dalam mendeteksi (tidak mempedulikan masalah atau menganggap ada masalah padahal sebenarnya tidak ada).
2. Diagnosis
Inilah langkah yang terpenting. Metode yang benar dan telah diuji mengenai siapa, apa, mengapa, dimana, dan bagaimana berhasil dengan sempurna. Pusatkan perhatian pada masalah utama dan bukan pada hal-hal sepele.
3. Menyepakati suatu solusi
Kumpulkanlah masukan mengenai jalan keluar yang memungkinkan dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Saringlah penyelesaian yang tidak dapat diterapkan atau tidak praktis. Jangan sekali-kali menyelesaikan dengan cara yang tidak terlalu baik. Carilah yang terbaik.
4. Pelaksanaan
Ingatlah bahwa akan selalu ada keuntungan dan kerugian. Hati-hati, jangan biarkan pertimbangan ini terlalu mempengaruhi pilihan dan arah kelompok.
5. Evaluasi
Penyelesaian itu sendiri dapat melahirkan serangkaian masalah baru. Jika penyelesaiannya tampak tidak berhasil, kembalilah ke langkah-langkah sebelumnya dan cobalah lagi.
Stevenin (1993 : 139-141) juga memaparkan bahwa ketika mengalami konflik, ada hal-hal yang tidak boleh dilakukan di tengah-tengah konflik, yaitu:
1. Jangan hanyut dalam perebutan kekuasaan dengan orang lain. Ada pepatah dalam masyarakat yang tidak dapat dipungkiri, bunyinya: bila wewenang bertambah maka kekuasaan pun berkurang, demikian pula sebaiknya.
2. Jangan terlalu terpisah dari konflik. Dinamika dan hasil konflik dapat ditangani secara paling baik dari dalam, tanpa melibatkan pihak ketiga.
3. Jangan biarkan visi dibangun oleh konflik yang ada. Jagalah cara pandang dengan berkonsentrasi pada masalah-masalah penting. Masalah yang paling mendesak belum tentu merupakan kesempatan yang terbesar.
Menurut Wijono (1993 : 42-125) strategi mengatasi konflik, yaitu:
1. Strategi Mengatasi Konflik Dalam Diri Individu (Intraindividual Conflict)
Menurut Wijono (1993 : 42-66), untuk mengatasi konflik dalam diri individu diperlukan paling tidak tujuh strategi yaitu:
1) Menciptakan kontak dan membina hubungan
2) Menumbuhkan rasa percaya dan penerimaan
3) Menumbuhkan kemampuan /kekuatan diri sendiri
4) Menentukan tujuan
5) Mencari beberapa alternatif
6) Memilih alternatif
7) Merencanakan pelaksanaan jalan keluar
2. Strategi Mengatasi Konflik Antar Pribadi (Interpersonal Conflict)
Menurut Wijono (1993 : 66-112), untuk mengatasi konflik dalam diri individu diperlukan paling tidak tiga strategi yaitu:
1) Strategi Kalah-Kalah (Lose-Lose Strategy)
Beorientasi pada dua individu atau kelompok yang sama-sama kalah. Biasanya individu atau kelompok yang bertikai mengambil jalan tengah (berkompromi) atau membayar sekelompok orang yang terlibat dalam konflik atau menggunakan jasa orang atau kelompok ketiga sebagai penengah.
Dalam strategi kalah-kalah, konflik bisa diselesaikan dengan cara melibatkan pihak ketiga bila perundingan mengalami jalan buntu. Maka pihak ketiga diundang untuk campur tangan oleh pihak-pihak yang berselisih atau barangkali bertindak atas kemauannya sendiri. Ada dua tipe utama dalam campur tangan pihak ketiga yaitu:
a. Arbitrasi (Arbitration)
Arbitrasi merupakan prosedur di mana pihak ketiga mendengarkan kedua belah pihak yang berselisih, pihak ketiga bertindak sebagai hakim dan penengah dalam menentukan penyelesaian konflik melalui suatu perjanjian yang mengikat.
b. Mediasi (Mediation)
Mediasi dipergunakan oleh Mediator untuk menyelesaikan konflik tidak seperti yang diselesaikan oleh abriator, karena seorang mediator tidak mempunyai wewenang secara langsung terhadap pihak-pihak yang bertikai dan rekomendasi yang diberikan tidak mengikat.
2) Strategi Menang-Kalah (Win-Lose Strategy)
Dalam strategi saya menang anda kalah (win lose strategy), menekankan adanya salah satu pihak yang sedang konflik mengalami kekalahan tetapi yang lain memperoleh kemenangan.
Beberapa cara yang digunakan untuk menyelesaikan konflik
dengan win-lose strategy (Wijono, 1993 : 44), dapat melalui:
a. Penarikan diri, yaitu proses penyelesaian konflik antara dua atau lebih pihak yang kurang puas sebagai akibat dari ketergantungan tugas (task independence).
b. Taktik-taktik penghalusan dan damai, yaitu dengan melakukan tindakan perdamaian dengan pihak lawan untuk menghindari terjadinya konfrontasi terhadap perbedaan dan kekaburan dalam batas-batas bidang kerja (jurisdictioanal ambiquity).
c. Bujukan, yaitu dengan membujuk pihak lain untuk mengubah posisinya untuk mempertimbangkan informasi-informasi faktual yang relevan dengan konflik, karena adanya rintangan komunikasi (communication barriers).
d. Taktik paksaan dan penekanan, yaitu menggunakan kekuasaan formal dengan menunjukkan kekuatan (power) melalui sikap otoriter karena dipengaruhi oleh sifat-sifat individu (individual traits).
e. Taktik-taktik yang berorientasi pada tawar-menawar dan pertukaran persetujuan sehingga tercapai suatu kompromi yang dapat diterima oleh dua belah pihak, untuk menyelesaikan konflik yang berkaitan dengan persaingan terhadap sumber-sumber (competition for resources) secara optimal bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
3) Strategi Menang-Menang (Win-Win Strategy)
Penyelesaian yang dipandang manusiawi, karena menggunakan segala pengetahuan, sikap dan keterampilan menciptakan relasi komunikasi dan interaksi yang dapat membuat pihak-pihak yang terlibat saling merasa aman dari ancaman, merasa dihargai, menciptakan suasana kondusif dan memperoleh kesempatan untuk mengembangkan potensi masing-masing dalam upaya penyelesaian konflik. Jadi strategi ini menolong memecahkan masalah pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, bukan hanya sekedar memojokkan orang.
Strategi menang-menang jarang dipergunakan dalam organisasi dan industri, tetapi ada 2 cara didalam strategi ini yang dapat dipergunakan sebagai alternatif pemecahan konflik interpersonal yaitu:
a. Pemecahan masalah terpadu (Integrative Problema Solving) Usaha untuk menyelesaikan secara mufakat atau memadukan kebutuhan-kebutuhan kedua belah pihak.
b. Konsultasi proses antar pihak (Inter-Party Process Consultation) Dalam penyelesaian melalui konsultasi proses, biasanya ditangani oleh konsultan proses, dimana keduanya tidak mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan konflik dengan kekuasaan atau menghakimi
salah satu atau kedua belah pihak yang terlibat konflik
3. Strategi Mengatasi Konflik Organisasi (Organizational Conflict)
Menurut Wijono (1993, pp.113-125), ada beberapa strategi yang bisa dipakai untuk mengantisipasi terjadinya konflik organisasi diantaranya adalah:
1) Pendekatan Birokratis (Bureaucratic Approach)
Konflik muncul karena adanya hubungan birokratis yang terjadi secara vertikal dan untuk menghadapi konflik vertikal model ini, manajer cenderung menggunakan struktur hirarki (hierarchical structure) dalam hubungannya secara otokritas. Konflik terjadi karena pimpinan berupaya mengontrol segala aktivitas dan tindakan yang dilakukan oleh bawahannya. Strategi untuk pemecahan masalah konflik seperti ini biasanya dipergunakan sebagai pengganti dari peraturan-peraturan birokratis untuk mengontrol pribadi bawahannya. Pendekatan birokratis (Bureaucratic Approach) dalam organisasi bertujuan mengantisipasi konflik vertikal (hirarkie) didekati dengan cara menggunakan hirarki
struktural (structural hierarchical).
2) Pendekatan Intervensi Otoritatif Dalam Konflik Lateral (Authoritative Intervention in Lateral Conflict)
Bila terjadi konflik lateral, biasanya akan diselesaikan sendiri oleh pihak-pihak yang terlibat konflik. Kemudian jika konflik tersebut ternyata tidak dapat diselesaikan secara konstruktif, biasanya manajer langsung melakukan intervensi secara otoratif kedua belah pihak.
3) Pendekatan Sistem (System Approach)
Model pendekatan perundingan menekankan pada masalah-masalah kompetisi dan model pendekatan birokrasi menekankan pada kesulitan-kesulitan dalam kontrol, maka pendekatan sistem (system Approach) adalah mengkoordinasikan masalah-masalah konflik yang muncul.
Pendekatan ini menekankan pada hubungan lateral dan horizontal antara fungsi-fungsi pemasaran dengan produksi dalam suatu organisasi.
4) Reorganisasi Struktural (Structural Reorganization)
Cara pendekatan dapat melalui mengubah sistem untuk melihat kemungkinan terjadinya reorganisasi struktural guna meluruskan perbedaan kepentingan dan tujuan yang hendak dicapai kedua belah pihak, seperti membentuk wadah baru dalam organisasi non formal untuk mengatasi konflik yang berlarut-larut sebagai akibat adanya saling ketergantungan tugas (task interdependence) dalam mencapai kepentingan dan tujuan yang berbeda sehingga fungsi organisasi menjadi kabur.
Labels:
Manajemen Konflik
Wednesday, April 21, 2010
Experiential Marketing (2) : Kunci Pokok dan Elemen Strategi Experiential Marketing
Experiential Marketing merupakan suatu metode pemasaran yang relatif baru, yang disampaikan ke dunia pemasaran lewat sebuah buku Experiential Marketing: How to Get Customers to Sense, Feel, Think, Act, and Relate to Your Company and Brands, oleh Bernd H. Schmitt. Schmitt (1999)menyatakan bahwa esensi dari konsep experiential marketing adalah pemasaran dan manajemen yang didorong oleh pengalaman. [Baca : Experiential Marketing : Pengertian, Karakteristik dan Manfaat Experiential Marketing]
Dalam bukunya, Schmitt (1999) juga mengemukakan tentang pendekatan features and benefits (F & B) dalam pemasaran tradisional. Dalam pemasaran tradisional ini, pemasar menganggap konsumen berfikir melalui suatu proses pengambilan keputusan, yang mana masing-masing karakteristik dari suatu produk, baik barang atau jasa, akan memberikan keuntungan yang jelas, dan karakteristik ini dievaluasi oleh pembeli-pembeli potensial (baik pembeli yang telah mengenal produk tersebuat maupun yang belum). Bagaimanapun juga, Schmitt (1999) mengganggap konsep ini sangat membatasi cara pandang pemasar terhadap pengambilan keputusan yang diambil oleh konsumen, yang melibatkan elemen rasionalitas dan logika, serta aspek emosional dan irasional dalam pembelian.
Experiential marketing dapat sangat berguna untuk sebuah perusahaan yang ingin meningkatkan merek yang berada pada tahap penurunan, membedakan produk mereka dari produk pesaing, menciptakan sebuah citra dan identitas untuk sebuah perusahaan, meningkatkan inovasi dan membujuk pelanggan untuk mencoba dan membeli produk. Hal yang terpenting adalah menciptakan pelanggan yang loyal Pelanggan mencari perusahaan dan merek-merek tertentu untuk dijadikan bagian dari hidup mereka. Pelanggan juga ingin perusahaan-perusahaan dan merek-merek tersebut dapat berhubungan dengan hidup mereka, mengerti mereka, menyesuaikan dengan kebutuhan mereka dan membuat hidup mereka lebih terpenuhi. Dalam era informasi, teknologi, perubahan dan pilihan, setiap perusahaan perlu lebih selaras dengan para pelanggan dan pengalaman yang diberikan produk atau jasa mereka.
Kunci Pokok experiential marketing :
Tahap awal dari sebuah experiential marketing terfokus pada tiga kunci pokok :
1. Pengalaman Pelanggan.
Pengalaman pelanggan melibatkan panca indera, hati, pikiran yang dapat menempatkan pembelian produk atau jasa di antara konteks yang lebih besar dalam kehidupan.
2. Pola Konsumsi. Analisis pola konsumsi dapat menimbulkan hubungan untuk menciptakan sinergi yang lebih besar. Produk dan jasa tidak lagi dievaluasi secara terpisah, tetapi dapat dievaluasi sebagai bagian dari keseluruhan pola penggunaan yang sesuai dengan kehidupan konsumen. Hal yang terpenting, pengalaman setelah pembelian diukur melalui kepuasan dan loyalitas.
3. Keputusan rasional dan emosional. Pengalaman dalam hidup sering digunakan untuk memenuhi fantasi, perasaan dan kesenangan. Banyak keputusan dibuat dengan menuruti kata hati dan tidak rasional. Experiential marketing pelanggan merasa senang dengan keputusan pembelian yang telah dibuat.
Elemen Strategi Experiential Marketing :
Schmitt (1999) memberikan suatu framework alternatif yang terdiri dari dua elemen, yaitu Strategic expereince modules (SEMs), yang terdiri dari beberapa tipe experience dan Experience producers (ExPros), yaitu agen – agen yang dapat menghantarkan experience ini. Strategic experience modules terdiri dari lima tipe, yaitu sense, feel, think, act, dan relate.
1. SenseSense adalah aspek- aspek yang berwujud dan dapat dirasakan dari suatu produk yang dapat
ditangkap oleh kelima indera manusia,meliputi pandangan,suara,bau, rasa, dan sentuhan. Sense ini, bagi konsumen, berfungsi untuk mendiferensiasikan suatu produk dari produk yang lain,untuk memotivasi pembeli untuk bertindak, dan untuk membentuk value pada produk atau jasa dalam benak pembeli. Indera manusia dapat digunakan selama fase pengalaman (pra pembelian, pembelian dan sesudah pembelian) dalam mengkonsumsi sebuah produk atau jasa. Perusahaan biasanya menerapkan unsur sense dengan menarik perhatian pelanggan melalui hal-hal yang mencolok, dinamis, dan meninggalkan kesan
yang kuat.Ada tiga tujuan strategi panca indera (sense strategic objective): (Schmitt,1999)
1. Panca indera sebagai pendiferensiasi
Sebuah organisasi dapat menggunakan sense marketing untuk mendiferensiasikan produk organisasi dengan produk pesaing didalam pasar, memotivasi pelanggan untuk membeli produknya, dan mendistrisbusikan nilai kepada konsumen.
2. Panca indera sebagai motivatorPenerapan unsur sense dapat memotivasi pelanggan untuk mencoba produk dan membelinya.
3. Panca indera sebagai penyedia nilai
Panca indera juga dapat menyediakan nilai yang unik kepada konsumen.
2. Feel
Perasaan berhubungan dengan perasaan yang paling dalam dan emosi pelanggan. Iklan yang bersifat feel good biasanya digunakan untuk membuat hubungan dengan pelanggan, menghubungkan pengalaman emosional mereka dengan produk atau jasa, dan menantang pelanggan untuk bereaksi terhadap pesan Feel campaign sering digunakan untuk membangun emosi pelanggan secara perlahan. Ketika pelanggan merasa senang terhadap produk yang ditawarkan perusahaan, pelanggan akan menyukai produk dan perusahaan. Sebaliknya, ketika pelanggan merasa tidak senang terhadap produk yang ditawarkan perusahaan, maka konsumen akan meninggalkan produk tersebut dan beralih kepada produk lain. Jika sebuah strategi pemasaran dapat menciptakan perasaan yang baik secara konsisten bagi pelanggan, maka perusahaan dapat menciptakan loyalitas merek yang kuat dan bertahan lama (Schmitt,1999).
Affective experience adalah tingkat pengalaman yang merupakan perasaan yang bervariasi dalam intensitas, mulai dari perasaan yang positif atau pernyataan mood yang negatif sampai emosi yang kuat. Jika pemasar bermaksud untuk menggunakan affective experience sebagai bagian dari strategi pemasaran, maka ada dua hal yang harus diperhatikan dan dipahami, yaitu:
1. Suasana hati (moods), Moods merupakan affective yang tidak spesifik.Suasana hati dapat dibangkitkan dengan cara memberikan stimuli yang spesifik (Schmitt, 1999). Suasana hati merupakan keadaan afektif yang positif atau negatif. Suasana hati seringkali mempunyai dampak yang kuat terhadap apa yang diingat konsumen dan merek apa yang mereka pilih. 2. Emosi (emotion), lebih kuat dibandingkan suasana hati dan merupakan pernyataan afektif dari stimulus yang spesifik, misalnya marah, irihati, dan cinta. Emosi-emosi tersebut selalu disebabkan oleh sesuatu atau seseorang (orang, peristiwa, perusahaan, produk, atau komunikasi).
3. Think
Perusahaan berusaha untuk menantang konsumen, dengan cara memberikan problem-solving experiences, dan mendorong pelanggan untuk berinteraksi secara kognitif dan/atau secara kreatif dengan perusahaan atau produk. Iklan pikiran biasanya lebih bersifat tradisional, menggunakan lebih banyak informasi tekstual, dan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawabkan Menurut Schmitt cara yang baik untuk membuat think campaign berhasil adalah (1) menciptakan sebuah kejutan yang dihadirkan baik dalam bentuk visual, verbal ataupun knseptual, (2) berusaha untuk memikat pelanggan dan (3) memberikan sedikit provokasi.
1. Kejutan (surprise)Kejutan merupakan suatu hal yang penting dalam membangun pelanggan agar mereka terlibat dalam cara berpikir yang kreatif. Kejutan dihasilkan ketika pemasar memulai dari sebuah harapan. Kejutan harus bersifat positif, yang berarti pelanggan mendapatkan lebih dari yang mereka minta, lebih menyenangkan dari yang mereka harapkan, atau sesuatu yang sama sekali lain dari yang mereka harapkan yang pada akhirnya dapat membuat pelanggan merasa senang. Dalam experiential marketing, unsur surprise menempati hal yang sangat penting karena dengan pengalaman-pengalaman yang mengejutkan dapat memberikan kesan emosional yang mendalam dan diharapkan dapat terus membekas di benak konsumen dalam waktu yang lama.
2. Memikat (intrigue)Jika kejutan berangkat dari sebuah harapan, intrigue campaign mencoba membangkitkan rasa ingin tahu pelanggan, apa saja yang memikat pelanggan. Namun, daya pikat ini tergantung dari acuan yang dimiliki oleh setiap pelanggan. Terkadang apa yang dapat memikat seseorang dapat menjadi sesuatu yang membosankan bagi orang lain, tergantung pada tingkat pengetahuan, kesukaan, dan pengalam pelanggan tersebut.
3. Provokasi (provocation)Provokasi dapat menimbulkan sebuah diskusi, atau menciptakan sebuah perdebatan. Provokasi dapat beresiko jika dilakukan secara tidak baik dan agresif (Shmitt, 1999).
4. Act
Tindakan yang berhubungan dengan keseluruhan individu (pikiran dan tubuh) untuk meningkatkan hidup dan gaya hidupnya. Pesan-pesan yang memotivasi, menginspirasi dan bersifat spontan dapat menyebabkan pelanggan untuk berbuat hal-hal dengan cara yang berbeda, mencoba dengan cara yang baru merubah hidup mereka lebih baik.
5. Relate
Relate menghubungkan pelanggan secara individu dengan masyarakat, atau budaya. Relate
menjadi daya tarik keinginan yang paling dalam bagi pelanggan untuk pembentukan self-improvement, status socio-economic, dan image. Relate campaign menunjukkan sekelompok orang yang merupakan target pelanggan dimana seorang pelanggan dapat
berinteraksi, berhubungan, dan berbagi kesenangan yang sama.Kelima tipe dari experience ini disampaikan kepada konsumen melalui experience provider. Agen-agen yang bisa menghantarkan experience ini adalah
1. Komunikasi, meliputi iklan, komunikasi perusahaan baik internal maupun eksternal, danpublic relation.
2. Identitas dan tanda baik visual maupun verbal, meliputi nama, logo, warna, dan lain-lain.
3. Tampilan produk, baik desain, kemasan, maupu penampakan.
4. Co-branding, meliputi even-even pemasaran, sponsorship, aliansi dan rekanan kerja, lisensi, penempatan produk dalam film, dan sebagainya.
5. Lingkungan spatial, termasuk desain kantor, baik interior maupun eksterior, outlet penjualan, ekshibisi penjualan, dan lain-lain.
6. Web sites
7. Orang, meliputi penjual, representasi perusahaan, customer service, operator call centre, dan lainnya.
Idealnya, sebuah perusahaan yang ingin menerapkan experiential marketing mampu memberikan experience yang integral, yaitu menyampaikan kelima elemen experience melalui
Experience Provider. Inilah yang disebut oleh Schmitt (1999) sebagai holistic. Dalam membangun sebuah pendekatan experiential marketing, Schmitt (1999) menghubungkannya dengan teori hierarki Maslow.
Schmitt (1999) menyebutkan: If you start from scratch, the recommended sequence is the order in which I discussed the SEMs in this book: SENSE FEEL THINK ACT RELATE. SENSE attracts attention and motivates. FEEL creates an affectives bond and makes the experience personally relevant and rewarding. THINK adds a permanent cognitive interest to the experience. ACT induces a behavioral commitment. Loyalty, and a view to the future.
RELATE goes beyond the undividual experience and makes it meaningful in a broader social context. Selain itu, Shmitt (1999) juga mengemukakan beberapa cara untuk membentuk dan mengelola merek yang experiential. Konsep ini dirangkum menjadi poin-poin dalam Experintial Branding, 10 Rules to Create and Manage Experiential Brands.
1. Experiences don’t just happen; they need to be planned.
Dalam proses perencanaan, seorang pemasar harus kreatif, memanfaatkan kejutan, intrik, dan bahkan provokasi
2. Think about the customer experience first.
Setelah itu, barulah seorang pemasar dapat menentukan karakteristik-karakteristik fungsional dari sebuah produk dan manfaat dari merek yang ada
3. Be obsessive about the details of the experience.
Konsep pemuasan kebutuhan konsumen tradisional melewatkan unsur-unsur sensori,
perasaan hangat yang dirasakan konsumen, serta ‘cuci otak’ konsumen, yang meliputi pemuasan seluruh tubuh dan seluruh pikiran konsumen.
Shmitt (1999) menyebutnya Exultate Jubilate, yang berarti kepuasan yang amat sangat.
4. Find the “duck” for your brand. Maknanya, seorang pemasar diharapkan mampu memberikan
suatu karakter yang memberikan kesan yang mendalam, yang akan terus-menerus membangkitkan kenangan, sehingga konsumen menjadi loyal. Karakter ini adalah suatu elemen kecil yang sangat mengesankan, membingkai, dan merangkum keseluruhan experience yang dirasakan konsumen.
5. Think consumption situation, not product.
6. Strive for “holistic experiences” Holistic, seperti yang telah disebutkan diatas, adalah sebuah perasaan yang luar biasa, menyentuh hati, menantang intelegensi, relevan dengan gaya hidup konsumen, dan memberikan hubungan yang mendalam antar konsumen.
7. Profile and track experiential impact with the Experiential Grid.
8. Use methodologies eclectically.
Metode penelirian dalam pemasaran bisa berbentuk kuantitatif maupun kualitatif, verbal maupun visual, dan di dalam maupun di luar laboratorium. Pemasar dalam meneliti harus eksploratif dan kreatif, serta menomorsekiankan tentang reliabilitas, validitas, dan kecanggihan metodologinya.
9. Consider how the experience changes. Pemasar terutama harus memikirkan hal ini ketika
perusahaan memutuskan untuk memperluas merek ke dalam kategori baru.
10. Add dynamism and “dionysianism” to your company and brand. Kebanyakan organisasi dan
perusahaan pemilik merek terlalu takut, terlalu perlahan, dan terlalu birokratis. Untuk itulah dionysianism perlu diterapkan. Dionysianism adalah kedinamisan, gairah, dan kreativitas.
Sumber : MENCIPTAKAN PENGALAMAN KONSUMEN DENGAN EXPERIENTIAL MARKETING
oleh : Endang Sulistya Rini
Jurnal Manajemen Bisnis, Volume 2, Nomor 1, Januari 2009: 1 - 6
Labels:
Manajemen Pemasaran
Thursday, April 8, 2010
Orientasi Kerja Karyawan : Definisi dan Jenis Orientasi Kerja Karyawan
Setiap karyawan yang tergabung dalam suatu organisasi memiliki orientasi kerja masing-masing dan kemungkinan besar karyawan satu dengan lainnya mempunyai orientasi kerja yang berbeda pula, dan apabila orientasi yang dipersepsikannya ini dapat tercapai maka karyawan akan merasakan kepuasan kerja dan bekerja dengan maksimal.
Orientasi Kerja menurut Ingham (1970): the concept formed the basis for the harmonious view of industrial relations in the small firm as orientation to work was said to cause individual self-selection to the small firm sector. Yang kurang lebih memiliki arti: sikap dan tingkah laku karyawan, merupakan suatu konsep yang dapat menciptakan harmoni dalam bekerja dan sehingga dapat menyebabkan peningkatan kinerja karyawan secara individu dalam sebuah perusahaan.
Orientasi Kerja menurut Goldthorpe (1968): orientation to work adalah arti sebuah pekerjaan terhadap seorang individu, berdasarkan harapannya yang diwujudkan dalam pekerjaannya.
Jenis Orientasi Kerja Karyawan :
Menurut Goldthorpe (1968) ada 3 jenis orientasi Kerja karyawan dalam bekerja yaitu :
1. Instrumentally
- Full-time employee atau karyawan tetap : Jenis karyawan ini merupakan jenis karyawan yang secara konsisten meluangkan secara penuh waktu yang dimiliki untuk melakukan suatu pekerjaan dengan menjadi karyawan tetap, dan tidak membagi waktu bekerja yang dimiliki untuk bekerja di tempat lain.
2. Solidaristic
Jenis Orientasi Kerja Karyawan :
Menurut Goldthorpe (1968) ada 3 jenis orientasi Kerja karyawan dalam bekerja yaitu :
1. Instrumentally
Goldthorpe (1968) menjelaskan bahwa pada jenis pendekatan ini setiap karyawan memandang pekerjaan sebagai suatu tujuan akhir. Dimana karyawan-karyawan tersebut bekerja berdasarkan satu alasan yaitu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Selain itu juga dalam orientasi ini, ada juga karyawan yang memilih untuk bekerja dengan alasan untuk menunjang gaya hidup mereka secara spesifik. Gaya hidup yang dimaksud adalah kondisi-kondisi yang dialami atau dijalani oleh masing-masing karyawan. Instrumentally dibagi menjadi dua bagian yaitu:
a. Short-term instrumentally orientationJenis orientasi kerja ini merupakan sebuah upaya yang dilakukan karyawan-karyawan untuk mendukung dan menambah pendapatan utama dengan cara bekerja di tempat lain, dan menjadikan pekerjaan ini sebagai pekerjaan sekunder. Karyawan pada jenis orientasi ini menganggap pekerjaan ini hanya bersifat sementara saja.
b. Long-term instrumentally orientationLong-term instrumentally orientation adalah upaya dari karyawan-karyawan untuk menjadikan sebuah pekerjaan sebagai pekerjaan primer. Long-term instrumentally orientation dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
- Part-time employee atau karyawan paruh waktu : Untuk jenis karyawan paruh waktu, alasan memilih untuk menjalani pekerjaan dengan cara ini biasanya berhubungan dengan keterbatasan waktu yang mereka miliki. Biasanya karyawan jenis ini adalah dari golongan pelajar atau mahasiswa yang harus membagi waktu antara pekerjaan dan waktu untuk belajar, selain itu juga dari golongan wanita yang memiliki anak-anak yang masih berusia dibawah lima tahun.- Full-time employee atau karyawan tetap : Jenis karyawan ini merupakan jenis karyawan yang secara konsisten meluangkan secara penuh waktu yang dimiliki untuk melakukan suatu pekerjaan dengan menjadi karyawan tetap, dan tidak membagi waktu bekerja yang dimiliki untuk bekerja di tempat lain.
2. Solidaristic
Dimana pada pendekatan orientasi kerja jenis ini, Goldthorpe (1968) menjelaskan bahwa setiap karyawan memandang sebuah pekerjaan bukan secara simple sebagai tujuan akhir saja, melainkan segi yang dikedepankan adalah hubungan dan aktivitas sosial yang bisa didapat, dan ini dipandang sebagai bentuk emotionally rewarding. Karyawan yang memilih orientasi kerja jenis ini dalam memilih tempat bekerja, lebih memperhatikan suasana bekerja berdasarkan hubungan sosial yang kuat. Hubungan sosial disini yang dimaksudkan adalah
komunikasi dan kerjasama yang terjalin antara individu baik itu antara sesama karyawan dalam satu departemen maupun antar departemen. Menurut Lucas (1995) dan Kitching (1997) dikatakan bahwa bagi karyawan HI, adalah sisi sosial dari sebuah pekerjaan yang membuat para karyawan tersebut tetap merasa betah pada pekerjaan mereka dan juga membuat para karyawan tersebut untuk tetap mengoptimalkan diri dalam bekerja. Selain itu, hubungan sosial yang kuat yang karyawan jenis ini inginkan bukan hanya sebatas di lingkungan kerja, melainkan hubungan sosial ini harus juga dapat diteruskan di kehidupan diluar pekerjaan. Misalnya dengan pergi makan, jalan-jalan, kegiatan lain dan bahkan saling berkunjung ke tempat tinggal masing-masing karyawan.
3. Bureaucratic
Menurut Goldthorpe (1968) dijelaskan bahwa yang membuat seorang karyawan memilih pekerjaan dan mengoptimalkan diri pada pekerjaan yang dipilihnya itu adalah hal-hal yang disediakan oleh perusahaan tempat karyawan tersebut bekerja. Hal-hal tersebut dapat berupa fasilitas-fasilitas yang diberikan seperti sarana transportasi, ruangan kerja yang nyaman untuk bekerja, sampai ke peralatan-peralatan kerja yang canggih, modern dan mendukung, penghargaan atas prestasi kerja, besar kecilnya gaji dan tunjangan-tunjangan yang ditawarkan, kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh perusahaan, bimbingan dari perusahaan yang diberikan melalui atasan dan yang tidak kalah pentingnya adalah jenjang karir yang jelas. Meskipun suasana sosial yang ada tidak mendukung, para karyawan tersebut tetap mengoptimalkan diri dalam bekerja, karena karyawan jenis orientasi ini lebih mementingkan self-development dan lebih bertujuan ke peningkatan jenjang karir.
Labels:
Manajemen Sumber Daya Manusia
Wednesday, March 24, 2010
Koperasi : Definisi, Tujuan, Bentuk dan Jenisnya
Pengertian Koperasi :
Istilah koperasi berasal dari bahasa asing co-operation. (Co = bersama, operation = usaha), koperasi berarti usaha bersama, misalnya Koperasi Unit Desa (KUD) artinya usaha bersama masyarakat di satu wilayah desa, Koperasi Karyawan artinya usaha bersama para karyawan.
Istilah koperasi berasal dari bahasa asing co-operation. (Co = bersama, operation = usaha), koperasi berarti usaha bersama, misalnya Koperasi Unit Desa (KUD) artinya usaha bersama masyarakat di satu wilayah desa, Koperasi Karyawan artinya usaha bersama para karyawan.
Menurut Undang-undang Nomor 12 tahun 1967 tentang pokok-pokok perkoperasian,”Koperasi Indonesia adalah organisasi ekonomi rakyat berwatak sosial, beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi yang merupakan tata susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”(pasal 3 UU No.12/1967).
Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Pasal 1 Ayat 1 tentang perkoperasian menyatakan bahwa koperasi adalah “badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi dan sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan”.
Koperasi merupakan kumpulan orang dan bukan kumpulan modal. Koperasi harus betul-betul mengabdi kepada kepentingan perikemanusiaan semata-mata dan bukan kepada kebendaan. Kerjasama dalam koperasi didasarkan pada rasa persamaan derajat, dan kesadaran para anggotanya. Koperasi merupakan wadah demokrasi ekonomi dan sosial. Koperasi adalah milik bersama para anggota, pengurus maupun pengelola. Usaha tersebut diatur sesuai dengan keinginan para anggota melalui musyawarah rapat anggota.
Koperasi sebagai badan usaha dapat melakukan kegiatan usahanya sendiri dan dapat juga kerja sama dengan badan usaha lain, seperti perusahaan swasta maupun perusahaan negara. Perbedaan antara koperasi dan badan usaha lain, dapat digolongkan sebagai berikut :
a. Dilihat dari segi organisasiKoperasi adalah organisasi yang mempunyai kepentingan yang sama bagi para anggotanya. Dalam melaksanakan usahanya, kekuatan tertinggi pada koperasi terletak di tangan anggota, sedangkan dalam badan usaha bukan koperasi, anggotanya terbatas kepada orang yang memiliki modal, dan dalam melaksanakan kegiatannya kekuasaan tertinggi berada pada pemilik modal usaha.
b. Dilihat dari segi tujuan usahaKoperasi bertujuan untuk memenuhi kebutuhan bagi para anggotanya dengan melayani anggota seadil-adilnya, sedangkan badan usaha bukan koperasi pada umumnya bertujuan untuk mendapatkan keuntungan.
c. Dilihat dari segi sikap hubungan usahaKoperasi senantiasa mengadakan koordinasi atau kerja sama antara koperasi satu dan koperasi lainnya, sedangkan badan usaha bukan koperasi sering bersaing satu dengan lainnya.
d. Dilihat dari segi pengelolahan usahaPengelolahan usaha koperasi dilakukan secara terbuka, sedangkan badan usaha bukan koperasi pengelolahan usahanya dilakukan secara tertutup.
Tujuan Koperasi :
Tujuan utama Koperasi Indonesia adalah mengembangkan kesejahteraan anggota, pada khususnya, dan masyarakat pada umumnya. Koperasi Indonesia adalah perkumpulan orang-orang, bukan perkumpulan modal sehingga laba bukan merupakan ukuran utama kesejahteraan anggota. Manfaat yang diterima anggota lebih diutamakan daripada laba. Meskipun demikian harus diusahakan agar koperasi tidak menderita rugi. Tujuan ini dicapai dengan karya dan jasa yang disumbangkan pada masing-masing anggota.
“Keanggotaan Koperasi Indonesia bersifat sukarela dan didasarkan atas kepentingan bersama sebagai pelaku ekonomi. Melalui koperasi, para anggota ikut, secara aktif memperbaiki kehidupannya dan kehidupan masyarakat melalui karya dan jasa yang disumbangkan. Dalam usahanya, koperasi akan lebih menekankan pada pelayanan terhadap kepentingan anggota, baik sebagai produsen maupun konsumen. Kegiatan koperasi akan lebih banyak dilakukan kepada anggota dibandingkan dengan pihak luar. Oleh karena itu, anggota dalam koperasi, bertindak sebagai pemilik sekaligus pelanggan.”(SAK,1996:27.1)
Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Pasal 3 tujuan koperasi Indonesia adalah “koperasi bertujuan memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945”.
Ciri, Bentuk dan Jenis Koperasi :
Ciri, Bentuk dan Jenis Koperasi :
Ciri-ciri Koperasi:
Beberapa ciri dari koperasi ialah :
1. Perkumpulan orang.
2. Pembagian keuntungan menurut perbandingan jasa. Jasa modal dibatasi.
3. Tujuannya meringankan beban ekonomi anggotanya, memperbaiki kesejahteraan anggotanya, pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
4. Modal tidak tetap, berubah menurut banyaknya simpanan anggota.
5. Tidak mementingkan pemasukan modal/pekerjaan usaha tetapi keanggotaan pribadi dengan prinsip kebersamaan.
6. Dalam rapat anggota tiap anggota masing-masing satu suara tanpa memperhatikan jumlah modal masing-masing.
7. Setiap anggota bebas untuk masuk/keluar (anggota berganti) sehingga dalam koperasi tidak terdapat modal permanen.
8. Seperti halnya perusahaan yang terbentuk Perseroan Terbatas (PT) maka Koperasi mempunyai bentuk Badan Hukum
9. Menjalankan suatu usaha.
10. Penanggungjawab koperasi adalah pengurus.
11. Koperasi bukan kumpulan modal beberapa orang yang bertujuan mencari laba sebesar-besarnya.
12. Koperasi adalah usaha bersama kekeluargaan dan kegotong-royongan. Setiap anggota berkewajiban bekerja sama untuk mencapai tujuan yaitu kesejahteraan para anggota.
13. Kerugian dipikul bersama antara anggota. Jika koperasi menderita kerugian, maka para anggota memikul bersama. Anggota yang tidak mampu dibebaskan atas beban/tanggungan kerugian. Kerugian dipikul oleh anggota yang mampu.
Bentuk dan Jenis Koperasi :
Sesuai yang tercantum dalam pasal 15 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 tentang perkoperasian, bentuk koperasi ada 2:
1. Koperasi primer adalah koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan orang seorang, dibentuk oleh sekurang-kurangnya 20 (duapuluh) orang.
2. Koperasi sekunder adalah koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan koperasi, dibentuk oleh sekurang-kurangnya 3(tiga) koperasi.
Tentang jenis koperasi ini terdapat dalam pasal 17 Bagian 6 UU No.12 tahun 1967, dilakukan dengan:
1. Lapangan usahanya
a. Koperasi konsumsi, yang berusaha untuk menyediakan barang barang yang dibutuhkan para anggotanya, baik barang keperluan sehari-hari maupun barang-barang kebutuhan sekunder yang dapat meningkatkan kesejahteraan hidup para anggotanya, dalam arti dapat dijangkau oleh daya belinya.
b. Koperasi simpan pinjam atau koperasi kredit, yang berusaha untuk mencegah para anggotanya terlibat dalam jeratan kaum lintah darat pada waktu mereka memerlukan sejumlah uang atau barang keperluan hidupnya, dengan jalan menggiatkan tabungan dan mengatur pemberian pinjaman uang atau barang dengan bunga yang serendah-rendahnya.
c. Koperasi produksi, yang berusaha untuk menggiatkan para aggotanya dalam menghasilkan produk tertentu yang biasa diproduksinya serta sekaligus mengkoordinir pemasarannya, dengan demikian para produsen akan memperoleh kesamaan harga yang wajar atau layak dan mudah memasarkannya.d. Koperasi serba usaha, yang berusaha dalam beberapa macam kegiatan ekonomi yang sesuai dengan kepentingan-kepentingan para anggotanya.
2. Golongan masyarakat yang berkumpul mendirikannya:
a. Koperasi pegawai negeri, yang anggota-anggotanya terdiri dari para pegawai negeri dalam suatu daerah kerja.
b. Koperasi di lingkungan Angkatan Bersenjata (PRIMKOPAD, PRIMKOPAL, PRIKOPARADA, PRIMKOPOL), yang merupakan wadah penampungan kegiatan-kegiatan kekaryaan anggota angkatan untuk meningkatkan kesejahteraan para anggota beserta keluarganya.
c. Koperasi wanita, koperasi guru, koperasi veteran, koperasi kaum pensiunan dan sebagainya, yang masing-masing berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi (hidup) para anggotanya dalam golongannya masing-masing.
Labels:
Ekonomi Koperasi
Wednesday, March 10, 2010
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah : Pengertian, Tujuan dan Konsep Dasar
Pengertian Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
Menurut Edmond (dalam Suryosubroto, 2004:208) Manajemen Peningkatan mutu berbasis sekolah merupakan alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada kemandirian dan kreatifitas sekolah.
Tujuan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
Tujuan penerapan MBS untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara umum baik itu menyangkut kualitas pembelajaran, kualitas kurikulum, kualitas sumber daya manusia baik guru maupun tenaga kependidikan lainnya, dan kualitas pelayanan pendidikan secara umum.
b. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama.
c. Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya.
d. Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.(Depdiknas, 2001: 4)
Konsep dasar Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
Menurut Edmond (dalam Suryosubroto, 2004:208) Manajemen Peningkatan mutu berbasis sekolah merupakan alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada kemandirian dan kreatifitas sekolah.
Konsep ini diperkenalkan oleh teori effektif school yang lebih memfokuskan diri pada perbaikan proses pendidikan. Beberapa indikator yang menunjukkan karakter dari konsep manajemen ini antara lain sebagai berikut : (i) lingkungan sekolah yang aman dan tertib, (ii) sekolah memiliki misi dan target mutu yang ingin dicapai, (iii) sekolah memiliki kepemimpinan yang kuat, (iv) adanya harapan yang tinggi dari personel sekolah (kepala sekolah, guru, dan staf lainnya termasuk siswa) untuk berprestasi, (v) adanya pengembangan staf sekolah yang terus menerus sesuai tuntutan IPTEK, (vi) adanya pelaksanaan evaluasi yang terus-menerus terhadap berbagai aspek akademik dan administrative, dan pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaan/ perbaikan mutu, dan (vii) adanya komunikasi dan dukungan intensif dari orang tua murid/masyarakat.
Manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah bentuk alternatif sekolah sebagai hasil dari desentralisasi pendidikan (Nurkholis, 2003:6). MBS pada prinsipnya bertumpu pada sekolah dan masyarakat serta jauh dari birokrasi yang sentralistik. MBS berpotensi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, pemerataan, efisiensi, serta manajemen yang bertumpu pada tingkat sekolah. MBS dimaksudkan meningkatkan otonomi sekolah, menentukan sendiri apa yang perlu diajarkan, dan mengelola sumber daya yang ada untuk berinovasi. MBS juga memiliki potensi yang besar untuk menciptakan kepala sekolah, guru, dan administrator yang profesional. Dengan demikian, sekolah akan bersifat responsif terhadap kebutuhan masing-masing siswa dan masyarakat sekolah. Prestasi belajar siswa dapat dioptimalkan melalui partisipasi langsung orang tua dan masyarakat.
Aldwell dan Spink (1988) dalam Teguh Winarno memandang MBS sebagai a self managing school yakni suatu sekolah yang telah mengadopsi desentralisasi yang berarti dan konsisten sehingga sekolah tersebut mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan-keputusan yang berhubungan dengan alokasi sumber-sumber yang meliputi pengetahuan, teknologi, wewenang, material, orang, waktu dan keuangan (dikutip oleh Campbell–Evans dalam Dimmock (ed),1993: 93 dalam Teguh Winarno). Hal ini berarti bahwa sekolah yang menggunakan MBS memperoleh hak otonomi untuk mengelola sumber-sumber daya pedidikan yang dimilikinya.Tujuan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
Tujuan penerapan MBS untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara umum baik itu menyangkut kualitas pembelajaran, kualitas kurikulum, kualitas sumber daya manusia baik guru maupun tenaga kependidikan lainnya, dan kualitas pelayanan pendidikan secara umum.
Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan atau otonomi kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif. Lebih rincinya, Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah bertujuan untuk :
a. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam megelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia.b. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama.
c. Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya.
d. Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.(Depdiknas, 2001: 4)
Konsep dasar Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) dapat didefinisikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan mutu sekolah dalam kerangka pendidikan nasional.
Oleh karena itu, esensi MPMBS adalah otonomi sekolah dan pengambilan keputusan partisipasif untuk mencapai sasaran mutu sekolah.
Otonomi adalah kewenangan/kemandirian yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri, dan merdeka/tidak tergantung. Jadi otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku.
Pengambilan keputusan partisipatif adalah suatu cara untuk mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik, dimana warga sekolah (guru, siswa, karyawan, orangtua siswa, masyarakat) didorong untuk terlibat secara langsung dalam proses pengambilan keputusan yang dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah.
Sekolah memiliki kewenangan (kemandirian) lebih besar dalam mengelola sekolahnya (menetapkan sasaran peningkatan mutu, menyusun rencana peningkatan mutu, melaksanakan rencana peningkatan mutu, dan melakukan evaluasi pelaksanaan peningkatan mutu) dan partisipasi kelompok-kelompok yang berkepentingan dengan sekolah merupakan ciri khas Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah.
Labels:
Manajemen Pendidikan
Wednesday, March 3, 2010
Strategi Investasi ; Strategi Pasif dan Strategi Aktif
Strategi investasi umumnya ada dua macam, yaitu strategi aktif (active strategy) dan strategi pasif (passive strategy). Seperti yang dijelaskan oleh Tandelilin (2001:199) ada dua strategi yang dapat dilakukan investor dalam pembentukan portofolio, yaitu sebagai berikut.
1. Strategi pasif
Merupakan tindakan investor yang cenderung pasif dalam berinvestasi dalam saham dan hanya mendasarkan pergerakan sahamnya pada pergerakan indeks pasar. Strategi pasif mendasarkan diri pada asumsi bahwa (a) pasar modal tidak melakukan mispricing, dan (b) meskipun terjadi mispricing, para pemodal berpendapat bahwa mereka tidak bisa mengidentifikasikan dan memanfaatkannya. Tujuan dari strategi pasif ini adalah memperoleh return portofolio sebesar return indeks pasar dengan menekankan seminimal mungkin risiko dan biaya investasi yang harus dikeluarkan.
Ada dua macam strategi pasif yaitu sebagai berikut.
a. Strategi beli dan simpan maksudnya adalah investor melakukan pembelian sejumlah saham dan tetap memegangnya untuk beberapa waktu tertentu. Tujuan dilakukannya strategi ini adalah untuk menghindari biaya transaksi dan biaya tambahan lainnya yang biasanya terlalu tinggi.
b. Strategi mengikuti indeks merupakan strategi yang digambarkan sebagai pembelian instrumen reksadana atau dana pensiun oleh investor. Dalam hal ini investor berharap bahwa kinerja investasinya pada kumpulan saham dalam instrumen reksadana sudah merupakan duplikasi dari kinerja indeks pasar. Dengan kata lain investor berharap memperolah return yang sebanding dengan return pasar.
2. Strategi aktif
Merupakan tindakan investor secara aktif dalam melakukan pemilihan dan jual beli saham, mencari informasi, mengikuti waktu dan pergerakan harga saham serta berbagai mendapatkan return abnormal. Tujuan strategi aktif ini adalah mendapatkan return portofolio saham yang melebihi return portofolio saham yang diperoleh dari strategi pasif. Ada tiga strategi yang biasa dipakai investor dalam menjalankan strategi aktif portofolio saham.
a. Pemilihan saham maksudnya adalah para investor secara aktif melakukan analisis pemilihan saham-saham terbaik, yaitu saham yang memberikan hubungan tingkat return dan risiko yang terbaik dibandingkan dengan alternative lainnya. Analisis ini mendasarkan pada pendekatan analisis fundamental guna mengetahui prospek saham tersebut pada masa datang.
b. Rotasi sektor, maksudnya investor dapat melakukan strategi ini dengan dua cara, yaitu sebagai berikut.
(a) Melakukan investasi pada sahamsaham yang bergerak pada sector tertentu untuk mengantisipasi perubahan siklis ekonomi di kemudian hari.
(b) Melakukan modifikasi atau perubahan terhadap bobot portofolio saham-saham pada sektor industri yang berbeda-beda.
(c) Strategi momentum harga menyatakan bahwa pada waktuwaktu tertentu harga pasar saham akan merefleksikan pergerakan earning ataupun pertumbuhan perusahaan. Dalam hal ini investor akan mencari waktu yang tepat, pada saat perubahan harga yang terjadi bisa memberikan tingkat keuntungan bagi investor melalui tindakan menjual atau membeli saham. Cahyono (2002: 219) berpendapat bahwa dalam dunia nyata tidak ada pasar yang efisien sempurna. Salah satu sebabnya adalah karena adanya partisipasi pemodal ritel yang dalam berinvestasi sering melibatkan emosi, terpengaruh suasana, dan lain-lain.
Labels:
Manajemen Investasi
Subscribe to:
Posts (Atom)